Dalam sistem pengaturan desa, Pegayaman menerapkan sistem banjar dengan membagi desa menjadi lima banjar, yaitu;
Dauh Margi (Barat Jalan)
Dangin Margi (Timur Jalan)
Kubu Lebah
Kubu
Amertasari
Demografi
Penduduk desa Pegayaman berjumlah 5.333 jiwa terdiri dari 2.580 laki-laki dan 2.753 perempuan dengan rasio sex 93,7 dan 90% di antaranya beragama Muslim.[1] Hubungan kerjasama antara masyarakat Muslim di Pegayaman dan orang-orang Hindu di sekitarnya telah terjalin sejak abad ke-17 Masehi. Masyarakat Muslim di daerah tersebut menyerap banyak budaya Bali, contohnya dalam penggunaan bahasa Bali sehari-hari. Pertanian di daerah Pegayaman mengandalkan sistem subak yang bersumber dari satu bendungan bersama, yaitu Bendungan Yeh Buus.[5]
Seni dan Budaya
Akulturasi budaya Bali, agama Hindu, dan agama Islam terlihat di desa ini pada beberapa hal, contohnya seni burde (burdah) dan sokok base (daun sirih). Seni burde adalah perpaduan lantunan sholawat, seni tabuh, dan gerak tari Pegayaman yang nada lagu dan tariannya mirip dengan seni tradisional Bali. Sementara sokok base adalah rangkaian daun sirih, kembang, buah, dan telur, pada batang pisang yang mirip dengan pejegan, sarana upacara di pura bagi masyarakat Hindu.[5]
Di desa Pegayaman, umat Hindu dan Muslim kerap bertukar makanan saat Lebaran, seperti buah-buahan dan roti. Tradisi pertukaran makanan seperti ini disebut sebagai ngejot. Dalam sistem penamaan di desa ini, nama warga kerap merupakan perpaduan unsur Bali, Arab, dan terkadang Jawa. Diawal nama biasanya memakai tradisi Bali dengan menambahkan urutan kelahiran, yaitu Wayan, Nengah, Nyoman, dan Ketut (dari anak pertama hingga seterusnya) dan dilanjutkan dgn penggunaan nama2 Islam seperti Yunus, Muhammad, dll.[6]