Balon bedilan (bahasa Inggris: barrage balloon) atau sering kali disebut blimp,[1] adalah balon besar yang tertambat dengan kabel baja, digunakan untuk menangkis serangan pesawat udara dengan cara menyangkutkan pesawat udara penyerang ke kabel yang terjurai di bawah balon, atau paling tidak mempersulit upaya serangan musuh tersebut. Biasanya berbentuk balon udara, berbentuk elips atau lonjong dan ditambatkan dengan kabel yang bertujuan menstabilkan balon dalam kondisi berangin, sehingga bisa digunakan pada saat angin kencang ketimbang balon bulat (spherical). Beberapa balon membawa bahan peledak kecil yang akan meledakkan pesawat penyerang untuk memastikan kerusakan yang ditimbulkannya. Balon bedilan bukanlah senjata yang praktis untuk menangkis serangan pesawat yang terbang tinggi, karena beratnya kabel yang sangat panjang menjuntai.
Perang Dunia Pertama
Prancis, Kekaisaran Jerman, Italia dan Inggris menggunakan balon bedilan dalam Perang Dunia Pertama. Kadang-kadang, khususnya di sekitar London, beberapa balon digunakan untuk mengangkat jaring baja (barrage net), dimana kabel baja digantungkan di antara balon-balon hingga membentuk jaring. Jaring-jaring itu bisa diterbangkan hingga ketinggian pesawat-pesawat pembom pada masa itu. Pada tahun 1918, jaring pertahanan udara London ini terbentang sejauh 50 mil (sekitar 80 km), dan menangkap pilot-pilot Jerman yang ketakutan dibuatnya.[2]
Perang Dunia Kedua
Pada tahun 1938 Komando Balon Royal Air Force dibentuk untuk melindungin kota-kota dan sasaran kunci, seperti kawasan-kawasan industri, pelabuhan-pelabuhan dan pangkalan-pangkalan militer. Balon-balon digunakan untuk menangkis serangan pesawat pembom tukik (dive bomber) yang terbang di ketinggian kurang dari 5.000 kaki (1500 m), memaksa mereka terbang lebih tinggi hingga masuk ruang tembak senapan anti pesawat udara — yang tidak bisa membidik dengan cukup cepat terhadap pesawat yang terbang rendah dan berkecepatan tinggi. Hingga pertengahan tahun 1940, terdapat 1400 balon, 1/3 di antaranya mengudara di London dan sekitarnya.
Sementara pesawat pembom tukik merupakan taktik serangan yang amat efektif terhadap sasaran tanpa pertahanan yang memadai, seperti pengeboman Guernica dan Rotterdam, pembom tukik sangat rentan diserang oleh pesawat tempur ketika sedang menukik, dan Luftwaffe menghentikan penggunaannya ketika berhadapan dengan pesawat-pesawat RAF. Balon-balon terbukti kurang efektif menghadapi pesawat pembom tinggi yang menggantikan pembom-pembom tukik, tetapi tetap diproduksi, hingga ada sekitar 3000 unit pada tahun 1944. Balon-balon ini terbukti efektif menangkis roket-roket V-1, yang biasanya terbang pada ketinggian kurang dari 2000 kaki (600 m), namun roket-roket ini memiliki pemotong kabel di sayapnya untuk mengantisipasi balon-balon tersebut. Hingga akhir perang, diklaim 231 roket V-1 berhasil dihancurkan oleh balon-balon ini.[3]
Pesawat-pesawat pembom Jerman dilengkapi dengan alat untuk memotong kabel-kabel balon bedilan ini. Inggris menggunakan balon bedilan dalam jumlah yang banyak, sehingga Jerman membuat alat potong kabel yang paling efektif. Sistemnya berupa alat berbentuk C yang dilekatkan di tepi depan sayap. Ketika kabel mengenai alat, segera memicu alat peledak kecil yang mendorong pisau yang memotong kabel. Pembom-pembom Inggris juga dilengkapi alat pemotong kabel ini meskipun Jerman hanya menggunakan sedikit balon bedilan.
Inggris menambahkan dua alat baru, "Double Parachute Link" (DPL) dan "Double Parachute/Ripping" (DP/R). Alat pertama terpicu oleh getaran yang terjadi saat pesawat pembom musuh mengenai kabel, sehingga kabel tersebut melepaskan parasut di ujung lainnya; kemudian menjatuhkan pesawat ke bawah dengan beratnya. Alat kedua berfungsi mengamankan balon apabila kabel terlepas secara tidak sengaja. Kabel tambatan yang berat akan lepas dari balon dan jatuh ke tanah dengan parasut, pada saat bersamaan sebuah panel akan tertarik keluar dari balon dan mengempiskannya dan jatuh secara terpisah ke tanah.[4]
Gangguan Listrik
Pada tahun 1942 Angkatan Udara Kanada (RCAF) dan Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) mulai melakukan operasi gabungan untuk melindungi pintu-pintu air dan kanal-kanal pelayaran di Sault Ste. Marie sepanjang perbatasan kedua negara di Great Lakes, terhadap kemungkinan serangan udara.[5] Selama badai yang parah di bulan Agustus dan Oktober 1942, beberapa balon bedilan lepas dari tambatannya, dan juntaian kabel-kabelnya menyangkut kabel-kabel transmisi listrik tegangan tinggi, menyebabkan gangguan listrik yang serisu di pertambangan dan pabrik-pabrik di Amerika Utara. Akibatnya, terjadi gangguan produksi logam yang diperlukan untuk perang. Catatan sejarah militer Kanada mencatat, "Insiden Oktober menyebabkan kehilangan produksi 400 ton baja dan 10 ton ferro-alloys (October incident, the most serious, caused an estimated loss of 400 tons of steel and 10 tons of ferro-alloys)."
Akibat insiden ini, prosedur baru diterapkan, termasuk menurunkan balon-balon selama musim dingin, dengan latihan-latihan penerbangan yang rutin dan tim siaga untuk menerbangkan balon-balon pada saat terjadi serangan. Ide penggunaan balon yang terbang bebas juga digunakan dalam Operasi Outward.
Uji coba senjata nuklir pasca-Perang Dunia Kedua
Selepas Perang Dunia Kedua, balon bedilan sisa perang digunakan untuk sasaran tembak untuk uji coba senjata nuklir di angkasa. Senjata nuklir yang digantungkan di bawah balon bedilan diterbangkan hingga ketinggian tertentu sehingga uji coba penembakan dapat dilakukan dalam kondisi terkendali di ketinggian yang lebih tinggi daripada menara uji coba. Beberapa pengujian dalam Operasi Plumbbob diterbangkan dengan balon bedilan ini.
^Wragg, D.; Historical Dictionary of Aviation, History Press (2008), Page 27: "During the Second World War, the main combatants used barrage balloons, or blimps..."
^Ege, L. "Balloons and Airships", Blandford (1973).
^"Protecting Steel Lifeline / Barrage balloon goes aloft at Sault Ste. Marie, Mich., to protect Soo canal against possible air raids..." [photo caption], The Lima News [Lima, OH], 9 Apr. 1942, p. 3.