Paluwala merupakan salah satu pakaian adat Gorontalo yang wajib digunakan dalam upacara pernikahan. Paluwala wajib digunakan oleh mempelai laki-laki dalam acara resepsi pernikahan atau pada acara kebesaran yang penting dan sakral.
Paluwala merupakan baju adat yang digunakan oleh para pria suku Gorontalo dalam berbagai kegiatan kebesaran adat yang sakral. Pasangan dari pakaian adat Paluwala adalah Bili'u, yang dikenakan oleh para perempuan Gorontalo.
Pakaian adat Bili'u dan Paluwala biasanya digunakan oleh kedua mempelai pengantin pada acara resepsi pernikahan dengan adat Gorontalo yang kuat. Mempelai pria biasanya akan menabuh genderang adat untuk mengiringi mempelai perempuan dengan baju adat Bili'u untuk menari "Tidi Lo Polopalo" .[2]
Makna Paluwala
Paluwala pada hakikatnya bermakna sebagai tudung kepala atau mahkota. Bedanya, Paluwala merupakan kosa kata asli dalam bahasa Gorontalo yang juga digunakan sebagai nama pakaian adat pria suku Gorontalo.
Secara filosofis maupun bentuknya, Paluwala diartikan sebagai sebuah pakaian yang memiliki ikatan kesetiaan secara vertikal maupun horizontal. Maknanya adalah seorang pria yang mengenakan Paluwala wajib menjaga keterikatan, kesetiaan, dan kehormatannya secara vertikal di hadapan Allah swt, Tuhan yang maha esa serta turut pula menjaga keterikatan, martabat, kesetiaan, dan kehormatannya di hadapan istri serta keluarga.[3]
Tentunya, nilai-nilai filosofis pada pakaian adat Paluwala bermuara pada harapan bagi mempelai pria agar dapat menjadi pemimpin keluarga yang bertakwa, adil, bertanggungjawab, dan menjadi teladan keluarga dengan penuh kasih sayang.
Pergeseran nama
Dalam perkembangannya, nama baju adat Paluwala lebih populer dengan sebutan Makuta yang diserap dari kata Mahkota atau penutup kepala yang digunakan.[4]
Generasi muda kini lebih mengenal kata "Makuta" yang akar kata aslinya dalam bahasa Gorontalo adalah Paluwala untuk merujuk pada pakaian adat laki-laki Gorontalo. Sebutan Makuta dipengaruhi oleh Belanda saat datang ke Gorontalo karena sulit mengucapkan kata Paluwala.[5]
Keputusan Seminar Adat Gorontalo
Dalam seminar adat Gorontalo yang diinisiasi oleh lembaga BKOW Provinsi Gorontalo, Paluwala kembali ditetapkan sebagai nama resmi pakaian adat kebesaran dan utama pria Gorontalo dalam upacara adat pernikahan.[6]
Oleh sebab itu, sudah selayaknya nama Paluwala hidup dan lestari kembali dalam lisan masyarakat Gorontalo serta secara umum bagi seluruh masyarakat nusantara di pentas nasional.
Warna Adat
Adat Gorontalo mengenal empat warna adat yang disebut dengan "Tilabataila", yakni Merah, Kuning, Hijau dan Ungu.[7] Ke-empat warna adat ini biasanya menjadi pakem pemilihan warna dalam pakaian adat Gorontalo, termasuk pula warna pakaian Paluwala. Adapun nilai filosofis dari warna adat Gorontalo adalah:
Nilai Filosofis Warna Adat
Warna
Arti
Ungu
keanggunan, kesetiaan, dan kewibawaan
Merah
keberanian dan tanggungjawab
Kuning
kemuliaan dan kejujuran
Hijau
kesuburan, kesejahteraan, dan kerukunan
Bagi adat Gorontalo, warna ungu menjadi warna kebangsawanan tertinggi dengan nilai-nilai adat yang luhur.
Pada masa kini, pakaian adat Paluwala mengalami perubahan dalam hal warna, yaitu terdapat variasi warna selain empat warna adat yang telah ditentukan. Variasi warna ini biasanya diikuti oleh perkembangan zaman dengan pilihan warna yang mengikuti selera generasi muda. Perubahan pada warna pakaian, membuat pakaian adat Paluwala lebih kekinian dan diminati oleh generasi muda tanpa merubah aturan pakaian adat Paluwala atau pakem adat dalam kultur masyarakat Gorontalo.
Warna yang dihindari
Meskipun tidak ada larangan adat untuk menggunakan warna selain 4 warna adat (Tilabataila), namun sebaiknya menghindari warna putih dan biru. Kedua warna ini biasanya dihindari sebab warna putih melambangkan kesucian, sedangkan warna biru bermakna duka cita yang biasanya juga digunakan dalam upacara pemakaman atau acara peringatan kematian.
^Hariana, S. and LL, H., T., & Gustami, SP.(2016). Modifikasi Busana Bili’u dan Paluwala Sebagai Pakaian Perkawinan Masyarakat Gorontalo: Aspek Sosiologi dan Teknologis. In Seminar Nasional Dalam Rangka Konvensi Nasional VIII APTEKINDO dan Temu Karya XIX FT/FPTK Se-Indonesia Medan, 3-6 Agustus 2016.