Pencucian informasi

Pencucian informasi atau pencucian disinformasi [1] adalah penyebaran informasi atau berita kepada khalayak, baik berita bohong maupun tidak, yang berasal dari sumber-sumber yang tidak dapat diverifikasi.[2][3][4] Pencucian informasi serupa dengan tindakan pencucian uang, yang mengubah dana ilegal menjadi dana yang sah. Penyebaran disinformasi dimaksudkan agar dapat diterima sebagai informasi yang valid.[5][6]

Penjelasan

Seperti yang dirangkum oleh seorang komedian dan komentator Amerika Serikat yang bernama Jon Stewart, pencucian informasi dapat terjadi ketika lembaga-lembaga berita yang relatif bereputasi, meliput sesuatu yang ditulis oleh blog atau platform yang kredibilitasnya tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Stewart menyatakan bahwa, media-media tersebut mungkin saja dapat mencantumkan kutipan yang berasal dari sumber aslinya, tetapi mungkin saja media lain tidak mencantumkannya. "Sepotong informasi tersebut [tentang dari mana sumber berita tersebut berasal], kini telah dicuci" ujarnya. Meskipun demikian, terlepas apakah sumber berita tersebut kredibel atau tidak, liputan informasi tersebut telah memperoleh kredibilitas, terutama bila dipublikasikan oleh media-media yang memiliki standar tinggi.[7]

Adam Klein dari Universitas Pace, yang mengembangkan teori ini, berpendapat bahwa pencucian informasi, serupa dengan tindakan para kriminal yang mencuci dana ilegal ke lembaga-lembaga keuangan dalam aksi pencucian uang.[8] Dalam kasus pencucian informasi, pertukaran informasi yang dianggap tidak valid, menyebar melalui media-media sosial, blog-blog politik dan mesin pencari. Kemudian informasi tersebut bercampur dengan berita-berita dari arus utama, hingga secara bertahap hilang dari muasal radikalnya. Klein berpendapat bahwa, "konspira[k]si tumbuh di komunitas-komunitas digital di masyarakat seperti Reddit atau Twitter, yang muncul sebagai inkubator. Kemudian berita tersebut menyebar ke situs-situs web dan blog-blog politik ternama yang populer, hingga terkadang berita tersebut dikutip oleh media berita arus utama sebagai 'informasi tepercaya'."[9]

Platform yang sangat rentan terhadap upaya pencucian informasi adalah platform digital, misalnya seperti penyebaran video-video palsu (Deepfake) dan gambar-gambar palsu (manipulasi foto) sehingga dapat menciptakan momen media dan penyebaran disinformasi.[10] Karen Kornbluh, direktur inisiatif Digital Innovation Democracy dari German Marshall Fund dan Ellen Goodman, direktur Rutgers Institute for Information Policy & Law, mereka berpendapat bahwa akun-akun bot, akun palsu dan pengguna-pengguna bayaran yang dibayar murah, hanya untuk klik tombol "like" atau mengakses situs-situs tertentu, "berpura-pura sebagai orang 'sungguhan', sehingga menciptakan realitas konsensus yang salah". Platform-platform komersial "dirancang untuk membuat penggunanya agar tetap aktif secara daring, supaya mereka dapat terus dijejali konten iklan, yang pada akhirnya platform tersebut mengutamakan keterlibatan, alih-alih kebenaran atau kepentingan publik. Umumnya, yang mendorong keterlibatan seringkali adalah hal-hal yang berkaitan dengan kemarahan dan rasa jijik. Hal inilah yang menjadi dasar algoritma platform komersial tanpa adanya validasi akurasi.[11]

Secara umum, pencucian informasi melibatkan unsur-unsur di antaranya platform berupa situs web, media sosial atau platform digital lain, sebagai wadah untuk memuat konten disinformasi dan narasi-narasi yang menyesatkan. Kemudian mengembangkan narasi menggunakan sarana pendukung agar narasi yang dimaksud dapat diamplifikasi, misalnya melalui pihak ketiga (influencer) atau pihak lain agar menjadi viral dan mengaburkan sumber disinformasi, yang bertujuan agar disinformasi tersebut dapat diserap oleh media-media yang kredibel.[12][13]

Kasus yang mengemuka

Pada 2013, ketika Wikileaks mengemuka dengan mempublikasikan informasi rahasia pemerintah yang berasal dari sumber-sumber anonim, seorang kolumnis Australia bernama Jonathan Holmes, menyatakan bahwa hal tersebut adalah pencucian informasi. Komentar Holmes ini ditayangkan dalam sebuah siaran di stasiun televisi ABC Australia.[14]

Referensi

  1. ^ Toucas, Boris (August 31, 2017). "Exploring the Information-Laundering Ecosystem: The Russian Case". CSIS. Diakses tanggal October 24, 2024. 
  2. ^ Klein, Adam G. (2017). "A theory of information laundering". Fanaticism, racism, and rage online: corrupting the digital sphere (dalam bahasa Inggris). Cham: Palgrave Macmillan. ISBN 978-3-319-51423-9. OL 28304793M. 
  3. ^ Merelli, Annalisa (1 Desember 2016). "Fake news: Jon Stewart says the media has become an 'information-laundering scheme'". Quartz Publication (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Januari 2023. Diakses tanggal 5 September 2020. 
  4. ^ Ellis, Emma Grey (31 Mei 2017). "To Make Your Conspiracy Theory Legit, Just Find an 'Expert'". Wired (dalam bahasa Inggris). ISSN 1059-1028. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Mei 2024. Diakses tanggal 6 Desember 2024. 
  5. ^ Meleshevich, Kirill; Schafer, Bret (9 Januari 2018). "Online Information Laundering: The Role of Social Media". Alliance For Securing Democracy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Januari 2023. Diakses tanggal 5 September 2020. 
  6. ^ Gelbart, Hannah (4 April 2023). "The UK Company Spreading Russian Fake News to Millions" (dalam bahasa Inggris). BBC (website). Diakses tanggal 4 Oktober 2024. "information laundering" ... pumping out propaganda through a third party ... 
  7. ^ Merelli, Annalisa (1 Desember 2016). "Fake news: Jon Stewart says the media has become an 'information-laundering scheme'". Quartz Publication (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Januari 2023. Diakses tanggal 5 September 2020. 
  8. ^ Klein, Adam (2012). "Slipping Racism into the Mainstream: A Theory of Information Laundering". Communication Theory (dalam bahasa Inggris). 22 (4): 427–448. doi:10.1111/j.1468-2885.2012.01415.x. 
  9. ^ Ellis, Emma Grey (31 Mei 2017). "To Make Your Conspiracy Theory Legit, Just Find an 'Expert'". Wired (dalam bahasa Inggris). ISSN 1059-1028. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 Mei 2024. Diakses tanggal 6 Desember 2024. 
  10. ^ Smith, Hannah; Mansted, Katherine (2020). Weaponised deep fakes (PDF) (Laporan) (dalam bahasa Inggris). Australian Strategic Policy Institute. JSTOR resrep25129alt=Dapat diakses gratis. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 18 Januari 2023. Diakses tanggal 16 Juni 2024. 
  11. ^ Kornbluh, Karen; Goodman, Ellen (13 Juni 2019). "To Fight Online Disinformation, Reinvigorate Media Policy". Government Executive (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Januari 2023. Diakses tanggal 6 September 2020. 
  12. ^ Kelly, Sanja; Truong, Mai; Shahbaz, Adrian; Earp, Madeline; White, Jessica (2017). Manipulating Social Media to Undermine Democracy (Laporan) (dalam bahasa Inggris). Freedom House. Diakses tanggal 9 Desember 2024. 
  13. ^ S. Siddiqi, Sakeena (7 September 2013). "Countering China's Use of Information Laundering Via Minds and Media". The Strategy Bridge (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 9 Desember 2024. 
  14. ^ Holmes, Jonathan (14 Desember 2010). "WikiLeaks, journalists and that elusive public interest". ABC News (dalam bahasa Inggris). Australian Broadcasting Corporation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Januari 2023. Diakses tanggal 5 September 2020.