Di sebuah desa terpencil di Siam, Mak (Winai Kraibutr) akan dikirim untuk bertempur dalam sebuah perang dan harus meninggalkan istrinya yang sedang hamil, Nak (Intira Jaroenpura) yang mengantar kepergian Mak dalam kesedihan yang mendalam. Dalam perang tersebut, Mak terluka dan nyaris tidak selamat, namun dia berhasil kembali ke rumahnya untuk bersatu kembali dengan istri dan anak yang mencintainya, atau begitulah yang dia pikir sedang terjadi. Setelah pulangnya Mak, peristiwa-peristiwa misterius dan menakutkan pun mulai terjadi di sekitar desa tersebut.
Seorang teman Mak mengunjunginya dan melihatnya hidup bersama dengan Nak. Para penduduk desa yang mengetahui bahwa Nak sebenarnya telah meninggal dalam proses persalinan anak Mak beberapa bulan sebelumnya, menyadari apa yang terjadi, bahwa Mak telah terpesona oleh hantu Nak. Hantu Nak menjadi semakin tidak tenang dan agresif karena ketidakmampuannya untuk menerima kenyataan bahwa dirinya telah meninggal dini dan keputusasaan karena tidak bisa hidup dengan suami yang sangat dicintainya. Orang-orang desa yang berusaha untuk memberitahu Mak, atau yang tahu terlalu banyak, berakhir tewas dibunuh satu per satu oleh hantu Nak.
Menjelang akhir, Mak akhirnya mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia sangat terkejut dan ketakutan sehingga melarikan diri ke kuil setempat. Para penduduk desa yang bermaksud baik mencoba menolongnya dengan beberapa cara, di antaranya membakar rumah yang dihuni hantu Nak dan pada akhirnya memanggil seorang pengusir hantu yang mistis untuk menghancurkan dahi tengkorak jasad Nak (hal ini adalah kepercayaan mistis Siam yang dipercaya akan menghancurkan jiwa serta hantu seseorang).
Biksu Buddha kenegaraan yang paling dihormati bernama Somdej To tiba di saat-saat terakhir kisah ini, mengambil alih usaha untuk menolong Mak. Dalam perpisahan yang dipenuhi tangis kesedihan, hantu Nak akhirnya bertobat, meninggalkan Mak agar suaminya tersebut dapat menjalani sisa hidupnya. Somdej To mengambil pecahan tulang dahi tengah dari tengkorak Nak dan membuat brosikat pinggang dan memakainya sepanjang sisa hidupnya. Epilog kisah ini kemudian menceritakan bahwa bros tersebut kemudian menjadi milik Yang Mulia PangeranChumbhorn Ketudomsak. Lalu, diwariskan kepada banyak pewaris tanpa diketahui lagi sampai sekarang tidak ada yang tahu di mana artifak tersebut.
Kisah ini telah digambarkan dalam beberapa film sejak era film bisu, dengan salah satu yang paling terkenal adalah Mae Nak Phra Khanong pada tahun 1958. Bahkan setelah film versi tahun 1999 ini, sineas asal Britania RayaMark Duffeld menyutradarai ulang pada tahun 2005 disebut Nâak Rák Táe ("Cinta Sejati Naak"). Legenda ini juga diadaptasi menjadi sebuah opera, Mae Nak, oleh komposer Thailand Somtow Sucharitkul.