Pemerintah Kota Sawahlunto
Pemerintahan kota Sawahlunto merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, yang menganut sistem desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan menjalankan otonomi seluas-luasnya serta tugas pembantuan di Kota Sawahlunto. Pemerintahan Kota Sawahlunto dipimpin oleh seorang wali kota, yang dipilih secara demokratis berdasarkan UUD 1945, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan kota Sawahlunto terdiri atas pemerintah kota Sawahlunto dan DPRD kota Sawahlunto. Secara resmi pusat pemerintahan Kota Sawahlunto terletak di Kecamatan Barangin dengan Pusat kota terletak di Kecamatan Lembah Segar.[1][2] SejarahMasa KolonialPertengahan abad ke-19, Sawahlunto hanyalah sebuah desa kecil dan terpencil, yang berlokasi ditengah-tengah hutan belantara, dengan jumlah penduduk ± 500 orang. Sebagian besar penduduknya bertanam padi dan berladang di tanah dan lahan yang sebahagian besar permukaan tanahnya tidak cocok untuk lahan pertanian sehingga Sawahlunto dianggap sebagai daerah yang tidak potensial. Setelah ditemukannya batubara di Sawahlunto oleh geolog Belanda Ir. W.H.De Greve tahun 1867, maka Sawahlunto menjadi pusat perhatian Belanda. Pada tanggal 1 Desember 1888 ditetapkan keputusan tentang batas–batas ibu kota Afdeling yang ada di Sumatera Barat. Penentuan Ibu kota Afdeling itu sudah barang tentu berkaitan erat dengan daerah-daerah yang berada diwilayah itu. Oleh karena itu pada tanggal 1 Desember 1888 dapat dikatakan bahwa Sawahlunto mulai diakui keberadaannya dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayah Afdealing Tanah Datar pada Masa itu.[2] Batubara mengantarkan Sawahlunto sebagai catatan penting pemerintah Hindia Belanda Pembukaan Tambang Batubara Sawahlunto tahun 1891 merupakan asset terpenting bagi pemerintahan Kolonial Belanda, karena tingginya permintaan dunia akan batu bara sebagai sumber energi di abad penemuan mesin Uap di Eropa Barat. Apalagi cadangan deposit Batubara Sawahlunto diperkirakan mencapai angka 205 juta ton. Cadangan batu bara itu tersebar diantaranya daerah Perambahan, Sikalang, Sungai Durian, Sigaluik, Padang Sibusuk, Lurah Gadang, dan Tanjung Ampalu.[2] Usaha penambangan ini mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1920-1921, pada waktu itu jumlah pekerja mencapai ribuan orang, selain itu ada hampir seratus orang Belanda atau Indo yang menjadi pimpinan perusahaan, ahli dan staf kunci lainnya. Sejumlah pekerja itu menimbulkan terjadinya konsentrasi penduduk, karena selain membawa keluarga juga mengundang pendatang. Sehingga terciptalah kegiatan perekonomian yang berkaitan dengan usaha pelayanan seperti tukang cuci, tukang cukur, pelayanan kesehatan, pemilik dan pekerja warung, penjual barang keperluan keluarga dan sebagainya. Terlebih lagi pihak perusahaan tambang mencoba memberikan pelayanan yang sebaiknya agar pekerjanya betah tinggal di kota yang relatif terisolasi pada waktu itu, dengan menyelenggarakan hiburan, fasilitas pendidikan, rumah sakit yang memadai, bahkan pasar malam yang dilaksanakan secara rutin. Ditambah dengan keberadaan orang Belanda dengan fasilitasnya yang eklusif, menjadikan Sawahlunto menjadi alasan yang kuat untuk menetapkan Sawahlunto menjadi kota yang mempunyai administrasi sendiri atau hak desentralisasi dengan status Gementee berdasarkan Stadsblaad Van Nederlansch Indie pada tahun 1918. Penyelenggaraan kota dilakukan oleh Stadesgemeenteraad (DPRD) dan Burgemeester (Wali kota).[2] Awal kemerdekaanPada zaman kemerdekaan Pemerintah Gemeente itu diatur oleh Peraturan Residen Sumatera Barat Nomor 20 dan 21 tahun 1946 tentang Pemerintahan Nagari dan Kelembagaan Daerah. Pada tanggal 10 Maret 1949 diadakan rapat dengan hasilnya pusat pemerintahan Afdealing Solok yang dahulunya berada di Sawahlunto di bagi menjadi Kabupaten/Sawahlunto Sijunjung dan Kabupaten Solok. Maka pemerintah Stad Gemeente Sawahlunto dirangkap oleh Bupati Sawahlunto/Sijunjung. Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 status Sawahlunto berubah menjadi Daerah Tingkat II yang berdiri sendiri dengan sebutan Kotamadya Sawahlunto dengan Wali kota pertama Achmad Noerdin, SH terhitung mulai 11 Juni 1965 melalui surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Up. 15/2/13-227 tanggal 8 Maret 1965.[2] Orde Baru dan otonomi daerahSeiring perkembangan wilayah dan kependudukan di Kotamadya Sawahlunto dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1990 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Sawahlunto, Kabupaten Daerah Tingkat II Sawahlunto/Sijunjung dan Kabupaten Daerah Tingkat II Solok, dimana batas wilayah Kotamadya Dati II Sawahlunto diperluas meliputi seluruh wilayah Kecamatan Talawi Kabupaten Dati Sawahlunto/Sijunjung yang terdiri dari 17 Desa, sebagian wilayah Kecamatan Sawahlunto Kabupaten Daerah Tingkat II Sawahlunto/Sijunjung terdiri dari 11 Desa dan sebagaian wilayah Kecamatan X Koto Diatas Kabupaten Daerah Tingkat II Solok terdiri dari 11 Desa.[2][3] Perwakilan
Sesuai dengan konstitusi yang berlaku, DPRD kota merupakan perwakilan rakyat. Untuk Kota Sawahlunto, anggota DPRD kota adalah sebanyak 20 orang.[5] Pemerintah kotaPemerintah kota Sawahlunto terdiri atas kepala daerah (wali kota dan wakilnya) dan perangkat daerah yang terdiri atas sekretariat kota Sawahlunto, sekretariat DPRD kota Sawahlunto, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan lembaga teknis kota Sawahlunto, serta 4 kecamatan yang terbagi atas 37 desa dan kelurahan, dan dengan luas keseluruhan wilayah administratifnya adalah 273.45 km².
Arti lambangSemenjak ditetapkan visi kota maka selanjutnya prioritas pembangunan di Kota Sawahlunto mengarah pada pengembangan kepariwisataan dengan misi dan rencana strategi pengembangan pariwisata yang menjadikan Kota Sawahlunto menjadi salah satu destinasi wisata di propinsi Sumatera Barat.[6]
Referensi
Pranala luarWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|