Periode Menengah Pertama MesirPeriode Menengah pertama, sering disebut sebagai "periode gelap" dalam sejarah Mesir kuno, berlangsung sekitar tiga ratus tahun setelah berakhirnya Kerajaan Lama sekitar 2181-2055 SM.[1] Masa ini meliputi dinasti ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan sebagian dinasti kesebelas. Sedikit bukti monumental yang tersisa dari periode ini, khususnya yang berasal dari permulaan era. Periode Menengah pertama adalah masa yang dinamis dalam sejarah di mana aturan Mesir dibagi menjadi dua basis kekuatan yang saling bersaing. Salah satu basis tersebut bertempat di Heracleopolis, Mesir Hilir, kota yang terletak sebelah selatan wilayah Faiyum. Sementara itu, basis lainnya berada di Thebes, Mesir Hulu.[2] Diyakini pula, selama masa ini, kuil-kuil dijarah dan dirampok, karya seni mereka yang ada dirusak, dan pautung-patung raja dihancurkan sebagai hasil kekacauan politik.[3] Kedua kerajaan tersebut mudah tersulut konflik, dengan raja-raja Thebes menguasai wilayah utara, menghasilkan penyatuan kembali Mesir di bawah penguasa tunggal selama masa kedua dinasti kedelapan. Peristiwa terkenal dari Periode Menengah pertamaKejatuhan Kerajaan Lama sering digambarkan sebagai periode kekacauan dan kerusakan dalam beberapa literatur Periode Menengah pertama yang kebanyakan ditulis pada era-era yang berkesinambungan dalam sejarah Mesir. Ada banyak hal yang menyebabkan kejatuhan Kerajaan Lama, tetapi sebagian hanya hipotesis. Satu alasan yang sering dikutip adalah pemerintahan yang keras dan berlangsung lama dari Pepi II, raja besar terakhir dari dinasti ke-6. Dia memerintah hingga sangat tua (94 tahun), lebih lama dari warisnya dan tentu saja, menyebabkan masalah dengan penerusnya dalam istana kerajaan. Sehingga, rezim Kerajaan Lama hancur di tengah-tengah kekacauan ini.[2] Masalah besar lain adalah bangkitnya kekuasaan nomarch provinsi. Selama Periode Menengah pertama, posisi nomarch menjadi hereditas, sehingga keluarga sering ditempatkan dalam posisi kekuasaan di provinsi masing-masing. Nomarch-nomarch tersebut kemudian berkembang dengan cepat dan mulai berpengaruh. Mereka menjadi lebih mandiri daripada raja.[3] Mereka meninggikan nisan-nisan di wilayah mereka dan membentuk pasukan militer. Kebangkitan sejumlah besar nomarch ini menciptakan konflik antar provinsi yang bertetangga, yang sering menghasilkan persaingan dan peperangan hebat antara mereka. Alasan ketiga dibubarkannya pemusatan kekuasaan raja adalah rendahnya tingkat genangan Nil yang mungkin menybabkan iklim yang lebih kering dan panen rendah sehingga membawa paceklik diseluruh Mesir kuno.[4] Dinasti ke-7 dan ke-8 di MemphisDinasti ke-7 dan ke-8 sering diabaikan karena hanya sedikit yang diketahui tentang penguasa-penguasa kedua periode tersebut. Manetho, pendeta dan sejarawan dari era Ptolemaik, menjelaskan 70 raja menguasai selama 70 hari.[2] Pernyataan ini dianggap berlebihan untuk menjelaskan kekacauan kekuasaan raja selama periode ini. Dinasti ketujuh hampir seperti oligarki yang berpusat di Memphis yang berusaha mengambil alih negeri. Para penguasa dinasti ke-8 yang mengklaim merupakan keturunan raja-raja dinasti ke-6, juga memerintah dari Memphis.[3] Sedikit sekali yang diketahui dari kedua dinasti ini sejak sedikitnya bukti tekstual dan arsitektur yang terselamatkan untuk menjelaskan periode ini. Meski demikian, sejumlah kecil artifak telah ditemukan, termasuk scarab yang diatributkan kepada raja Neferkara I dari dinasti-7 begitu juga jasper silinder hijau akibat pengaruh Syria yang dikreditkan pada dinasti ke-8.[5] Juga, sebuah piramida kecil diyakini dibangun oleh Raja Ibi dari dinasti ke-8 ditemukan di Saqqara.[1] Kebangkitan raja-raja HeracleopolisSetelah kekuasaan tidak jelas oleh raja-raja dinasti ke-7 dan ke-8, sekelompok kecil penguasa muncul dari Heracleopolis di Mesir Hilir, berkuasa sekitar 594 tahun.[2] Raja-raja tersebut tergabung ke dalam dinasti ke-9 dan ke-10, dengan masing-masing sembilan belas penguasa terdaftar. Mereka diyakini keturunan penyerbu Libya yang datang ke Mesir dari barat melalui Faiyum.[5] Hal ini sering dipandang sebagai sebuah bayangan invasi Hyksos dari Delta yang akan terjadi semasa Periode Menengah kedua. Raja-raja Heracleopolis dengan cepat menguasai kekuasaan raja-raja Memphis yang lemah untuk kemudian membentuk dinasti ke-9. Pendiri dinasti ke-9, Kheti I, sering digambarkan sebagai penguasa jahat dan kasar, yang paling terkenal berasal dari tulisan Manetho. Dia juga dikenal sebagai Akhthoes atau Akhtoy. Kheti I digambarkan sebagai raja yang menyebabkan banyak kerusakan terhadap pemukiman Mesir, merapas dengan kegilaan, dan tiba-tiba terbunuh oleh buaya.[3] Ini mungkin saja hanya sebuah mitos, tetapi dia dicantumkan sebagai dalam Daftar Raja Abydos begitu juga Daftar Raja Turin. Kheti I digantikan oleh Kheti II, yang juga dikenal sebagai Meryibre. Kekuasaannya mengutamakan kedamaian, tetapi masalah yang sama terjadi di Delta. Penggantinya, Kheti III, membawa beberapa kadar pemintaan ke Delta, meskipun daya dan pengaruhnya pada raja-raja dinasti kesembilan masih diremehkan turun termurun dari raja-raja Kerajaan Lama.[5] Perbedaan-perbedaan nomarch tumbuh di Siut (atau Asyut), yang merupakan provinsi terkuat dan kaya di selatan kerajaan Heracleopolis. Para pengeran prajurit mempertahankan hubungan dekatnya dengan raja-raja istana kerajaan Heracleopolis, yang dibuktikan dalam inskripsi di makam-makam mereka. Inskripsi tersebut memberikan pandangan sekilas mengenai situasi politik yang muncul selama penguasaan mereka. Inskripsi-inskripsi tersebut menggambarkan normarch Siut menggali kanal, mengurangi pajak, menuai panen yang subur, meningkatkan penggembalaan tenak, dan memelihara tentara dan armada.[3] Provinsi Siut dinyatakan sebagai negeri kecil yang berada di antara kekuasaan utara dan selatan dan pangeran Siut princes menanggung beban serangan dari raja-raja Thebes. Kebangkitan raja-raja ThebesAda pendapat yang menyatakan invasi Mesir Hulu terjadi bersamaan dengan berdirinya kerajaan Heracleopolis, yang membentuk barisan raja-raja Thebes dinasti kesebelas dan keduabelas.[5] Barisan raja-raja ini diyakini merupakan keturunan Intef atau Inyotef, yang merupakan nomarch Thebes, yang sering disebut “penjaga Pintu Selatan”.[3] Dia dikreditkan mengatur Mesir Hulu menjadi pemerintahan mandiri di selatan, meskipun dia sendiri tidak tampak mencoba mengklaim gelar raja. Meski demikian, penerusnya pada dinasti kesebelas dan keduabelas menganggapnya demikian.[5] Salah satu dari mereka, Intef II, memulai penyerangan di utama, khususnya di Abydos. Intef III menyelesaikan serangan ini dan merebut Abydos, kemudian bergerak ke Mesir Tengah kepada raja-raja Heracleopolis.[3] Tiga raja pertama dinasti kesebelas—semuanya bernama Intef—juga merupakan tiga raja terakhir Periode Menengah Pertama dan dilanjutkan oleh barisan raja-raja yang dijuluki Mentuhotep. Mentuhotep II, juga disebut Nebhepetra, mengalahkan raja-raja Heracleopolis sekitar 2033 SM dan menyatukan negeri untuk melanjutkan dinasti keduabelas, membawa Mesir kepada Kerajaan Pertengahan.[3] Papirus IpuwerMunculnya apa yang disebut sebagai literatur oleh standar modern rupa-rupanya telah ada selama Periode Menengah Pertama, yang kemudian memunculkan aliran baru di Kerajaan Pertengahan.[1] Salah satu bagiannya adalah Papirus Ipuwer, disebut juga Ratapan Ipuwer atau Peringatan Ipuwer, yang diatributkan pada dinasti kesepuluh atau sebelas.[5] Teks ini ditulis dalam pandangan orang pertama, di mana Ipuwer berbicara saat kehadiran sang raja, mencoba menyadarkan sang raja, sebuah rasa tanggung jawab atas kondisi negeri yang muram. Ipuwer menentang pelanggaran hukum dan tingkah laku yang rusak saat pemerintahan masih dijalankan.[6] Dia juga berbicara tentang gadis mulia yang mengemis untuk makan saat gadis bekas budak telah berpakaian emas dan lapis lazuli.[5] Dia membicarakan orang asing yang datang ke negerinya dan menjadi orang Mesir. Ipuwer secara khusus merasa hancur dengan fakta bahwa perahu-perahu tidak berlayar lama ke Byblos dan perdagangan dengan negeri-negeri lain menyurut.[6] Sebaris kalimat dalam teksnya terbaca, “Sungguh menyedihkan apa yang berjalan di muka bumi, bercampur dengan ratapan”. Sebagaimana tampak terlihat, teks tersebut, teks historis akurat atau fiksi, menggambarkan gambaran kekacauan dan kerusakan Mesir selama Periode Menengah Pertama. Seni dan Arsitektur Periode Menengah PertamaSeperti yang telah disebutkan di atas, Periode Menengah Pertama di Mesir dibagi menjadi dua wilayah utama geografi dan politik, satu berpusat di Memphis dan lainnya di Thebes. Raja-raja Memphis, meskipun lemah dalam kekuasaan, tetap menjaga tradisi artistik Memphis yang ada di semua tempat Kerajaan Lama. Ini merupakan bentuk simbolis kelemahan negeri Memphis yang tetap mempertahankan sisa-sisa kekayaan yang ditinggalkan Kerajaan Lama.[4] Di tangan lain, raja-raja Thebes, secara fisik terisolasi dari Memphis, tidak memiliki akses untuk karya seni Memphis masuk, sehingga mundah bagi mereka untuk membuat gaya artistik baru yang merefleksikan kreativitas seniman yang tidak terlalu diatur dalam negeri.[4] Proyek bangunan raja-raja Heracleopolis di Utara sangat terbatas. Hanya sebuah piramida yang diyakini bagian dari proyek Raja Merykare (2065-2045 SM) yang ditemukan di Saqqara. Juga, makam pribadi yang dibangun semasa itu kalah dibanding monumen Kerajaan Lama dalam kualitas dan ukuran. Masih terdapat relief menggambarkan budak-budak membuat perbekalan untuk orang yang telah meninggal begitu juga gambaran pelayanan tradisional yang mencerminkan makam-makan Memphis Kerajaan Lama. Meski demikian, itu masih termasuk yang berkualitas rendah dan banyak yang sederha dari paralelnya di Kerajaan Lama.[4] Peti kayu persegi masih digunakan, tetapi dekorasinya menjadi rumit selama penguasaan raja-raja Heracleopolis. Teks Peti yang baru dilukiskan pada interior, menampilkan mantra-mantra dan peta untuk orang yang telah meninggal untuk digunakan di alam baka. Kebangkitan raja-raja Thebes sekitar 2123 SM membawa gaya seni provinsial yang lebih asli. Gaya baru ini sering digambarkan sebagai kejanggalan dan ketidakhalusan yang mungkin saja karena ketiadaan seniman yang berbakat. Meski demikian, karya seni yang selamat menunjukkan bahwa para seniman mengambil intepretasi baru mengenai gambaran tradisional. Mereka menggunakan warna-warna cerah dalam lukisan mereka dan mengubah dan mendistorsi proporsi figur manusia. Gaya tersendiri ini jelas dalam stelae papan persegi yang ditemukan di makam di Naga el-Deir.[4] Dalam istilah arsitektur kerajaan, raja-raja Thebes dinasti kesebelas awal membangun makam dari potongan karang yang disebut makam saff di El-Tarif di tepi barat Nil. Gaya baru arsitektur pemakaman ini terdiri dari halaman bangunan luas yang dikelilingi tembok dengan potongan karang colonnade di tembok yang jauh. Ruangan-ruangan diukir temboknya menghadap pusat makam di mana jenazah dikuburkan. Ini akan memudahkan banyak orang dikuburkan dalam satu makam.[4] Blik-bilik pemakaman yang tidak dihiasi mungkin saja karena kurangnya seniman berbakat di kerajaan Thebes. Akhir Periode Menengah PertamaAkhir Periode Menengah Pertama ditandai menangnya Mentuhotep II dari dinasti kesebelas atas raja-raja Heracleopolis di Mesir Hilir dan berhasil menyatukan kembali Mesir di bawah pemerintahan tunggal. Tindakan ini menghantarkan Mesir pada periode penuh kekayaan dan kesejahteraan yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Pertengahan. Referensi dan kutipan
|