Penggunaan pasu tanur serupa ini dapat dirunut balik hingga ke masa Peradaban Lembah Indus, salah satu peradaban tertua di dunia, lebih dari 5.000 tahun yang silam. Panas untuk tanur tradisional ini dihasilkan oleh arang atau kayu api yang dinyalakan di dasar pasu, sementara adonan roti atau daging yang dimasak dilekatkan pada dinding dalam tanur sebelah atas. Dengan cara ini, bahan makanan dimatangkan oleh panasnya nyala api atau bara, dan juga asap panas, yang dipajankan secara langsung oleh sumber api. Temperatur di dalam pasu tanur semacam ini dapat mencapai 480 °C (900 °F; 750 K), dan biasanya tanur pemasak ini dibiarkan terus menyala untuk waktu yang cukup lama.
Dalam penggunaannya, pasu tanur ini dapat diletakkan di atas tanah atau sebagiannya tertanam dalam tanah. Tinggi pasu ini dapat lebih dari semeter. Di masa sekarang, pasu tanur tradisional ini sebagiannya telah digantikan dengan tanur-tanur logam dengan variasi yang menggunakan bahan bakar gas atau pemanas listrik sebagai sumber panasnya.
Etimologi
Tanur berasal dari bahasa Arab, تَنُّوْرٌ tannūr;[2] sedangkan tandoor asalnya adalah perkataan Hindustani (tandūr). Kedua kata itu pada gilirannya dipinjam dari bahasa Persiatanur, dan selanjutnya dari bahasa Akkadiatinūru (𒋾𒂟), di mana tin berarti 'lumpur' dan nuro/nura berarti 'api'.[3]
Di samping itu pasu tanur juga digunakan untuk memanggang daging seperti halnya pada masakan ayam tandoori dari wilayah Punjabi, ayam tikka, dan kebab. Di Turkmenistan, tanur ini dipakai di antaranya untuk memasak somsa (samosa).