Oetarjo Diran
Oetarjo Diran (20 Februari 1934 – 17 September 2013) adalah seorang akademisi dalam bidang transportasi. Dia adalah lulusan Technische Hogeschool Delft, Belanda (1952-1958), Universitas Purdue, AS (1960-1961); Institute For Theoretical Physics, Trieste (1973). Dia menjadi Dosen ITB di Bandung (1959); Instruktur, Wing Pendidikan 006, TNI-AU (1959-1965); Penasihat Dinas Kelaikan Udara Ditjen Perhubungan Udara (1959-1968); Penasihat Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (1959-1978).[1] Riwayat HidupKegemarannya akan pesawat terbang sudah dimulai sejak SD. Gambar-gambar pesawat tempur Jepang dan Amerika Serikat ia gunting dan kumpulkan dari koran dan majalah. Sejak saat itulah Ia mulai menanyakan soal aerodinamika-pergerakan udara melalui benda benda. Selain itu, Ia juga pertama kali mempelajari komputer di Belanda (Delft). Diran mulai menyadari betapa tidak terelakkannya pemakaian komputer di abad ini. Tetapi, yang lebih penting menurutnya adalah sikap manusia di dalam menggunakan komputer.[1][2] Dosen Teknik Penerbangan ITBSebagai dosen Program Studi Teknik Penerbangan ITB ia dikenal sebagai dosen yang "killer" namun juga piawai dalam membuka dan memainkan pikiran mahasiswa. Titelnya sebagai guru besar ITB di bidang kedirgantaraan mencerminkan dedikasi penuhnya pada dunia pendidikan, khususnya pada pendirian Program Studi Teknik Penerbangan. Di kalangan mahasiswa, Oetarjo dikenal sebagai dosen yang "provokatif" dan juga filosofis. Pada saat mengajar, Ia sering berbicara kesana kemari dan membuat mahasiswa berpikir keras kemudian Ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa mahasiswa menjawab out of the box. Dengan tipe pengajaran yang demikian, Oetarjo menjadi sosok dosen yang special di kalangan mahasiswa.[3] Pakar KNKTMenurut salah seorang anak bimbingannya, komitmen dan kinerjanya di KNKT membuat komisi ini menjadi semakin terkenal di level nasional bahkan hingga level internasional. Dengan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya, Ia dapat memperkirakan secara akurat posisi jatuhnya pesawat. Dan hal ini telah terbukti dalam hasil investigasinya pada kecelakaan pesawat Garuda di Medan, Sumatera Utara (1997) serta kasus kecelakaan Silk Air di Sungai Musi, Palembang (1997).[3] Rujukan
|