Perang Saudara Tajikistan
Perang Saudara Tajikistan adalah sebuah perang sipil di negara Tajikistan yang meletus pada bulan Mei 1992 ketika kelompok etnis dari daerah Garm dan Gorno-Badakhshan yang kurang terwakili dalam elit penguasa bangkit melawan pemerintahan Presiden Rahmon Nabiyev. Perang sipil ini berlangsung hingga tahun 1997 dengan jumlah korban jiwa yang jatuh diperkirakan mencapai 50.000 hingga 100.000 jiwa.[6][7] Pada tanggal 27 Juni 1997 perang diakhiri dengan kesepakatan damai yang ditandatangani di Moskow oleh Presiden Emomalii Rahmon, pemimpin Serikat Oposisi Tajik (UTO) Sayyid Abdulloh Nuri dan wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB Gerd.[8] Latar BelakangKetegangan dimulai sejak musim semi tahun 1992 setelah anggota oposisi turun ke jalan dalam demonstrasi menentang hasil pemilihan presiden tahun 1991. Menyikapi demontrasi oposisi ini Presiden Rahmon Nabiyev bersama Ketua Mahkamah Soviet di Tajikistan Safarali Kenjayev mengatur penyebaran senjata kepada milisi pro-pemerintah, sementara oposisi mendapatkan bantuan militer dari gerilyawan Tajik yang ada di Afghanistan. Pertempuran pecah bulan Mei 1992 antara pendukung pemerintah dan oposisi yang tidak diorganisir ketat, kalangan oposisi terdiri atas kelompok-kelompok etnis maupun mereka yang datang dari daerah Garm dan Gorno-Badakhshan (yang terakhir juga disebut Pamiris). Secara ideologi, oposisi terdiri atas kelompok reformis liberal demokratis. Sementara dipihak lain, pemerintah didominasi oleh orang-orang dari daerah Leninabad, yang sepanjang periode Uni Sovyet menduduki posisi elit pemerintahah Tajikistan. Selain itu pemerintah didukung juga oleh orang-orang dari wilayah Kulyab, mereka yang sebelumnya mendominasi kedudukan tinggi di Kementerian Dalam Negeri di masa Uni Soviet. Setelah terjadi banyak kekerasan bersenjata, akhirnya para pendukung pemerintah dipaksa untuk menerima jalan tengah dimana koalisi pemerintahan baru koalisi baru dibentuk dengan menggabungkan anggota oposisi dan akhirnya pemerintahan sepenuhnya didominasi oleh mereka.[9] Pada 7 September 1992, Nabiyev ditangkap oleh oposisi dan dipaksa meletakan jabatannya di bawah todongan senjata.[7][10] Selanjutnya kekacauan dan pertempuran pecah antara faksi-faksi yang menentang memerintah di luar ibu kota Dushanbe. Dengan bantuan militer Rusia dan Uzbekistan yang disalurkan kepada melawan pasukan Front Rakyat Leninabadi-Kulyabi pada awal dan akhir tahun 1992, pemerintah koalisi di ibu kota dipaksa untuk mengundurkan diri. Lalu pada Desember 1992 Mahkamah Agung Soviet Agung (parlemen), di mana faksi Leninabadi-Kulyabi telah memegang kursi mayoritas selama ini bersidang dan memilih pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Emomali Rahmonov. Pemilihan ini mewakili peralihan kekuasaan dari kekuatan lama yang berbasis di Leninabad kepada milisi dari Kulyab, daerah Rahmonov berasal.[11][12] Puncak peperangan terjadi pada 1992-93 ketika para milisi Kulyabi melawan berbagai kelompok, termasuk militan dari Partai Renaissance Islam Tajikistan (IRP) dan etnis minoritas Pamiris dari Gorno-Badakhshan. Memanfaatkan besarnya dukungan asing yang mereka terima, milisi Kulyabi mampu mengalahkan pasukan oposisi dan melanjutkan perang sipil itu dengan pembersihan etnis terhadap Pamiris dan Garmis sebagaimana apa yang digambarkan oleh Human Rights Watch.[13] Kampanye pembersihan etnis ini terkonsentrasi di daerah selatan ibu kota dimana para milisi Kulyabi melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh terkemuka, pembunuhan massal, pembakaran desa dan pengusiran penduduk Pamiri dan Garmi ke Afghanistan. Kekerasan itu paling banyak terkonsentrasi di Qurghonteppa, yang menjadi basis kekuatan IRP serta merupakan kampung halaman bagi etnis Garmis. Puluhan ribu orang dilaporkan tewas atau melarikan diri ke Afghanistan.[11][12][14][15] Oposisi menyusun kekuatanDi Afghanistan oposisi menyusun kembali kekuatan mereka dan mempersenjatai diri dengan bantuan Jamiat-i-Islami. Pemimpin kelompok Jamiat-i-Islami Ahmad Shah Masoud menjadi donatur bagi kelompok oposisi Tajik. Selanjutnya dalam perang tersebut kelompok oposisi dikendalikan di bawah sebuah grup yang memayungi perlawanan mereka yang disebut Serikat Oposisi Tajik Oposisi, atau UTO.[16] Iran tidak melibatkan diri secara militer dalam konflik, tetapi memberikan dukungan ideologis bagi umat Islam yang telah lama ditolak haknya untuk bebas menjalankan iman mereka di Uni Soviet. Kebuntuan dan PerdamaianSelain para petempur yang teroganisir perang tersebut diramaikan juga oleh kelompok-kelompok bersenjata lainnya, sehingga kekacauan sipil tersebut lebih mencerminkan hilangnya kewenangan pemerintah pusat daripada kesetiaan terhadap faksi politik. Dalam menanggapi kekerasan tersebut misi pengamat PBB ditempatkan di Tajikistan. Awalnya sebagian besar pertempuran terjadi pada di bagian selatan negara itu, namun sejak 1996 kaum pemberontak kelompok radikal Islam yang datang dari Afghanistan utara juga memerangi pasukan Rusia di ibu kota Dushanbe. Sebuah gencatan senjata yang disponsori PBB akhirnya mengakhiri perang pada tahun 1997. Didorong pula oleh dialog internal Tajikistan lalu para pihak berinisiatif melanjutkan diplomasi damai yang dilakukan bersama pihak internasional, dalam hal ini Amerika Serikat dan Rusia. Ketika perjanjian damai disepakati dengan menghapus dominasi wilayah Leninabad (Khujand) dari kekuasaan. Selanjutnya pemilihan presiden diadakan pada tanggal 6 November 1999. Pemimpin UTO pada tanggal 23 Juni 1997 mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dan Tajik Presiden Emomali Rahmonov, bahwa UTO tidak akan menandatangani perjanjian perdamaian sebagaimana diusulkan akan ditandatangani pada 27 Juni jika dalam kesepakatan damai itu tidak menguraikan kesepakatan pertukaran tahanan dan alokasi pekerjaan dalam pemerintahan koalisi. Peringatan yang sama diulangi sekali lagi oleh pemimpin tertinggi UTO lainnya Akbar Turajonzoda, pada tanggal 26 Juni. Negosiasi damai dilanjutkan pada hari yang sama oleh pemimpin UTO Sayid Abdulloh Nuri dan presiden Rusia Boris Yeltsin bertemu di Kremlin pada 26 Juni. Namun pemerintah Tajik mendorong agar perjanjian damai disepakati dan semua masalah yang menjadi tuntutan UTO diselesaikan melalui perundingan selanjutnya. Dalam proses negosiasi damai itu Menteri Luar Negeri Rusia Yevgeny Primakov bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Kazakhstan dan Turkmenistan untuk membahas perjanjian perdamaian yang diusulkan semua pihak..[17][18] Perang membuat kondisi Tajikistan dalam keadaan hancur lebur. Jumlah korban yang tewas diperkirakan sebanyak 50.000 sampai 100.000 jiwa dari semua pihak. Sekitar 1,2 juta orang menjadi pengungsi di dalam dan luar negeri. Infrastruktur fisik Tajikistan, layanan pemerintah dan ekonomi berantakan dan banyak penduduk yang mengandalkan hidup dari bantuan organisasi bantuan internasional. PBB mendirikan Misi Pengamat pada Desember 1994 guna mempertahankan perundingan damai sampai pihak berperang menandatangani perjanjian damai yang komprehensif pada tahun 1997.[19] Selain kerusakan dan korban jiwa yang besar tersebut, perang saudara ini juga menyasar korban dari para wartawan yang sering kali menjadi sasaran pembunuhan. Tercatat puluhan wartawan Tajik tewas, sebagian besar di antara mereka memilih melarikan diri dari negara itu. Banyak tokoh-tokoh penting yang terbunuh termasuk di antaranya wartawan dan politisi Otakhon Latifi, jurnalis dan pemimpin Yahudi Meirkhaim Gavrielov, politisi Safarali Kenjayev dan empat anggota Misi Pengamat PBB di Tajikistan: Yutaka Akino, seorang Jepang ahli sejarah Asia Tengah, Mayor Ryszard Szewczyk dari Polandia, Mayor Adolfo Scharpegge dari Uruguay dan Jourajon Mahramov dari Tajikistan,[20] serta seorang pembuat film dokumenter Arcady Ruderman. Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|