Pengepungan Bukhara
Pengepungan Bukhara terjadi pada Februari 1220, saat invasi Kekaisaran Khwarazmia oleh Mongol. Genghis Khan, penguasa Kekaisaran Mongol, meluncurkan serangan berganda ke Kekaisaran Khwarazmia yang diperintah oleh Shah Muhammad II. Kala Shah berencana untuk mempertahankan kota-kota besarnya secara sendiri-sendiri, Mongol melakukan pengepungan ke kota perbatasan Otrar, dan bergerak lebih lanjut ke Khwarazmia. Kota Bukhara merupakan pusat perdagangan dan budaya besar di Kekaisaran Khwarazmia, namun berada jauh dari perbatasan dengan Kekaisaran Mongol, dan sehingga Shah mengerahkan kurang dari 20.000 prajurit untuk mempertahankannya. Pasukan Mongol, yang diperkirakan berjumlah antara 30.000 dan 50.000 pasukan dan dikomandani oleh Genghis sendiri, melewati Gurun Kyzylkum, yang sebelumnya dianggap tak layak dilalui pasukan besar. Pasukan pertahanan Bukhara menerima serangan kejutan dan, usai kegagalan pengerahan, kota luar ditaklukan dalam tiga hari pada 10 Februari. para loyalis Khwarazmia masih mempertahankan benteng kota selama kurang dari dua pekan, sebelum dirangseki dan ditaklukan. Pasukan Mongol membantai setiap orang di benteng kota dan memperbudak sebagian besar penduduk kota tersebut. Mongol mengangkat pekerjaan pengrajin dan tukang terampil, memberlakukan wajib militer terhadap penduduk lainnya. Walaupun Bukhara kemudian hancur akibat kebakaran, kehancurannya relatif lebih ringan dibandingkan tempat lainnya. Dalam jangka waktu yang singkat, kota tersebut sempat kembali menjadi pusat perdagangan dan pembelajaran, dan sangat diuntungkan dari Pax Mongolica. Latar belakangMenjelang invasi Mongol, survei geografi Yaqut al-Hamawi menyebut Bukhara sebagai "salah satu kota terbesar di Asia Tengah".[1][a] Dengan populasi mencapai 300.000 dan sebuah perpustakaan berisi 45.000 buku, kota tersebut bersaing dengan Baghdad sebagai pusat pembelajaran dan budaya.[2][3] Masjid Po-i-Kalyan, yang dipakai pada 1121, menjadi salah satu masjid terbesar di dunia, dan meliputi minaret Kalyan.[4] Kota tersebut dijaga oleh Tabut Bukhara, sebuah benteng yang didirikan pada abad kelima yang dibuat sebagai benteng kota. Ladang perkebunan secara khusus diirigasi memakai air dari Sungai Zeravshan.[5] Pada abad kedua belas, kota tersebut berada di bawah kekuasaan Qarakhaniyah, yang dulunya menguasai banyak kota terkaya di wilayah tersebut, seperti Samarkand, Tashkent dan Fergana.[6] Biasanya, vassal-vassal dari Kekhanan Qara-Khitai, Qarakhaniyah diperkenankan untuk beroperasi secara otonom, karena populasi dan wilayah yang besar di bawah kendali mereka. Pada 1215, wilayah tersebut dikuasai oleh Khwarazmia, yang dulunya juiga merupakan vassal Qara-Khitai, yang timbul dari Gurganj sampai kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh Kekaisaran Seljuk yang runtuh.[7][8] Pada 1218, Khwarazmshah Muhammad II menjadi Sultan Hamadan, Iran dan Khorasan, dan mendirikan kekuasaan atas Ghuriyah dan Eldiguziyah.[7] Dinasti Khwarazmia menaklukan Qara-Khitai, yang mengalami ketidakstabilan karena pengungsi yang kabur dari penaklukan Genghis Khan, yang telah mulai mendirikan hegemoni atas suku-suku Mongol.[9] Usai kekalahan musuh utama mereka, pangeran Naiman Kuchlug, hubungan antara Mongol dan Khwarazmiyah awalnya kuat,[10] namune Shah kemudian mengembangkan kegelisahan terhadap Mongol. Pembuat kronik al-Nasawi mengaitkannya dengan sebuah pertikaian sebelumnya yang tak diinginkan dengan pasukan Mongol, yang bergerak cepat dan tertuju pada Shah.[11] Pada 1218, Shah memperkenankan Inalchuq, gubernur Otrar, untuk menangkapi rombongan dagang Mongol, dan merampas barang-barangnya. Berniat melakukan penyelesaian diplomatik, Genghis Khan mengirim tiga utusan ke Gurganj, namun Muhammad menangkapi mereka dan secara terbuka mengeksekusi salah satunya. Menjadi murka, Genghis meninggalkan perangnya yang sedang berlangsung melawan dinasti Jin Tiongkok, dan bergerak ke barat pada 1219 dengan sebagian besar pasukannya, hanya meninggalkan pasukan kecil di bawah komando Muqali.[12] PermulaanTerdapat laporan berseberangan terkait total jumlah pasukan invasi Mongol. Angka tertinggi dihitung oleh para sejarawan Muslim klasik seperti Juzjani dan Rashid al-Din.[13][14] Cendekiawan-cendekiawan modern seperti Morris Rossabi menyatakan bahwa jumlah pasukan invasi Mongol tak berjumlah lebih dari 200.000;[15] John Masson Smith memberikan perkiraan sekitar 130.000.[16] Angka minimum 75.000 diberikan oleh Carl Sverdrup, yang berhipotesis bahwa tumen (unit militer Mongol terbesar) seringkali dilebih-lebihkan jumlahnya.[17] Pasukan Mongol datang ke Khwarazmia secara beruntun: pertama, sebuah pasukan pimpinan putra sulung Genghis Jochi dan panglima Jebe yang melintasi perlintasan Tien Shan, dan mulai merangseki kota-kota timur Lembah Fergana. Para saudara Jochi Chagatai dan Ogedai kemudian dikerahkan ke Otrar dan mengepungnya.[18] Genghis kemudian datang dengan putra bungsunya Tolui, dan membagi pasukan invasi dalam empat divisi: kala Chagatai dan Ogedai masih mengepung Otrar, Jochi bergerak ke barat laut menuju arah Gurganj. Detasemen kecil juga dikirim untuk merebut Khujand, namun Genghis sendiri mengarahkan Tolui dan sekitar separuh pasukan — antara 30.000 dan 50.000 pasukan — dan bergerak menuju ke barat.[19] Khwarazmshah menghadapi banyak masalah. Kekaisarannya luas dan baru dibentuk, dengan pemerintahan yang masih berkembang.[20] Ibunya Terken Khatun masih memegang kekuatan mumpuni di kerajaan tersebut—Peter Golden menganggap hubungan antara Shah dan ibunya sebagai "diarki yang tak mudah", yang seringkali bertindak kala Muhammad tak bergerak.[21] Shah tak mempercayai sebagian besar panglimanya, satu-satunya pengecualian adalah putra sulung dan pewarisnya Jalal al-Din, yang keterampilan militernya memiliki perang dalam pertikaian sungai Irghiz pada setahun sebelumnya.[22] Jikae Khwarazmshah berniat memicu pertempuran, seperti yang diharapkan sebagian besar panglimanya, ia akan kalah banding dengan pasukan Mongol, baik dalam jumlah pasukan maupun keterampilannya.[23] Shah kemudian memutuskan untuk mengerahkan pasukannya sebagai pasukan garisun di sebagian besar kota penting di kekaisaran tersebut.[12] Karena jauh dari palahan perang yang sebetulnya, Bukhara mengerahkan pasukan yang relatif sedikit. Seperti halnya pasukan Mongol, terdapat juga perdebatan soal jumlah dan komposisi pasukan Shah. Pembuat kronik Juvaini menyatakan bahwa 50.000 dikirim untuk membantu Otrar, dan bahwa ada setidaknya 20.000 di Bukhara.[24] Menurut Sverdrup, terdapat antara dua dan lima ribu pasukan di Bukhara.[25] Menghadapi strategi Shah, Genghis mengerahkan kekuatan terhadap Samarkand dan bergerak 300 mil dari Gurun Kyzylkum untuk mencapai Bukhara pada 7 Februari 1220. Seperti halnya orang-orang sezaman yang menganggap Kyzylkum dilalui oleh pasukan besar, para sejarawan modern seperti H. Desmond Martin dan Timothy May menganggap manuver tersebut sebagai kehandalan taktikal.[26][27][28] PengepunganShah didapati sepenuhnya tak sadar. Ia menganggap bahwa Genghis mula-mula akan menyerang Samarkand, tempat pasukan kerahannya dan garisun ditempatkan di Bukhara akan menindak pengepungan tersebut. Iring-iringan Khan melewati Kyzylkum telah meninggalkan pasukan kerahan Khwarazmia menjadi tak berkutik, tak dapat menindak musuh atau menolong warganya.[25] Juvaini mencatat bahwa garisun di Bukhara dikomandoi oleh seorang sosok bernama Gür-Khan.[29] Sejarawan awal abad ke-20 Vasily Bartold menyatakan bahwa ini mungkin merujuk kepada Jamukha, seorang teman lama yang beralih menjadi musuh Genghis.[30] Kebanyakan sejarawan saat ini tak menganggapnya demikian, karena Jamukha diyakini telah dihukum mati pada 1206.[25][31] Pengerahan militer ebsar terhadap pengepungan tersebut terjadi pada hari kedua atau ketiga, kala pasukan Sultan, berjumlah antara 2.000 dan 20.000, bergerak maju. Juvaini menyatakan bahwa mereka dimusnahkan oleh Mongol di tepi sungai:
Sejarawan Paul Buell menyatakan bahwa pengerahan tersebut, yang dilakukan sendiri oleh pasukan auksilier Sultan dan bukan oleh garisun kota, telah berniat untuk kabur. Ia mengaitkan kehendak mereka untuk kabur dengan fakta bahwa Bukhara menjadi taklukan Khwarazmia paling terkini, yang direbut dari Qarakhaniyah kurang dari satu dasawarsa sebelumnya.[32] Pada 10 Februari, kota tersebut ditaklukan. Hanya pemberontakan yang kini datang dari segerombolan kecil loyalis di benteng kota. Benteng kota tersebut dibangun dengan ukuran yang paling tinggi, namun Khan mengerahkan para pakar dalam perang pengepungan dari Tiongkok. Perangsekan dilakuakn usai sepuluh hari memakai senjata bubuk meriam dan alat bakar, dan tembok kota tersebut jatuh pada hari kedua belas.[33][34] DampakKala memasuki kota tersebut, Genghis Khan dikatakan memberikan pidato kala salat Jumat di kota tersebut:[37]
Sejumlah kecil pemberontakan dari benteng kota akan mempertaruhkan nasib sisa-sisa Bukhara. Mongol menyulut kebakaran terhadap kota tersebut dalam upaya untuk menyingkirkan para pembelot. Karena banyak struktur di kotak tersebut yang berbahan kayu, kebakaran yang tak terkendali tersebut memusnahkan sebagian besar kota tersebut, termasuk perpustakaan terkenal.[32] Kebanyakan struktur batu yang bertahan pada kebakaran tersebut di diratakan oleh Mongol, termasuk masjid Po-i-Kalyan. Minaret Kalyan dibiarkan berdiri.[39] Walaupun setiap orang di dalam benteng kota dibantai, populasi tak sepenuhnya dimusnahkan, tak seperti kota-kota lain seperti Merv dan Gurganj. Sehingga, rakyat dievakuasi dan terbagi. Kebanyakan wanita dirudapaksa dan diambil sebagai gundik, dan pengrajin kota tersebut dikirim ke pabrik-pabrik dan diperintahkan untuk membuat persenjataan Mongol, dan semua pria yang tersisa dalam usia layak diperintahkan melakukan wajib militer dalam pasukan Mongol.[40][41] Wajib milit tersebut akan dipakai sebagai tameng manusia dalam pengepungan-pengepungan Samarkand dan Gurganj, yang menyusul pada 1220 dan 1221.[42] Shah Muhammad wafat di sebuah pulau pada Laut Kaspia, dan Mongol secara sistematis mengepung dan merebut setiap kota besar di kekaisarannya.[43] Putranya Jalal al-Din melakukan pemberontakan besar namun kemudian kalah dalam Pertempuran Indus pada November 1221.[19] WarisanWalau menyurut dalam jangka pendek, pengepungan tersebut bukanlah akhir dari kota tersebut. Pada kenyataannya, kota tersebut mampu bertahan menjadi pusat perdagangan Asia dalam dua dasawarsa.[44] Unsur-unsur proto-birokratik dengan cepat ditempatkan di bawah naungan daruyachi Yelü Ahai.[45] Kebanyakan lembaga yang kemudian ditempatkan membuahkan inspirasi dari Qara-Khitai, yang disebut oleh Buell sebagai 'prototipe Kekaisaran Mongol'.[32] Catatan utusan Taois ke wilayah tersebut pada 1221 menyatakan bahwa Samarkand dan Bukhara mulai diduduki dengan para pemukim tukang Tiongkok dan Khitan.[46] Wilayah tersebut masih tak stabil. Kepala bandit Khwarazmia memutuskan untuk membunuh daruyachi Bukharan pada sekitaran masa itu. Bekas kota-kota Khwarazmia kemudian menjadi sumber pendapatan utama untuk Ogedai, dan kemudian menjadi kota-kota penting Kekhanan Chagatai. Bukhara dan Samarkand kemudian menjadi kampung halaman Timur Lenk.[47] Tempat tersebut meraih kembali pengaruh keagamaannya, menjadikannya pusat Sufisme paling penting di Asia Tengah dan kuil di sekitaran makam Sayf al-Din al-Bakharzi menjadi salah satu harta benda paling kaya di wilayah tersebut.[48] ReferensiCatatanKutipan
SumberAbad pertengahan
Modern
|