Naskah Merapi-MerbabuNaskah-naskah Merapi-Merbabu adalah kumpulan naskah yang ditemukan di kawasan pegunungan Merapi dan Merbabu, Jawa Tengah. Naskah-naskah ini umumnya ditulis dalam aksara Buda. Aksara Buda berbeda dengan aksara Jawa Baru. Sebab, naskah Merapi Merbabu jauh lebih tua dibanding Babad Tanah Jawa, yang merupakan pelopor aksara Jawa Baru pada abad 18 M. Isi dari naskah-naskah Merapi Merbabu terbentang dalam berbagai bahasan, mulai ilmu perbintangan, kakawin, kidung, mantra, kebahasaan, hingga obat-obatan tradisional. Bahasa Jawa Kuno digunakan dalam karya-karya kakawin, sedangkan pada karya-karya lainnya, ditulis dalam bentuk Al Jawi (Bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab).[1] Naskah Merapi - Merbabu menjadi bukti penting bahwa Nusantara Jawa pada abad 16 M sangat menjunjung tinggi keilmuan dan kerukunan. Dalam naskah bernomor PN 9 L 110, yang ditulis pada 1592 M, terdapat pembukaan pupuh berbunyi: “Bismillahirrahmanirahim“. Selain itu, pada naskah bernomor PN 7 L 29, terdapat tulisan tentang dialog Rasulullah SAW. Koleksi besar naskah-naskah Merapi-Merbabu tersimpan di Perpustakaan Nasional, kurang lebih sebanyak 400 -an naskah. PenemuanInformasi mengenai naskah-naskah ini pertama kali ditemukan dalam laporan statistik tertanggal 12 Agustus 1923, masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen.[2] Naskah-naskah kuno tersebut milik Keluarga Pak Kojo, cicit Penembahan Windoesono, seorang pendeta Buddha, saat Islam masuk Jawa Tengah, beliau menyingkir ke lereng Merapi tepatnya 1822 di lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kedakan, Residen Kedu. Membawa serta lebih kurang 1.000 naskah. Namun menurut informasi van der Molen, sejalan dengan perjalanan waktu naskah-naskah itu telah menyusut dan kini hanya tinggal sekitar 400 naskah.[2] Tiga puluh tahun kemudian, Bataviaasch Genootshap berusaha untuk memperolehnya. Usaha tersebut dilakukan dengan susah payah, karena Pak Kojo, pemilik naskah-naskah itu sangat sulit melepaskan naskah-naskah yang diwariskan kepadanya. Dari berita laporan tertanggal 27 April 1952, dapat diketahui bahwa usaha pengambilalihan naskah-naskah tersebut akhirnya berhasil, dan sejak itu sebagian besar naskah koleksi Merbabu tersimpan di Bataviaasch Genootschap. Dikatakan sebagian besar karena sebagian lain naskah koleksi Merbabu terbawa ke tempat lain, antara lain, ke salah satu perpustakaan di Prancis; Berlin, Jerman (Pigeaud, 1967); dan juga Belanda.[2] PenelitianPara peneliti yang tertarik dan pernah melakukan penelitian terhadap naskah-naskah koleksi Merbabu antara lain:[2]
Naskah-naskahNaskah-naskah Merapi-Merbabu memiliki banyak bentuk, di antaranya kakawin, parwa dan kidung. Sementara, bahasan yang dibawa juga beraneka ragam, seperti perbintangan, yoga, mantra dan obat-obatan. Naskah yang mengangkat tema ajaran Buddha ditemukan salah satunya tentang Kunjarakarna. Naskah yang bertema Islam juga ditemukan dalam naskah-naskah Merapi-Merbabu, di antaranya Tapel Adam, Anbiya, dan Caritaning Para Nabi yang menceritakan kisah Adam hingga Muhammad.[4][5] Keberadaan naskah pembukaan pupuh berbunyi: “Bismillahirrahmanirahim“ yang ditulis pada 1592 M (nomor PN 9 L 110), menjadi bukti penting bahwa sejak era Kesultanan Pajang, keilmuan, kerukunan, dan keberagaman sudah terbangun secara kolektif bagi masyarakat Jawa. KakawinNaskah Merapi-Merbabu yang berbentuk kakawin di antaranya menceritakan Ramayana, Arjunawiwaha, Bharatayuddha dan Arjunawijaya. Kakawin Ramayana dalam hal ini merupakan naskah tertua, bertahun 1521 Masehi. ParwaSebagian naskah dalam bentuk parwa adalah Pramanaprawa, Bismaprawa, dan Sabaparwa. KidungNaskah yang berbentuk kidung di antaranya ialah Kidung Ragadarma, Kidung Darma Jati, Kidung Mudasara, Kidung Subrata dan Kidung Surajaya. Naskah Subrata serupa juga ditemukan di Tengger, yang dapat menggambarkan kemungkinan hubungan antara masyarakat Merapi-Merbabu dan Tengger di masa lalu. PengaruhNaskah-naskah Merapi-Merbabu membuktikan bahwa komunitas sastra yang makmur pernah hidup di kawasan tersebut. Tak hanya makmur, tapi juga penuh dengan kerukunan. Merapi-Merbabu berada di kawasan pegunungan (selatan Jawa), yang pada abad 16 M, merupakan pusat Kesultanan Pajang. Pada 1592 M, saat ditulisnya naskah bernomor PN7L29 yang menceritakan dialog Nabi Muhammad SAW, adalah masa hegemoni Kesultanan Pajang dalam membawa Islam ke wilayah selatan. Ini menjadi bukti kedekatan Kesultanan Pajang dengan Para Wiku yang ada di pegunungan. Selain itu, ini juga jadi bukti empiris bahwa Kesultanan Pajang menjunjung tinggi penghormatan atas perbedaan. Karya-karya Merapi-Merbabu juga mengilhami budaya sastra yang unggul di Kesultanan Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Sebagai contoh, banyak naskah-naskah Merapi Merbabu yang kelak, pada abad 18 M dan 19 M digubah dan dimodifikasi oleh para Pujangga Keraton Surakarta. Lihat juga
Referensi
|