Pengeboman Palembang (1944)
Pengeboman Palembang (disebut Operation Boomerang oleh Sekutu) adalah serangan udara yang dilancarkan oleh Komando Pengebom XX Pasukan Udara AD Amerika Serikat (USAAF) terhadap Palembang yang berada di bawah pendudukan Jepang di tengah Perang Dunia II. Serangan ini terjadi pada malam 10/11 Agustus 1944 dalam upaya melakukan pengeboman terhadap sebuah kilang minyak di Palembang serta pemasangan ranjau dari udara di Sungai Musi untuk menghambat lalu lintas sungai tersebut. Serangan ini merupakan bagian dari rangkaian serangan terhadap kota-kota yang diduduki Jepang di Asia Tenggara, yang dilakukan selagi Komando Pengebom XX melancarkan misi utamanya yaitu pengeboman Jepang. Pengeboman ini menempuh jarak lebih dari 6.000 km untuk pulang pergi dalam waktu sekitar 19 jam, dan merupakan salah satu misi tempur terpanjang dalam Perang Dunia II. Operasi ini juga menjadi awal dari taktik penggunaan B-29 untuk menempatkan ranjau yang selanjutnya sering dilakukan Sekutu. Serangan dilakukan pada malam yang sama dengan serangan udara Komando Pengebom XX terhadap kota Nagasaki. Sebanyak 54 pesawat pengebom berat jenis B-29 Superfortress diberangkatkan pada 10 Agustus dari sebuah lapangan terbang di Ceylon (kini Sri Lanka) yang dikuasai Britania (Inggris) Raya, tetapi hanya 39 yang mencapai daerah sasaran. Upaya mengebom kilang minyak tidak terlalu berhasil karena hanya mampu menghancurkan satu bangunan saja. Sementara itu, ranjau yang ditempatkan di Sungai Musi yang menghubungkan Palembang ke laut berhasil menenggelamkan tiga kapal dan merusak empat lainnya. Pasukan Britania menyediakan dukungan pencarian dan pertolongan untuk pesawat-pesawat pengebom AS. Senjata-senjata antipesawat Jepang maupun pesawat tempur yang ditugaskan untuk menjaga Palembang gagal menjatuhkan satu pun pesawat AS, tetapi sebuah B-29 terpaksa mendarat di air saat kehabisan bahan bakar dalam perjalanan pulangnya. Ini merupakan satu-satunya serangan USAAF terhadap fasilitas minyak strategis di Palembang, tetapi kelak pada Januari 1945 Palembang diserang lagi oleh pesawat-pesawat Britania yang diluncurkan dari kapal-kapal induk. Latar belakangPada saat Perang Pasifik (sebutan untuk Perang Dunia II yang berkobar di kawasan Asia Pasifik), Palembang adalah pusat produksi minyak utama di Hindia Belanda. Kota ini beserta kilang-kilang minyaknya direbut oleh pasukan Jepang pada pertengahan Februari 1942 dalam Pertempuran Palembang. Sebelum dikalahkan, para insinyur Belanda berusaha merusak kilang-kilang tersebut agar Jepang tidak dapat menggunakannya, tetapi produksi minyak berhasil dipulihkan pada akhir 1942.[1] Pada awal 1944, intelijen Sekutu memperkirakan bahwa kilang Plaju di Palembang memasok hampir 22 persen dari kebutuhan bahan bakar minyak Jepang untuk kapal dan fasilitas industri, serta 78 persen dari kebutuhan bahan bakar penerbangan.[2] Pada akhir 1943, Gabungan Kepala-Kepala Staf Amerika Serikat menyetujui usulan untuk memulai serangan udara strategis terhadap Kepulauan Jepang dan Asia Timur dengan mengandalkan pesawat pengebom berat Boeing B-29 Superfortress di India dan membangun lapangan terbang perintis di Tiongkok. Unsur utama operasi ini, dinamakan Operasi Matterhorn, melibatkan pembangunan landasan udara di dekat Chengdu di pedalaman Tiongkok yang akan digunakan untuk mengisi bahan bakar pesawat-pesawat B-29 yang terbang dari Benggala menuju target di Jepang. Operasi Matterhorn dilancarkan oleh Komando Pengebom XX dari Pasukan Udara ke-20. Panglima USAAF, Jenderal Henry H. Arnold, memberikan komando secara langsung Pasukan Udara ke-20 karena ia sebelumnya telah mendirikannya sebagai kekuatan pengebom strategis independen yang bertanggung jawab langsung kepada Gabungan Kepala-Kepala Staf dan bukan kepada panglima-panglima sektor di Pasifik. Komando Pengebom XX dipimpin oleh Brigadir Jenderal Kenneth Wolfe.[3] Komando Pengebom XX melancarkan misi tempur pertamanya terhadap Bangkok pada 5 Juni 1944. Selama operasi ini, dua B-29 kehabisan bahan bakar di atas Teluk Benggala dalam perjalanan kembalinya ke India dan terpaksa mendarat di air.[4][5] PerencanaanGagasan menyerang Palembang bermula sebelum disetujuinya Operasi Matterhorn, dan muncul dari perdebatan tentang strategi yang tepat untuk menggunakan pesawat-pesawat pengebom berat B-29 AS terhadap Jepang. Pada akhir 1943 dan awal 1944, muncul pertimbangan serius untuk menyerang kapal-kapal dagang dan fasilitas-fasilitas minyak di Asia Tenggara dengan menggunakan B-29 yang diluncurkan dari pangkalan-pangkalan di Australia Utara dan Pulau Papua.[6] Rencana akhir Operasi Matterhorn disetujui oleh Kepala Staf Gabungan pada bulan April 1944, yang menetapkan bahwa Komando Pengebom XX akan menjadikan Jepang sebagai target utamanya, tetapi juga akan digunakan untuk menyerang Palembang. Serangan-serangan ini akan dilancarkan dari lapangan terbang di Ceylon yang dijajah Britania.[7] Dimasukkannya Palembang dalam rencana ini merupakan kompromi antara dua kubu dalam para penyusun strategi AS, yaitu pihak yang ingin memfokuskan kekuatan untuk menyerang daratan Jepang sendiri, dan pihak lain yang lebih ingin menghancurkan fasilitas-fasilitas minyak. Serangan pertama terhadap Palembang direncanakan akan terjadi pada 20 Juli 1944.[8] Pembangunan infrastruktur dimulai di Ceylon untuk mendukung rencana serangan ke Palembang. Pada Maret 1944, modifikasi mulai dilakukan terhadap empat lapangan terbang di Ceylon untuk memenuhi standar kebutuhan B-29, dan Landasan Pacu China Bay serta Landasan Pacu Minneriya diberi prioritas tertinggi. Dua landasan tersebut dijadwalkan siap pada bulan Juli. Pada bulan April, tampak bahwa kedua landasan tersebut tidak akan terkejar untuk diselesaikan tepat waktu, sehingga diputuskan untuk berkonsentrasi di China Bay saja. Pada pertengahan Juli, China Bay dapat mengakomodasi 56 pesawat B-29, dan telah mampu beroperasi penuh sebelum dimulainya serangan terhadap Palembang.[9] Tak lama setelah pengeboman Yawata pada malam 15/16 Juni, yang merupakan serangan pertama Komando Pengebom XX di daratan Jepang, Arnold mendesak Wolfe untuk menyerang Palembang sebagai bagian dari serangan susulan. Wolfe menanggapi bahwa hal tersebut tidak akan mungkin dilakukan sebelum 15 Juli, sesuai jadwal kesiapan landasan China Bay. Pada 27 Juni, Arnold mengeluarkan sebuah perintah militer yang termasuk instruksi pengerahan 50 pesawat B-29 untuk menyerang Palembang secepatnya begitu landasan udara tersebut telah rampung. Wolfe dipindah ke jabatan lain di Amerika Serikat pada 4 Juli. Brigjen LaVern G. Saunders mengambil alih komando untuk sementara.[10] Saunders memutuskan menunda serangan ke Palembang hingga pertengahan Agustus, agar Komando Pengebom XX dapat terlebih dahulu melakukan serangan maksimal terhadap Anshan, Tiongkok yang merupakan salah satu pusat produksi baja Jepang, dan telah dijadikan prioritas tertinggi oleh Arnold.[11] PersiapanAmerika SerikatPerencanaan serangan ke Palembang dimulai pada Mei 1944.[2] Karena jarak yang sangat jauh dan penggunaan Ceylon sebagai pangkalan operasi, serangan ini membutuhkan lebih banyak perencanaan dan persiapan dibandingkan dengan serangan-serangan lain yang dilakukan oleh Komando Pengebom XX.[12] Personel USAAF dan Angkatan Udara Britania Raya (Royal Air Force, RAF) bekerja sama untuk melakukan persiapan. Britania memasok bahan bakar dan menanggung biaya modifikasi landasan udara di Ceylon, seperti diatur program Reverse Lend-Lease. Pangkalan RAF China Bay, beserta fasilitas akomodasi dan alat-alat transportasinya, seolah-olah diambil alih oleh USAAF. RAF juga menyumbangkan jatah wiskinya untuk pasukan AS.[13] Rencana untuk operasi tersebut berubah seiring waktu. Pasukan Udara ke-20 awalnya diperintahkan untuk melibatkan semua pesawat Komando Pengebom XX yang berjumlah 112 dan melakukan serangan di siang hari. Komando XX meminta agar perintah ini diubah karena pengerahan begitu banyak pesawat dari satu landasan berarti keseluruhan pasukan harus dibagi menjadi beberapa gelombang. Pembagian pasukan seperti ini akan menyulitkan operasi tersebut dan diperkirakan meningkatkan risiko jatuh korban dari pihak AS. Arnold menerima alasan tersebut, dan perintah yang dikeluarkan pada 27 Juni menyebutkan agar serangan tersebut dilakukan saat fajar atau senja.[13] Ahli meteorologi yang bertugas dalam operasi ini menyarankan agar serangan dilakukan pada malam hari supaya pesawat-pesawat B-29 diuntungkan dengan angin yang bertiup dari belakang.[14] Komando Pengebom XX mengajukan permintaan perubahan rencana ini, yang kemudian disetujui oleh Pasukan Udara ke-20.[15] Pada periode perampungan rencana ini, terdapat perubahan pandangan dalam beberapa lembaga intelijen AS mengenai pentingnya Palembang. Asisten Kepala Staf Udara, Intelijensi, dan Komite Analis Operasi USAAF menyatakan bahwa situasi taktis di Perang Pasifik telah berubah. Ia juga berpendapat bahwa kerugian besar yang telah diderita kapal-kapal Jepang membuat kilang Plaju tidak lagi memiliki peran kritis dalam kekuatan perang Jepang. Staf Komando Pengebom XX ingin membatalkan misi ini. Menurut mereka misi ini menyita perhatian dari upaya yang lebih penting yaitu serangan terhadap industri baja Jepang. Namun, atasan mereka di Gabungan Kepala-Kepala Staf masih ingin Palembang diserang dan Arnold mencantumkannya dalam surat arahan yang dikeluarkan pada bulan Juli. Setelah konfirmasi bahwa fasilitas-fasilitas China Bay akan rampung pada 4 Agustus, Arnold mengeluarkan arahan agar serangan dilakukan paling lambat pada 15 Agustus. Selanjutnya, 10 Agustus ditetapkan sebagai hari pengeboman ini.[2] Kilang Plaju ditetapkan sebagai sasaran utama dan kilang Pangkalan yang tidak jauh dari sana ditetapkan sebagai sasaran sekunder (cadangan). Pabrik Semen Indarung di Padang ditetapkan sebagai target cadangan terakhir untuk pesawat-pesawat yang tidak mampu mencapai Palembang. Selain itu, sebagian pasukan ditugaskan untuk menjatuhkan ranjau ke Sungai Musi untuk menghalangi lalu lintas di sungai yang menjadi sarana pengangkutan seluruh hasil produksi minyak di Palembang tersebut.[13] Karena jarak perjalanan yang begitu jauh, yaitu sekitar 6.200 km untuk pulang pergi antara Ceylon dan Palembang dan 6.500 km pulang pergi untuk misi pemasangan ranjau di Sungai Musi, setiap pesawat pengebom hanya bisa membawa sekitar satu ton bom, sementara bahan bakarnya diisi penuh.[16] Perencanaan serangan selesai pada 1 Agustus.[15] Operasi ini dinamakan Operation Boomerang (Operasi Bumerang), nama yang mungkin melambangkan harapan bahwa semua pesawat akan kembali setelah perjalanan panjangnya.[16] Komando Pengebom XX juga menjadwalkan serangan terhadap kota Nagasaki di malam yang sama dengan pengeboman Palembang.[17] Catatan sejarah resmi USAAF menyatakan bahwa mereka berharap serangan terhadap dua target yang terpisah 4.800 km ini akan memiliki dampak psikologis besar terhadap Jepang.[18] JepangTanggung jawab pertahanan ladang-ladang minyak di Sumatra terhadap serangan udara jatuh ke tangan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Markas Besar Pertahanan Udara Palembang dibentuk pada Maret 1943 untuk tujuan ini. Satuan ini awalnya terdiri dari Resimen Pertahanan Udara 101, 102, dan 103, serta Batalion Meriam Otomatis 101. Setiap resimen pertahanan udara dipersenjatai dengan 20 meriam antipesawat 75mm Tipe 88. Kemungkinan, setiap resimen juga dilengkapi sebuah baterai meriam otomatis serta sebuah baterai lampu sorot.[19] Pada Januari 1944, Divisi Udara ke-9 didirikan sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat pertahanan udara Sumatra. Pada masa itu, Markas Besar Pertahanan Udara Palembang telah berubah nama menjadi Satuan Pertahanan Palembang, dan ditempatkan sebagai bagian dari Divisi Udara ke-9.[20] Pada saat itu, satuan ini juga telah dilengkapi dengan pesawat tempur. Resimen Tempur 21 dan 22 dari Pasukan Udara AD Kekaisaran Jepang bertanggung jawab untuk menghadang pesawat-pesawat Sekutu. Resimen Antipesawat 101, 102, dan 103 serta Resimen Meriam Otomatis 101 masih bertugas, dan telah didukung oleh Resimen Balon Antipesawat ke-101 yang mengoperasikan balon-balon penangkal serangan udara.[21] SeranganPada siang 9 Agustus, 56 pesawat B-29 dari Gugus Pengebom 444 dan 468 tiba di pangkalan China Bay setelah berangkat dari Benggala.[15][22] Pasukan yang bertugas menyerang Palembang mulai lepas landas dari China Bay pada hari 10 Agustus pukul 16.45 dengan kekuatan total 54 pesawat B-29. Salah satu pesawat kembali ke landasan 40 menit dalam penerbangan karena masalah mesin, tetapi pesawat tersebut diperbaiki dalam dua jam dan kembali terbang menuju Sumatra.[15] Perjalanan pesawat-pesawat ini ke Sumatra berjalan lancar. Setiap pesawat terbang sendiri-sendiri mengikuti arah langsung dari China Bay ke Pulau Siberut di barat pantai Sumatra. Setelah mencapai Siberut, pesawat-pesawat pengebom berbelok ke arah Palembang.[15] Beberapa kapal perang Armada Timur Britania dan pesawat-pesawat RAF ditempatkan di sepanjang rute tersebut untuk menyelamatkan awak pesawat kalau-kalau ada yang mendarat darurat. Di antara kapal Britania yang dikerahkan adalah kapal penjelajah ringan HMS Ceylon, kapal perusak Redoubt, serta kapal selam Terrapin dan Trenchant. Kedua kapal selam ini juga bertugas sebagai pemandu arah.[23] Lima belas B-29 gagal mencapai wilayah Palembang, dan tiga di antaranya sempat menyerang sasaran lain. Dua B-29 mengebom kota minyak Pangkalanbrandan (kini di Sumatera Utara) dan sebuah pesawat lainnya menyerang sebuah landasan terbang di dekat Kota Jambi.[15] Beberapa pesawat lain terpaksa pulang karena tidak memiliki bahan bakar yang cukup.[16] Sebanyak 31 pesawat B-29 berusaha mengebom kilang Plaju. Awak-awak pesawat mengalami kesulitan untuk mencapai target, karena kondisi Palembang yang gelap tanpa lampu yang terang, adanya awan mendung menutupi wilayah tersebut, dan sebuah pesawat pengebom yang ditugaskan mengeluarkan suar untuk menerangi wilayah tersebut gagal mencapai sasaran. Akibatnya, para awak pesawat harus mengarahkan bom-bom mereka dengan radar atau dengan melihat lewat celah-celah di awan. Awak-awak pesawat mengabarkan terlihatnya ledakan dan api, tetapi foto-foto yang diambil dari pesawat-pesawat pengebom tidak menunjukkan gambar yang jelas.[15] Delapan B-29 turun ke bawah awan untuk menjatuhkan masing-masing dua ranjau di Sungai Musi; laporan resmi AS menilai akurasi penempatan ranjau ini sebagai "sempurna".[15] Ini adalah pertama kalinya B-29 digunakan untuk memasang ranjau.[24] Pihak Jepang menembaki pesawat-pesawat AS ini saat berada di wilayah Palembang menggunakan meriam dan roket antipesawat serta menerbangkan pesawat-pesawat tempur. Pasukan AS mencatat setidaknya 37 pesawat Jepang yang terlihat, termasuk beberapa yang memburu rombongan pengebom hingga 550 km. Namun, usaha ini tidak membuahkan hasil dan tak ada pesawat B-29 yang mengalami kerusakan akibat tembakan Jepang.[15] Salah satu pesawat B-29 mendarat darurat di laut sekitar 140 km dari China Bay saat kehabisan bahan bakar dalam perjalanan pulang. Awak pesawat mengirimkan pesan SOS sebelum pesawatnya jatuh di air, sehingga pasukan Sekutu melakukan pencarian intensif di wilayah tersebut. Seorang juru senjata dari pesawat tersebut tewas, tetapi awak lainnya diselamatkan pada pagi hari 12 Agustus.[16] Pesawat ini adalah satu-satunya kerugian yang diderita dalam operasi ini; hasil ini lebih baik dari rencana Sekutu yang memperkirakan bahwa beberapa B-29 akan harus mendarat darurat akibat kehabisan bahan bakar.[25] Misi ini berjalan selama sekitar 19 jam dan misi pemasangan ranjau di Sungai Musi dianggap sebagai misi tempur terjauh dalam Perang Pasifik.[26] Pengeboman Nagasaki yang terjadi pada malam yang sama ternyata tidak berhasil. Sebanyak 24 B-29 mengebom kota tersebut, tetapi hanya menimbulkan kerusakan kecil. Dua pesawat lainnya harus pulang setelah lepas landas dari lapangan perintis di Tiongkok, dan tiga lainnya harus menyerang target cadangan. Semua pesawat yang dikerahkan dalam misi tersebut berhasil pulang ke pangkalan.[17][22] Dampak dan kelanjutanPengeboman Palembang tidak berhasil mutlak, tetapi tidak juga gagal total.[26] Foto-foto yang diambil di Plaju melalui udara pada 19 September menunjukkan paling tidak satu bangunan jelas-jelas berhasil dihancurkan, dan beberapa bangunan lain juga diduga hancur.[16] Ranjau yang dipasang dalam operasi ini berhasil menenggelamkan tiga kapal (dengan berat total 1.768 ton) dan merusak empat kapal lainnya pada tanggal 11 atau 12 Agustus, dan pengangkutan minyak yang vital di Sungai Musi harus terhenti selama sebulan hingga Jepang selesai menyapu ranjau.[26][27] Setelah serangan ini, Sekutu sering mengirim B-29 untuk memasang ranjau untuk memblokir kapal-kapal Jepang.[26] Walaupun operasi ini tidak memenuhi seluruh tujuannya, Komando Pengebom XX telah membuktikan kemampuannya untuk melakukan operasi yang rumit dan menerbangkan B-29 dengan selamat melalui rute panjang di atas lautan.[16] Setelah serangan ini, Komando Pengebom XX tetap pada pendiriannya yang enggan menyerang Palembang, dan pada 24 Agustus komando ini mengusulkan kepada Pasukan Udara ke-20 agar meninggalkan pangkalan China Bay. Pasukan Udara ke-20 mengizinkan hal ini pada 3 Oktober, walaupun meminta agar sistem pengisian bahan bakar di pangkalan tersebut tetap dioperasikan. Selanjutnya, tidak ada lagi serangan udara dengan B-29 yang dilancarkan dari China Bay (atau Ceylon secara keseluruhan). Hal ini berarti modifikasi pangkalan yang dilakukan di China Bay hanya dimanfaatkan untuk satu operasi saja, sehingga disebut "contoh keborosan masa perang yang paling mencolok" oleh catatan resmi USAAF.[16] Komando Pengebom XX menyerang kota-kota lain di Asia Tenggara pada tahun 1944 dan awal 1945, termasuk berbagai serangan ke Singapura yang melibatkan penerbangan yang mungkin lebih panjang (tergantung data yang digunakan) daripada serangan ke Palembang.[28] Kapal-kapal induk Armada Timur Britania melancarkan pesawat-pesawatnya untuk menyerang fasilitas-fasilitas minyak di Sumatra sejak November 1944 hingga Januari 1945. Dalam Operasi Meridian pada Januari 1945, Palembang mengalami pengeboman sebanyak dua kali. Pada 24 Januari, pesawat-pesawat Britania berhasil menimbulkan kerusakan parah di kilang minyak Plaju, dan pada 29 Januari giliran kilang Sungai Gerong yang dirusak. Setelah perang berakhir, jenderal Jepang yang bertanggung jawab atas kilang-kilang minyak di Palembang menyebut bahwa serangan-serangan Britania ini menghasilkan kerusakan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan serangan AS pada tahun 1944.[29] Lihat juga
ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|