Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah.[1] Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan.[2] Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan.[2] Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.[1] Nyadran / Srawrrrrn adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.[3]
Pelaksanaan
Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.[4] Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran, Sadranan atau Ruwahan adalah:
Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama.[1]
Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.[1]
Melakukan upacara ziarah kubur, dengan mendoakan keluarga atau kerabat dan para leluhur terdahulu yang telah meninggal di area makam.[1]
Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya'ban.[4] Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanay hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi.[1] Para masyarakat yang mengikuti Nyadran biasanya berdoa untuk leluhur kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal.[4] Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang atau bisa juga di Masjid mengirim doa untuk leluhur secara bersama-sama.[4] Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri.[4] Makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urapsayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahubacem, atau mentahan dan lain sebagainya.[4]
Sejarah
Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha.[1] Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima.[2] Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam yang dinilai musyrik.[1] Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.[1] Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.[2]