Two Palestinian assailants, working in a Hamas cell under Izzedine al Qassam Brigades commander Ahmed Jabari.[1]
Pengeboman Dimona 2008 adalah serangan bunuh diri yang dilakukan di Dimona, Israel pada tanggal 4 Februari 2008 oleh Hamas.[2] Diyakini bahwa para pemimpin Hamas di Jalur Gaza memerintahkan serangan ini tanpa sepengetahuan biro politik Hamas di Damaskus.[1]
Kepolisian Israel berhasil menembak mati seorang kaki tangan yang terluka di ledakan pertama sebelum berhasil meledakkan sabuknya sendiri.[3]
Satu wanita warga Israel terbunuh dalam serangan tersebut, sedangkan sembilan orang lain terluka (salah satunya luka kritis).[3] Serangan ini adalah serangan bunuh diri pertama 'berhasil' terhadap warga sipil Israel sejak pengeboman toko roti Eilat pada 29 Januari 2007.
Korban jiwa
Satu-satunya korban jiwa dalam serangan ini adalah Lyubov Razdol'skaya (bahasa Rusia: Любовь Раздольская) yang berusia 73 tahun. Razdol'skaya bersama suaminya, Edward Gedalin (bahasa Rusia: Эдуард Гедалин), imigrasi dari Tbilisi, USSR ke Israel pada tahun 1990. Mereka berdua sebelumnya bekerja di Academy of Sciences Institute of Physics (Akademi Sains Institut Fisika) Republik Sosialis Soviet Georgia. Setelah pindah ke Israel mereka bekerja di jurusan fisika Ben-Gurion University of the Negev dan sudah pensiun sejak 2002. Gedalin sendiri terluka kritis saat serangan tersebut dan kemudian dirawat di Pusat Medis Soroka University di Beer Sheva.[4][5]
Para pelaku
Brigade Syuhada al-Aqsa dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina mulanya mengklaim tanggung jawab, akan tetapi kedua warga Gaza yang mereka sebut sebagai para penyerang tidak sesuai dengan mayat yang ditemukan di TKP. Hamas kemudian mengklaim tanggung jawab pada tanggal 5 Februari, menyebutkan para pelakunya Muhammed Herbawi (محمد الحرباوي) dan Shadi Zghayer (شادي الزغيّر), keduanya dari kota milik Palestina, Hebron, di Tepi Barat, tempat yang diyakini sebagai asal mereka bepergian.[2][6][7] Intelijen Israel meyakini serangan tersebut diperintahkan oleh komandan Brigade Izzedine al Qassam, Ahmed Jabari, dengan dukungan pimpinan Hamas yang bermarkas di Gaza, Mahmoud al-Zahar; Jabari mengontak seorang sekutunya di kaum Qawasameh Hebron —Ayoub Qawasmeh— yang kemudian merekrut para pelaku dari tim sepakbola lokal Hamas. Scott Atran menyatakan bahwa politbiro Hamas di Damaskus tidak diberi informasi atas serangan tersebut.[1] Israel kemudian membongkar rumah-rumah Herbawi dan Zghayer, sementara "situs Brigade Syuhada al Aqsa mati selama tiga hari, kemungkinan karena terkena serangan elektronik setelah klaim palsu mereka."[2]
Pembalasan Israel
Pada 26 July 2008, IDF (Pasukan Pertahanan Israel) dan kepolisian Israel membunuh Shihab Natsheh (25), seorang anggota Hamas dari Hebron. Menurut IDF, Natsheh adalah teknisi bahan peledak yang menyiapkan peledak demolisi yang dipakai untuk melaksanakan pengebomam bunuh diri Dimona.[8][9]
Reaksi pemerintah
Pihak yang terlibat
Israel: Perdana Menteri IsraelEhud Olmert dalam sebuah rapat Partai Kadima mengatakan bahwa Israel sedang berjuang dalam suatu "perang yang tak henti-hentinya... melawan siapa pun yang mencoba menyakiti warga negara Israel".[3]
Hamas: Juru bicara Hamas Ayman Taha memuji pengeboman tersebut sebagai suatu "tindakan mulia" dan mengatakan bahwa serangan tersebut adalah suatu "reaksi yang wajar terhadap pembunuhan selama berbulan-bulan" warga Palestina oleh militer Israel.[3][10]
Internasional
Britania Raya: Menteri Negara untuk Urusan Luar Negeri dan Persemakmuran, David Miliband mengutuk serangan tersebut dalam sebuah berita untuk pers mengatakan: "Serangan hari ini, yang pertama di Israel sepanjang setahun, ditujukan untuk mengacaukan proses perdamaian. Kejahatan-kejahatan para teroris tidak boleh membelokkan kita dari tujuan bersama kita yaitu keadilan dan damai yang berkepanjangan antara warga Israel dan warga Palestina yang didasari solusi dua negara".[11]
Amerika Serikat: Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Sean McCormack, mengutuk serangan tersebut dalam jumpa pers dan mengatakan: "Semua kejadian-kejadian ini menunjukkan fakta bahwa kita perlu melakukan semua yang bisa kita lakukan, bersama dengan mitra-mitra kita di sistem internasional, untuk membantu warga Israel dan warga Palestina mencapai kesepakatan politik dan mengakomodasi permasalahan-permasalan yang memisahkan mereka. Maka pada saat itu, bangsa Palestina akan bisa menentukan sendiri arah jalan mana yang akan mereka ambil; apakah mereka memilih jalan untuk memiliki Negara Palestina atau apakah memilih untuk tetap berjalan di arah yang diwakili oleh Hamas dan kelompok-kelompok penolak lainnya yang merupakan jalan kekerasan dan tidak mengarah ke terbentuknya suatu negara".[12]