Orang Krowe
Orang Krowe memiliki cara dan sistem sendiri dalam hal pengaturan lahan. Berbeda dengan masyarakat Nias yang menggunakan batas alam sebagai penanda batas antarkomunitas, Orang Krowe justru menggunakan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan secara turun-temurun kemudian disimbolkan dalam bentuk budaya materi. Mereka tidak mengacu pada bentang alam seperti bukit dan jurang layaknya masyarakat Nias,[1] tetapi mengacu pada simbol-simbol berupa budaya materi. Penelitian dari Utama (2014) menyebutkan bahwa beberapa simbol materi atau bendawi yang digunakan Orang Krowe untuk menandai suatu wilayah adalah watu mahang yang berarti batu sudut; wisung wangar yang berarti lokasi di mana terdapat rumah utama tiap-tiap klan; wu’a mahe yang diartikan pula sebagai batu mahe; ai tali yang juga diartikan sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang berlokasi di kebun adat setiap klan. Seluruh simbol-simbol bendawi tersebut berlokasi pusat permukiman dan mengelilingi permukiman. Kondisi PermukimanSebagaimana yang telah dijelaskan di muka, Orang Krowe bermukim di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Secara geografis, wilayah Sikka merupakan daerah landai dan perbukitan yang memiliki luas wilayah 1.713,91 km2. Kabupaten Sikka juga berbatasan dengan daerah-daerah lain, seperti:[2]
Di dalam Kabupaten Sikka terdapat 18 pulau, baik pulau yang didiami maupun yang sudah tidak didiami. Orang Krowe yang tinggal di Sikka amat akrab dengan keberadaan pegunungan, sebab daerah tersebut didominasi oleh pegunungan dan dataran rendah. Mereka tidak hanya bermukim di gunung, melainkan juga memberikan makna khusus terhadap gunung. Gunung mereka anggap sebagai “mama” yang memberikan mereka makanan dan menjamin seluruh kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa nenek moyang menitipkan gunung-gunung itu untuk mereka jaga, sehingga tidak sepatutnya dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Dalam beberapa cerita lisan yang berkembang, Orang Krowe juga sangat memberikan keistimewaan pada keberadaan Gunung Mapitara yang berada di sebelah Gunung Egon, gunung vulkanik yang masih aktif hingga saat ini.[3] Di dalam permukiman itu, juga masih banyak dijumpai perkampungan tradisional yang ditandai dengan pohon bambu setinggi dua meter yang mengeliling permukiman dan masih adanya lokasi untuk berperang. Sebagai misal, sebuah desa Watublai pada tahun 1890-an masih dijadikan sebagai lokasi untuk berperang suku-suku yang tinggal di wilayah tersebut. Secara khusus, Orang Krowe bermukim di kampung-kampung tua di wilayah pegunungan Sikka Tengah. Ada beberapa kampung di wilayah tersebut, di antaranya adalah Kampung Bola, Kampung Eha, Kampung Hewokloang, Kampung kewagahar, dan lain-lain. Kampung Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan bagian dari Desa Rubit, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Nama Romandaru berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru. Kampung Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan bagian dari Desa rubit, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Nama Romandaru berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru.[3] Kampung Romanduru memiliki cerita-cerita lokal tertentu terutama yang berkaitan dengan asal-usul mereka. Di dalam Kampung Romanduru, terdapat struktur kekuasaan tradisional. Struktur tersebut bermula ketika Suku Buang Baling yang merupakan suku pertama menemukan mata air dan mengajak suku Mana untuk membuka kampung baru yang disepakati sebagai Tana Pu’an. Suku kedua yang datang yaitu Suku Mana kemudian ditetapkan sebagai wakil Suku Buang. Terdapat suku lain yaitu Suku Keytimu Lamen yang ditunjuk oleh Tana Pu’ang untuk memimpin ritual penghormatan kepada awrah leluhur. Dalam hal itu, setiap suku memiliki perannya masing-masing sesuai dengan waktu kedatangan mereka ke Kampung Romanduru. Seluruh ritual penghormatan kepada arwah leluhur itu disebut dengan istilah tong piok. Dalam ritual yang diselenggarakan di Kampung Romanduru itu, seluruh suku harus mengundang Tana Pu’ang. Apabila Tana Pu’ang tidak bisa hadir, maka harus diwakili oleh saudara laki-laki dari Suku Buang.[4] Tidak hanya sampai di situ, Kampung Romanduru juga dihuni oleh puluhan suku-suku lain, selain ketiga suku yang datang terlebih dahulu tersebut. Baik Suku Buang Baling, Mana, dan Keytimu dianggap sebagai “wakil” dari suku-suku lain apabila terdapat berbagai persoalan adat. Sebagai misal, ketiga suku tersebut memiliki wewenang untuk menunjukan batas-batas tanah adat di Kampung Romanduru, sekaligus memutuskan berbagai keputusan penting terkait tanah adat mereka.[5] Tradisi NgenTradisi Ngen dalam perspektif Orang Krowe diartikan sebagai cara hidup yang berpindah-pindah tempat atau migrasi. Tradisi tersebut telah diterapkan oleh Orang Krowe sejak masa silam bahkan sejak zaman bahari masih menyelimuti kehidupan suku-suku lain di sana. Tradisi Ngen tersebut juga ditujukan dengan penggunaan bendawi materi sebagai simbol yang masih dipertahankan di tempat tinggal barunya sebagai keberlanjutan dari budaya di tempat sebelumnya. Selain dapat ditelusuri melalui materi bendawi, tradisi ngen juga dapat dilacak melalui mitos-mitos yang diturunkan kepada keturunan mereka. Mitos-mitos yang ada mampu menjelaskan bentuk persebaran Orang Krowe di permukiman itu. Selain itu, Orang Krowe juga memiliki cerita tentang kedatangan sekelompok orang ke kampung tua dengan menggunakan perahu. Mitos itu diwariskan secara turun temurun sebagai asal usul penghuni kampung tua di permukiman Orang Krowe. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan miniatur perahu yang terbuat dari logam, yang disebut sebagai Jong Dobo. "Jong" dalam Bahasa Sikka diartikan sebagai perahu, sedangkan "Dobo" diartikan sebagai tempat keberadaan perahu tersebut saat ini, yaitu berada di Desa Dobo.[6] Menurut cerita yang ada, perjalanan orang-orang dari kampung lain itu dimulai dari India, Thailand, Selat Malaka dan berlanjut ke Indonesia melalui Sumatra, Jawa, Irian Jaya, Bima, LLabuan Bajo. Kelompok pendatang itu berlayar ke pesisir pantai utara Pulau Flores dan mampir ke Koli Dobo hingga kemudian melanjutkan perjalanan ke Ende. Dari Ende, kelompok tersebut melanjutkan perjalanan mereka ke Waipare yang kemudian menyebabkan jangkar kapal mereka terputus sehingga mengharuskan mereka untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya. Setelah melalui perjalanan panjang ke beberapa wilayah, kelompok tersebut kemudian melabuhkan kapalnya ke Wolon Gele dan bekas tarikan kapal mereka dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai jalan kampung. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Kampung Dobo karena keberadaan mereka tidak diterima di wilayah yang sebelumnya. Di Kampung Dobo mereka tinggal sejenak karena diterima oleh Moat Wogo Pigang. Setelah menetap di Kampung Dobo, Jong Dobo berubah menjadi perahu kecil yang terbuat dari logam. Menurut beberapa peneliti dari Belanda dan Australia, perahu logam tersebut dinilai berasal dari Sumeria pada abad ke-3 SM. Di dalam kapal tersebut terdapat 20 figur manusia, lonceng, dan ayam. Ayam tersbut mereka gunakan sebagai penanda waktu, sebagaimana penanda waktu yang ada saat ini.[6] Tradisi Ngen hampir dikenal baik oleh seluruh Orang Krowe yang tinggal di Romanduru. Meskipun begitu, jumlah Orang Krowe yang tinggal di setiap kampung jumlahnya tidak sama. Di Romanduru misalnya, terdapat sepuluh suku yang terdiri dari Ili Lewa, Wodon, Buang Baling, Mana, Keytimu, Waen, Weweniur, Lio Watu bao, Lio Lepo Gai, Keytimu Lamen, dan Kluku Mude Lau. Masing-masing suku tersebut memiliki seorang Tana Pu’an, yaitu seseorang yang tokoh adat yang bertanggung jawab untuk memimpin ritual serta mengatur urusan pertanahan, pertanian, peternakan, dan perburuan. Dengan demikian, kedudukan Tana Puan hanya berada di level kampung.[7] Kepercayaan LokalOrang Krowe di Romanduru memercayai kekuatan gaib sebagai “hakikat mutlak”. Kekuatan gaib itu mereka sebut dengan “Nian Tana Lero Wulan” yang merupakan perpaduan dari Nian Tana (bumi) dan Lero-Wulan (matahari-bulan). Dengan demikian, mereka percaya dan menyembah pada unsur mutlak sebagai Tuhan, yaitu Tuhan Bumi dan Tuhan Matahari dan Bulan. Wujud penghambaan kepada dua unsur mutlak itu dipandang sebagai ekspresi masyarakat Krowe atas “wujud tertinggi”, bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa mereka menyembah lebih dari satu Tuhan.[6] Selain pada “unsur mutlak” tersebut, Orang Krowe juga percaya pada roh-roh halus. Bagi mereka, roh halus mampu memengaruhi kehidupan manusia di bumi. Oleh sebab itu, bagi Orang Krowe, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan roh-roh halus tersebut. Setidaknya, ada tiga jenis roh halus yang mereka kenal. Pertama disebut dengan Nitu Noan yang mana “Nitu” diyakini sebagai penguasa dunia bawah atau bumi dan “Noan” yang diyakini sebagai pengiasa dunia atas atau langit. Kedua adalah Ata Ube yang mewujudkan dirinya sebagaimana manusia biasa namun memiliki kekuatan ghaib seperti roh-roh jahat lainnya. Ata Ube diyakini sebagai makhluk pemakan manusia. Ketiga adalah Ata haling yang diyakini sebagai kelompok roh halus yang berasal dari roh-roh jahat. Terlepas dari ketiga roh tersebut, Orang Krowe juga percaya bahwa arwah nenek moyang memiliki peranan penting dalam kehidupan Ata Krowe. Mereka meyakini bahwa kematian adalah proses dimana orang yang meninggal bersatu kembali dengan para leluhur.[6] Kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut dinilai menjadi upaya bagi Orang Krowe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai misal, upacara pernikahan di kalangan mereka yang dilakukan agar hubungan antarkeluarga menjadi makin baik setelah melakukan pernikahan. Selain itu, Orang Krowe juga percaya tiga unsur kehidupan yang memiliki abilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketiga unsur itu adalah alam, arwah, dan Allah. Bagi mereka, alam seperti pohon, batu, gunung memiliki kekuatan yang berguna bagi kehidupan manusia sehingga harus dihormati. Sementara itu, hubungan antar Orang Krowe tidak akan terputus oleh kematian, termasuk arwah leluhur yang akan selalu memberikan pengaruh pada kehidupan kerabat yang ditinggalkan.[4] Bagi mereka, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan arwah para leluhur melalui berbagai upacara adat dengan harapan kehidupan duniawi mereka tidak terganggu. Selain itu, Allah juga merupakan unsur penting dalam kehidupan Orang Krawe. Ciri-ciri kehidupan Kristiani kini telah mewarnai sebagain besar kehidupan Orang Krowe, meskipun beberapa catatan sejarah menunjukan bahwa agama Kristen baru masuk ke daerah itu bersamaan dengan kedatangan orang Portugal.[8] Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, penghormatan kepada leluhur melalui praktik-praktik kepercayaan adalah hal yang sangat penting bagi Orang Krowe. Mereka kemudian membedakan leluhur ke dalam tiga kelompok, yaitu arwah leluhur yang masih menjalani proses penyucian atau disebut dengan ina nitu pitu wali higun, ama noan walu wali hulu; para leluhur yang telah menjalani proses penyucian atau dikenal dengan ina nian tana wawa, ama lero wulan reta (ibu yang berada di bumi, bapak yang berada di atas angkasa); dan leluhur yang menguasai alam atau ina du’a ei mula pu’an, ama mo’an ei ongen unen. Bentuk penghormatan yang mereka lakukan terhadap arwah-arwah tersebut adalah dengan melakukan ritual di tempat-tempat yang dianggap sakral. Tiga tempat sakral yang digunakan oleh Orang Krowe untuk menghormati arwah nenek moyang adalah watu mahang yang disebut sebagai sebuah piringan batu di salah satu ruangan rumah; wu’a mahe yang merupakan perkampungan arwah leluhur yang telah mengalami proses penyucian; ai taliya yang berarti altar persembahan kepada leluhur yang berada di bawah pohon tertentu di dalam hutan.[8] Pola Perkampungan TuaPola perkampungan di Kampung Romanduru, tempat tinggal Orang Krowe, terbilang khas. Menurut cerita lokal yang berkembang, para penduduk mendiami Kampung Romanduru karena di sana terdapat sumber mata air yang merupakan kebutuhan vital manusia, termasuk untuk minum, mandi, mencuci, dan lain sebagainya. Setelah menemukan sumber mata air, mereka kemudian menggarap ladang, lalu mendirikan mahe. Pendirian mahe tersebut mereka sebut sebagai wisung wangar yang berbentuk sebidang tanah di mana di dalamnya terdapat rumah induk milik satu suku. Apabila masih ada sisa lahan, mereka diperkenankan untuk mendirikan satu rumah lagi, tetapi tidak dijadikan rumah induk. Rumah induk itu dikenal sebagai Lepo Gete ditinggali oleh anak laki-laki tertua dari setiap suku. Meskipun demikian, kondisi itu tidak berlaku ketat. Rumah induk tersebut tidak harus ditinggali oleh satu anak laki-laki tertua saja, anak kedua pun diperkenankan tinggal di rumah induk.[7] Di dalam Lepo Gete tersebut juga terdapat sebuah batu bernama watu mahang yang letaknya ada di dalam kamar paling depan tepatnya di sudut sebelah kanan. Di atas batu tersebut diletakkan beberapa benda seperti gading, emas, biji-bijian, batu-batu kecil, dan kayu-kayu kecil. Di dalamnya juga terdapat batang bambu yang berisi benda-benda pusaka atau dinamakan dengan mokung. Mokung tersebut menjadi penanda bahwa mereka memiliki hak atas Tanah Howakhewer, sementara mereka yang tidak memiliki hak atas tanah itu hanya memiliki lempengan batu mendatar saja. Watu mahang tersebut biasa digunakan Orang Krowe untuk ritual-ritual Domestik dalam lingkup keluarga inti.[7] Pola perkampungan Orang Krowe seluruhnya hampir serupa, yaitu memiliki wisung wangar, mahe, watu mahang, dan ai tali. Seluruh kampung juga dikelilingi oleh tempat yang digunakan untuk buang air kecil dna buang air besar yang disebut dengan Siok Linok Ogor Wokor. Tempat itu dahulu dipergunakan oleh Orang Krowe untuk melakukan aktivitas ekskresi bersama-sama, sebelum mereka memiliki Kamar mandi pribadi seperti saat ini. Tempat itu biasanya terletak di bawah pohon, utamanya adalah pohon beringin yang juga mengelilingi kampung mereka sekaligus dijadikan sebagai batas antara permukiman dan hutan serta tanah garapan. Meskipun digunakan secara bersama-sama, Orang Krowe menggunakan pohon yang tumbuh di dekat rumahnya masing-masing. Perlu diketahui, pohon beringin tersebut jumlahnya sangat banyak, sehingga mereka tidak perlu memakai pohon beringin “milik” orang lain. Dalam bahasa sederhana, antar-keluarga tidak saling bergantian tempat ekskresi. Selain itu, pohon-pohon beringin tersebut juga dikelilingi oleh semak-semak belukar yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi penutup bagi mereka ketika melakukan aktivitas ekskresi. Kotoran-kotoran yang mereka hasilkan juga kemudian menjadi fases dan dimakan oleh binatang-binatang peliharaan seperti babi dan anjing yang hidup secara bebas di sana. Perlu diketahui pula, Orang Krowe tidak mengandangkan binatang-binatang tersebut, sehingga keberadaan binatang itu mampu mempermudah mereka mengurai kotorannya. Setelah batas Siok Linok Ogor Wokor, terdapat sebuah hutan dan tanah garapan yang dapat dimanfaatkan warga untuk melakukan aktivitas pertanian dan mengumpulkan kayu.[5] Penguasaan TanahPada dasarnya, Orang Krowe menguasai tanahnya secara tradisional. Sama halnya dengan masyarakat lokal lainnya, keberadaan sumber daya alam menjadi sangat penting bagi Orang Krowe. Sumber kehidupan mereka sepenuhnya digantungkan dari sumber daya alam. Sumber daya alam tersebut berada di wilayah-wilayah tertentu yang kemudian menjadi daya tarik bagi Orang Krowe untuk datang dan tinggal di sana. Menurut penuturan lokal yang ada, hak terhadap sumber daya alam itu dilihat dari nenek moyang siapa yang pertama kali datang ke tempat tersebut. Nenek moyang yang mendatangi tempat itu untuk pertama kali akan dianggap sebagai pemegang hak milik. Ia juga berhak untuk mewariskan hak kepemilikan tanahnya kepada keturunannya. Hak atas tanah yang diperoleh sebagai penghuni awal itu mereka kenal dengan istilah dua hekor nian kokanmuhan, moang bira tana bliner peka. Sementara subjek atau orang yang pertama kali memperoleh hak milik itu disebut sebagai “Tuan tanah”. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Tana Pu’ang yang berarti menguasai wilayah dengan luas tertentu yang berbatasan dengan territorial Tana Pu’ang lainnya. Untuk menandai batas wilayah kepemilikan tanah antar Tana Pu’ang, mereka mempergunakan batu di ke-empat sudut mata angin yang dinamakan dengan watu kekor.[7] Penguasaan tanah oleh Tana Pu’ang tidak hanya mencakup wilayah permukiman yang sedia untuk dijadikan tempat tinggal, melainkan juga mencakup tanah pertanian dan perkebunan yang akan digarap menjadi komoditas tertentu. Warga biasa atau Orang Krowe yang tidak memiliki hak penguasaan tanah, dapat mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Tana Pu’ang. Tana Pu’ang kemudian akan menyelenggarakan ritual pada lokasi di hutan yang akan dijadikan lahan pertanian dengan maksud untuk meminta izin kepada arwah-arwah yang menghuni lokasi tersebut. Sebagai bentuk persetujuan, keluarga Orang Krowe yang akan mengelola tanah tersebut akan menghadiahi Tana Pu’ang dengan sebuah sesaji yang berisi ayam, nasi, kepala dan hati babi, daging anjing, dan moke (sejenis minuman keras produksi lokal yang dibuat dari fermentasi sadapan air nira). Hadiah sesaji itu disebut mereka dengan istilah wawi peping ora piong. Maksud dari pemberian sesaji itu juga untuk menandakan bahwa keluarga Orang Krowe yang mengelola tanah pertanian tersebut hanya memiliki hak pakai, buka hak milik.[7] Sementara itu, wilayah tradisional yang menjadi area kekuasaan Tana Pu’an telah tersebar di seluruh wilayah Sikka Tengah, termasuk di Kampung Romanduru. Wilayah-wilayah tradisional itu mencakup wilayah administrasi di Kabupaten Sikka, dari dusun atau kampung hingga kecamatan. Sebagai misal, wilayah atau tanah tradisional yang mereka kuasai adalah Romanduru setingkat dusun, Baomekot setingkat desa, Nita setingkat kecamatan.[3] Referensi
|