Han An Zhao Qian Zhao Jia Wei Jia Yan Xi Mi Yuan Tian Jian Li Mu
Perang penyatuan Qin adalah serangkaian kampanye militer yang dilancarkan pada akhir abad ke-3 SM oleh negara Qin terhadap enam negara besar besar lainnya — Han, Zhao, Yan, Wei, Chu, dan Qi — dalam wilayah yang membentuk Tiongkok saat ini. Pada akhir perang tahun 221 SM, Qin menyatukan sebagian besar negara dan menduduki beberapa negeri di selatan Sungai Yangtze. Wilayah yang ditaklukkan oleh Qin menjadi fondasi Dinasti Qin.
Han merupakan yang terlemah dari tujuh negara dan sebelumnya telah mengalami banyak serangan oleh Qin, yang menyebabkannya semakin melemah secara drastis. Pada tahun 230 SM, tentara Qin yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Teng (內史騰) bergerak ke selatan, menyeberangi Sungai Kuning dan menaklukkan Zheng (鄭; kini Xinzheng, Henan), ibu kota Han, dalam satu tahun. Raja An dari Han menyerah dan Han berada di bawah kekuasaan Qin. Wilayah Han ditata ulang untuk membentuk Komanderi Yingchuan (潁川郡) Kekaisaran Qin,[1] dengan ibu kota komanderi ini di Yangzhai (陽翟; kini Yuzhou, Henan).[2]
Pada tahun 236 SM, ketika Zhao menyerang Yan, Qin menggunakan kesempatan tersebut untuk mengirim dua pasukan terpisah untuk menyerang Zhao. Pasukan tentara Qin yang dipimpin oleh Wang Jian menaklukkan wilayah-wilayah Zhao di Eyu (閼與; kini Kabupaten Heshun, Shanxi) dan Liaoyang (撩陽; kini Kabupaten Zuoquan, Shanxi), sementara pasukan tentara Qin lainnya di bawah komando Huan Yi (桓齮) dan Yang Duanhe (楊端和) merebut Ye (鄴; kini Handan, Hebei) dan Anyang (安陽; kini Kabupaten Anyang, Henan). Zhao kehilangan sembilan kota dan kekuatan militernya melemah.[3]
Dua tahun kemudian, Qin berencana untuk menyerang Han, tetapi khawatir Zhao mungkin mendukung Han, sehingga memerintahkan Huan Yi memimpin pasukan tentara untuk menyerang wilayahh Zhao di Pingyang (平陽; tenggara dari Kabupaten Ci, Hebei saat ini) dan Wucheng (武城; barat daya dari Kabupaten Ci, Hebei saat ini).[3] Lebih dari 100.000 tentara tewas dalam pertempuran. Tentara Zhao dikalahkan dan komandannya, Hu Zhe (扈輒), gugur dalam tugas.[4] Pada 233 SM, tentara Huan Yi menyeberangi Gunung Taihang dan menaklukkan wilayah Zhao di Chili (赤麗) dan Yi'an (宜安), keduanya terletak di tenggara Shijiazhuang, Hebei saat ini.[3]
Pada tahun 232 SM, pasukan Qin dibagi menjadi dua kelompok untuk menyerang Fanwu (番吾; kini Kabupaten Lingshou, Hebei) dan Langmeng (狼孟; kini Kabupaten Yangqu, Shanxi), tetapi dikalahkan oleh tentara Zhao yang dipimpin oleh Li Mu.[3] Huan Yi melarikan diri ke Yan untuk menghindari hukuman atas kekalahannya.[3] Namun, pasukan Zhao juga menderita kerugian besar dan hanya bisa mundur untuk mempertahankan ibu kota mereka, Handan.
Dalam dua tahun berikutnya, Zhao dilanda dua bencana alam - gempa bumi dan kelaparan parah. Pada tahun 229 SM, Qin memanfaatkan situasi untuk melancarkan serangan penjepit dari utara dan selatan terhadap Handan, ibu kota Zhao. Tiga pasukan tentara Qin berangkat dari Shangdi (上地; kini di bagian utara Shaanxi), Jingxing (井陉; kini Kabupaten Jingxing, Hebei) dan Henei (河內; kini Xinxiang, Henan), masing-masing dipimpin oleh Wang Jian, Jiang Lei (羌瘣) dan Yang Duanhe, untuk mengoordinasikan serangan terhadap Handan.[3] Li Mu dan Sima Shang (司馬尚) memimpin pasukan tentara Zhao. Li Mu memerintahkan pasukannya untuk membangun struktur pertahanan dan menghindari konfrontasi langsung dengan musuh. Pasukan Qin tidak dapat maju lebih jauh dan kedua belah pihak menemui jalan buntu.[3]
Negara Qin menyuap Guo Kai (郭開), seorang menteri Zhao, untuk menabur perselisihan antara Raja Qian dari Zhao (趙王遷) dan Li Mu. Raja meragukan kesetiaan Li Mu dan memerintahkan Li Mu untuk menyerahkan wewenangnya kepada wakilnya, Zhao Cong (趙蔥) dan Yan Ju (顏聚). Ketika Li Mu menolak untuk menurutinya, raja menjadi lebih curiga padanya dan memerintahkan anak buahnya untuk menyergap Li Mu dan menangkapnya. Li Mu kemudian dieksekusi di penjara atas perintah Raja Qian. Pada tahun 228 SM, setelah mengetahui bahwa Li Mu telah digantikan, pasukan Qin menyerang, mengalahkan tentara Zhao dan menaklukkan Dongyang (東陽; timur Gunung Taihang). Zhao Cong gugur dalam tugas sementara Yan Ju melarikan diri setelah kekalahannya.[3] Tujuh bulan kemudian, pasukan Qin menduduki Handan dan menawan Raja Qian, mengakhiri keberlangsungan Zhao.
Pangeran Jia, kakak Raja Qian, melarikan diri dari Handan dan pergi ke Dai (di Kabupaten Yu di barat laut Hebei saat ini), di mana, dengan bantuan dari beberapa sisa orang Zhao, dia menyatakan dirinya sebagai Raja Dai. Pada tahun 222 SM, Dai ditaklukkan oleh tentara Qin yang dipimpin oleh putra Wang Jian, Wang Ben. Pangeran Jia ditawan.[1]
Ikhtisar peristiwa
Tahun
Peristiwa
230 SM
Han ditaklukkan Qin.
228 SM
Zhao ditaklukkan Qin.
225 SM
Wei ditaklukkan Qin.
223 SM
Chu ditaklukkan Qin.
222 SM
Yan dan Dai ditaklukkan Qin.
Wuyue ditaklukkan Qin.
221 SM
Qi menyerah kepada Qin.
Tiongkok bersatu di bawah Dinasti Qin.
Penaklukan Yan
Pada tahun 228 SM, setelah jatuhnya Zhao, Wang Jian memimpin tentara Qin yang ditempatkan di Zhongshan untuk mempersiapkan serangan terhadap Yan. Ju Wu (鞠 武), seorang menteri Yan, mengusulkan kepada Raja Xi dari Yan untuk membentuk aliansi dengan Dai, Qi, dan Chu, dan berdamai dengan Xiongnu di utara, untuk melawan invasi Qin.[5] Namun, Putra Mahkota Dan merasa bahwa strategi aliansi tersebut tidak mungkin berhasil, sehingga dia mengirim Jing Ke untuk membunuh Ying Zheng, raja Qin. Jing Ke berangkat ke Qin dengan berpura-pura menjadi utusan, membawa serta peta Dukang[b] dan kepala Fan Wuji,[c] seorang jenderal pengkhianat Qin. Jing Ke gagal dan tewas dalam upayanya untuk membunuh Ying Zheng.
Pada 226 SM, dengan menggunakan upaya pembunuhan sebagai alasan, Ying Zheng memerintahkan Wang Jian memimpin pasukan untuk menyerang Yan, dengan Meng Wu (蒙武) bertindak sebagai wakil Wang Jian. Pasukan Qin mengalahkan pasukan Yan dan bala bantuan Yan dari Dai dalam pertempuran di tepi timur Sungai Yi (易水), setelah itu mereka menaklukkan Ji (薊; kini Beijing), ibu kota Yan.[5] Raja Xi dari Yan dan putranya, Putra Mahkota Dan, memimpin pasukan mereka yang tersisa untuk mundur ke Semenanjung Liaodong. Pasukan Qin yang dipimpin Li Xin mengejar pasukan Yan yang mundur ke Sungai Yan (衍 水; saat ini Sungai Hun, Liaoning), di mana mereka melawan pasukan musuh dan menghancurkan sebagian besar tentara Yan. Kemudian, Raja Xi memerintahkan eksekusi Putra Mahkota Dan mengirim kepala putranya ke Qin sebagai "permintaan maaf" atas upaya pembunuhan. Qin menerima "permintaan maaf" dan tidak menyerang Yan selama tiga tahun ke depan.
Pada 222 SM, tentara Qin yang dipimpin oleh Wang Ben menyerbu Liaodong dan menghancurkan pasukan Yan yang tersisa dan menawan Raja Xi, mengakhiri keberlangsungan Yan.[6] Bekas wilayah Yan dibagi-bagi dan ditata ulang untuk membentuk komanderi Yuyang (漁陽), Beiping (北平), Liaoxi (遼西), dan Liaodong (遼東) dari Kekaisaran Qin.[5]
Penaklukan Wei
Pada tahun 225 SM, 600.000 tentara Qin yang kuat yang dipimpin oleh Wang Ben menaklukkan lebih dari sepuluh kota di perbatasan utara Chu sebagai langkah pencegahan untuk menjaga sisi tersebut dari kemungkinan serangan dari Chu ketika Qin sedang menyerang Wei.[7] Wang Ben kemudian memimpin pasukannya ke utara untuk menyerang dan mengepung Daliang (大梁; barat laut Kaifeng, Henan saat ini), ibu kota Wei. Karena Daliang terletak di pertemuan Sungai Sui dan Ying dan Kanal Hong (鴻溝), letak geografisnya memberikannya keuntungan pertahanan alami.
Selain itu, parit di sekitar Daliang sangat lebar dan semua lima gerbang kota memiliki jembatan tarik, sehingga semakin sulit bagi pasukan Qin untuk menembus tembok kota. Pasukan Wei menggunakan kesempatan untuk memperkuat benteng dan pertahanan mereka.[7]
Wang Ben mengutarakan ide mengarahkan air dari Sungai Kuning dan Kanal Hong untuk membanjiri Daliang. Pasukan Wang Ben bekerja selama tiga bulan untuk mengalihkan aliran air sambil melanjutkan pengepungan di Daliang, dan berhasil dalam rencana mereka.[7] Daliang mengalami banjir yang parah dan lebih dari 100.000 orang tewas, termasuk warga sipil. Raja Jia dari Wei (魏王假) menyerah dan Wei berada di bawah penguasaan Qin.[8] Qin mendirikan komanderi Dang (碭) dan Sishui (泗水) di bekas wilayah Wei.[7]
Penaklukan Chu
Pada tahun 224 SM, Ying Zheng menyerukan pertemuan dengan para kawulanya untuk membahas rencananya menginvasi Chu. Wang Jian merasa bahwa mereka membutuhkan setidaknya 600.000 pasukan untuk kampanye militer ini, sementara Li Xin mengatakan bahwa 200.000 orang akan cukup. Ying Zheng mengabaikan ide Wang Jian dan memerintahkan Li Xin dan Meng Tian untuk memimpin pasukan sekitar 200.000 tentara untuk menyerang Chu.[9] Wang Jian mengundurkan diri dengan alasan sakit.
Tentara Chu yang dipimpin oleh Xiang Yan diam-diam mengikuti Li Xin dengan kecepatan tinggi selama tiga hari dan tiga malam sebelum meluncurkan serangan mendadak.[9] Pasukan Penguasa Changping mengikuti dari belakang dan bergabung dengan tentara Xiang Yan menyerang Li Xin. Sebagian besar pasukan Li Xin hancur dalam pertempuran.
Setelah mengetahui kekalahan Li Xin, Ying Zheng secara pribadi mengunjungi Wang Jian, yang sudah pensiun, meminta maaf karena tidak mengindahkan nasihat Wang Jian sebelumnya, dan mengundangnya kembali untuk mengabdi dalam ketentaraan. Dia menyetujui permintaan Wang Jian dan menempatkannya sebagai komandan bagi 600.000 tentara, di samping menugaskan Meng Wu untuk bertindak sebagai wakil Wang Jian. Wang Jian sadar bahwa raja akan meragukan kesetiaannya karena dia memegang terlalu banyak kekuasaan militer, karenanya dia sering mengirim utusan kembali kepada raja untuk meminta imbalan bagi keluarganya, dengan demikian raja tidak akan terlalu curiga padanya.
Pada tahun 224 SM, tentara Wang Jian melewati bagian selatan Chen (陳; kini Kabupaten Huaiyang, Henan) dan berkemah di Pingyu. Pasukan Chu, dipimpin oleh Xiang Yan, menggunakan kekuatan penuh mereka untuk meluncurkan serangan terhadap kamp Qin namun gagal.[9] Wang Jian memerintahkan pasukannya untuk mempertahankan posisi mereka dengan gigih dan menghindari maju lebih jauh ke wilayah Chu.[9] Setelah gagal mengumpan tentara Qin untuk menyerang, Xiang Yan memerintahkan mundur dan Wang Jian merebut kesempatan untuk meluncurkan serangan balik kejutan. Pasukan Qin mengejar pasukan Chu yang mundur ke Qinan (蕲南; barat laut Kabupaten Qichun, Hubei saat ini), di mana Xiang Yan gugur dalam tugas[d] dalam pertempuran selanjutnya.[9]
Pada tahun 223 SM, Qin meluncurkan serangan lain terhadap Chu dan merebut Shouchun (壽春; Kabupaten Shou, Anhui saat ini), ibu kota Chu. Fuchu, raja Chu, ditawan dan Chu dicaplok oleh Qin.[9][10] Tahun berikutnya, Wang Jian dan Meng Wu memimpin pasukan Qin menyerang wilayah Wuyue (meliputi Zhejiang dan Jiangsu saat ini), yang dihuni oleh [Baiyue]], dan menawan para keturunan keluarga kerajaan negara Yue kuno.[10] Wilayah-wilayah Wuyue yang ditaklukkan menjadi Komanderi Kuaiji dari Kekaisaran Qin.
Penaklukan Qi
Pada tahun 264 SM, Tian Jian menjadi raja Qi. Namun, karena dia terlalu muda untuk memerintah, ibunya sang janda permaisuri menjadi walinya. Qin menyuap Hou Sheng (後勝), kanselir Qi, untuk menghalangi Raja Jian membantu negara-negara lain saat mereka diserang oleh Qin.[11] Pada tahun 221 SM, Qi adalah satu-satunya negara di Tiongkok yang belum ditaklukkan oleh Qin. Qi buru-buru memobilisasi pasukannya ke perbatasan baratnya sebagai perlindungan terhadap kemungkinan invasi Qin, meskipun militernya tidak dilengkapi dengan baik dan semangat juang yang rendah.[11]
Pada tahun yang sama, Ying Zheng menggunakan penolakan Qi terhadap pertemuan dengan utusan Qin sebagai alasan untuk menyerang Qi. Tentara Qin, dipimpin oleh Li Xin, menghindari konfrontasi langsung dengan pasukan musuh yang ditempatkan di perbatasan barat Qi, dan bergerak maju ke pusat negara Qi melalui jalan memutar selatan dari Yan. Pasukan Qin menghadapi sedikit perlawanan ketika mereka melewati wilayah Qi dan akhirnya tiba di Linzi (utara Zibo, Shandong kini), ibu kota Qi. Raja Jian terkejut. Ketika Hou Sheng mendesaknya untuk menyerah, dia mengindahkan nasihat Hou Sheng dan menyerah kepada Qin tanpa melakukan perlawanan.[10] Bekas wilayah-wilayah Qi ditata ulang untuk membentuk komanderi Qi (齊) dan Langya (琅邪) dari Kekaisaran Qin.[11]
Kesudahan
Pada tahun 221 SM, setelah penaklukan Qi, Ying Zheng memproklamasikan dirinya "Qin Shi Huang" (秦始皇; secara harfiah "Kaisar Qin Pertama") dan mendirikan Dinasti Qin. Kekaisaran Qin dibagi menjadi 36 komanderi, dengan Xianyang sebagai ibu kota kekaisaran. Qin Shi Huang menciptakan negara dan kerajaan yang terpusat yang akan menjadi fondasi dari dinasti Tiongkok di masa depan. Meskipun Dinasti Qin hanya bertahan selama 15 tahun, pengaruhnya pada sejarah Tiongkok bertahan hingga berabad-abad kemudian.[12]
Pada tahun 209 SM, pada masa pemerintahan Qin Er Shi, putra dan penerus Qin Shi Huang, Chen Sheng dan Wu Guang mengobarkan pemberontakan di Dazexiang untuk menggulingkan Dinasti Qin karena kebijakan brutal dan opresif pemerintahan Qin. Meskipun pemberontakan dibasmi oleh pasukan kekaisaran, beberapa pemberontakan lainnya juga mulai secara beruntun di seluruh Tiongkok selama tiga tahun ke depan. Penguasa Qin terakhir, Ziying, menyerah kepada pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Liu Bang pada tahun 206 SM, yang mengakhiri Dinasti Qin. Beberapa pasukan pemberontak menyatakan memulihkan negara-negara sebelumnya yang dicaplok oleh Qin dan banyak pretender takhta dari negara-negara sebelumnya tersebut muncul. Pada tahun 206 SM, Xianyang diduduki dan dijarah oleh pasukan Xiang Yu, seorang keturunan Xiang Yan, jenderal Chu.
Catatan
^Sebuah negara kecil yang didirikan pada tahun 228 SM oleh sisa-sisa negara Zhao yang runtuh.
^Dukang adalah negeri yang paling subur di Yan. Putra Mahkota Dan berpura-pura menyerahkan negerinya kepada Qin untuk membuat Qin lengah, serta untuk membantu Jing Ke memperoleh kepercayaan Ying Zheng sehingga Jing Ke bisa lebih dekat dengan raja dan membunuhnya.
^Fan Wuji diyakini merupakan Huan Yi, jenderal Qin yang melarikan diri ke Yan untuk menghindari hukuman setelah kekalahannya selama penaklukan Qin terhadap Zhao.
^Beberapa laporan mengatakan bahwa Xiang Yan bunuh diri setelah kekalahannya.
Bodde, Derk (1987), "The State and Empire of Qin", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, The Cambridge History of China, I: the Ch'in and Han Empires, 221 BC – AD 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 20–103, ISBN0-521-24327-0.
Li, Bo; Zheng, Yin (2001), 《中华五千年》 [5000 years of Chinese History] (dalam bahasa Tionghoa), Inner Mongolian People's publishing, ISBN7-204-04420-7.