Owa kelempiau utara

Owa Kelempiau Utara
Hylobates funereus
pelat identifikasi Museum Sejarah Alam Paris
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
H. funereus
Nama binomial
Hylobates funereus
Agihan H. funereus (biru)
Sinonim
  • Hylobates muelleri funereus

Owa kelempiau utara (Hylobates funereus), adalah sejenis kera arboreal yang termasuk ke dalam suku Hylobatidae. Nama lainnya adalah owa abu kalimantan, dan nama lokalnya di antaranya adalah uwa-uwa (Mly.).[3]:243 Dalam bahasa Inggris ia disebut Northern Gray Gibbon[1][4] atau East Bornean Gray Gibbon.[5][6] Owa ini menyebar terbatas (endemik) di Pulau Kalimantan.

Pengenalan

H. funereus berwarna kelabu atau cokelat sangat gelap, dengan bagian kaki dan tangan kadang-kadang berwarna lebih terang.[3][5] Warna rambutnya memang cenderung lebih kehitaman: abu-abu gelap, abu-abu cokelat, dengan warna kehitaman atau cokelat kehitaman pada topi, tenggorokan, dada, perut hingga anus, dan bagian dalam lengan dan kaki. Bagian-bagian lainnya lebih pucat, dan alis berwarna putih, tebal.[7] Ujung tangan dan kaki tak begitu kontras kehitaman, bahkan pada hewan dari bagian utara pulau agak keputihan.[8]

Berat tubuh hewan jantan dan betina rata-rata antara 5,0-6,4 kg.[5] Panjang kepala dan tubuh hewan jantan sekitar 48,5 cm, dan yang betina antara 47,5–49 cm.[3]

Agihan dan ekologi

Berjalan di atas batang kayu. Sabah.

H. funereus terutama menyebar di Pulau Kalimantan bagian utara: di wilayah Sabah, ke barat hingga wilayah Saribas di Sarawak, dan ke selatan ke wilayah Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur hingga ke batas S. Karangan (Berau).[9]:251-2 Namun ada pula yang menyatakan hingga sekitar Sungai Mahakam.[3][5]

Owa ini menghuni hutan-hutan primer dan sekunder semi gugur-daun, hutan dipterokarpa, dan hutan hujan tropika yang selalu hijau. Suatu kajian di Taman Nasional Kutai di Kaltim mendapatkan bahwa makanan owa ini terdiri dari buah-buahan (62%; dengan rata-rata sebanyak 24% dari buah-buahan ini adalah buah-buah ara, Ficus spp.); dedaunan (32%); bebungaan (4%); dan serangga (2%).[5]

Perbiakan H. funereus tidak bermusim, dan jarak antar kelahiran rata-rata 36 bulan. Owa betina dominan dalam kelompok sosialnya, dan mengawali duet suara teritorial.[5]

Owa abu kalimantan hidup di dataran rendah, perbukitan, hingga pegunungan. Di Sabah, ia tercatat hingga ketinggian 1.700 m dpl. Satu kelompoknya terdiri dari 3-4 individu (jantan, betina, dan 1-2 anaknya), dengan wilayah jelajah mencapai 36 ha. Kepadatan individu hewan ini bervariasi; di TN Kayan Mentarang tercatat antara 6,9-9,9 individu/km², sementara di TN Kutai antara 9-14 individu/km².[3]

Konservasi

IUCN mencatat bahwa populasi H. funereus terus menyusut hingga lebih dari 50% dalam jangka 45 tahun yang terakhir (3 generasi); sementara dalam proyeksi 15 tahun ke depannya penyusutan habitat ini belum lagi akan berhenti, mengingat deforestasi dan kebakaran hutan di wilayah agihannya masih terus berlangsung. Tekanan ini bertambah besar lagi oleh karena banyaknya perburuan hewan ini, baik untuk diperdagangkan sebagai hewan timangan maupun untuk dikonsumsi. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu IUCN menempatkannya dalam status Genting (Endangered).[1]

CITES memasukkan semua spesies Hylobatidae, termasuk H. funereus ini, ke dalam Apendiks I,[10] yang berarti bahwa hewan-hewan itu dikategorikan terancam kepunahan dan CITES tidak mengizinkan untuk diperdagangkan secara internasional, kecuali untuk tujuan-tujuan non-komersial.[11]

H. funereus berstatus dilindungi menurut perundang-undangan negara Indonesia dan Malaysia.[5]

Catatan taksonomi

Spesies ini sebelumnya dianggap sebagai anak jenis dari Hylobates muelleri, Hylobates moloch, atau bahkan Hylobates lar.

Catatan kaki

  1. ^ a b c Geissmann, T. & Nijman, V. 2008. "Hylobates muelleri ssp. funereus". The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T39890A10271063. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T39890A10271063.en. Diakses pada 27/IV/2017.
  2. ^ Geoffroy Saint-Hilaire, I. 1850. "Note sur plusieurs espèces nouvelles de mammifères de l'ordre des Primates". Comptes rendus hebdomadaires des séances de l'Académie des sciences, t 31: 873-6. Paris :Bachelier, Imprimeur-Libraire. (30 Dec. 1850)
  3. ^ a b c d e Supriatna, J. & R. Ramadhan. Pariwisata primata Indonesia. Jakarta:Pustaka Obor. xvi + 316 hlm.
  4. ^ EoL: Hylobates funereus Northern Gray Gibbon. Diakses pada 27/IV/2017
  5. ^ a b c d e f g Gibbons Asia: Hylobates. Diakses pada 27/IV/2017
  6. ^ ITIS: Hylobates funereus I. Geoffroy Saint-Hilaire, 1850. Diakses pada 27/IV/2017
  7. ^ Mootnick, A.R. 2006. Gibbon (Hylobatidae) Species Identification Recommended for Rescue or Breeding Centers. Primate Conservation 2006 (21): 103–138. (Sebagai H. muelleri funereus)
  8. ^ Geissmann, T. "Gibbon Systematics and Species Identification": Mueller's gibbon, Grey gibbon, Borneo gibbon (Hylobates muelleri). (Sebagai H. muelleri funereus)
  9. ^ Payne, J., C.M. Francis, K. Phillipps, S.N. Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam: 386 hlm., 60 LG. Bogor: WCS-IP, The Sabah Society & WWF Malaysia. (Sebagai H. muelleri funereus)
  10. ^ CITES. 2017. Appendices I, II and III valid from 04 April 2017 Diarsipkan 2017-08-23 di Wayback Machine.. UNEP, Geneva, Switzerland. Diakses pada 27/IV/2017
  11. ^ CITES: The CITES Appendices. Diakses pada 27/IV/2017

Bacaan lanjut

  • Roos, C. 2016. "Phylogeny and Classification of Gibbons (Hylobatidae)".in Ulrich H. Reichard, Hirohisa Hirai, & Claudia Barelli (Eds.), Evolution of Gibbons and Siamang: Phylogeny, Morphology, and Cognition, hlm. 151-65.
  • Inoue, Y., W. Sinun, & K. Okanoya. 2016. "Activity budget, travel distance, sleeping time, height of activity and travel order of wild East Bornean Grey gibbons (Hylobates funereus) in Danum Valley Conservation Area". Raffles Bulletin of Zoology 64: 127–38 Diarsipkan 2017-04-27 di Wayback Machine. (1 July 2016). http://zoobank.org/urn:lsid:zoobank.org:pub:BF830118-CE0A-4D4E-8180-BFE9545F56CF
  • Cheyne, S.M., L.J. Gilhooly, M.C. Hamard, ..., M. Zrust. 2016. "Population mapping of gibbons in Kalimantan, Indonesia: correlates of gibbon density and vegetation across the species’ range". Endangered Species Research, Vol. 30: 133–43 (May 31, 2016). doi: 10.3354/esr00734

Pranala luar