H. Mukhlis Basyah, S.Sos. (lahir 18 Mei 1971) adalah tokoh pejuang GAM. Dia pernah menjabat sebagai Bupati Aceh Besar periode 2012—2017.[1][2]
Biografi
Mukhlis lahir 18 Mei 1971 di sebuah kampung di kaki bukit barisan, Samahani. Saat ini, kawasan tersebut masuk dalam Kecamatan Kuta Malaka Aceh Besar. Masa kecilnya dilalui di Samahani, hingga dia menamatkan sekolah di SMA Mugayatyah, Banda Aceh.
Sejak kecil, bersama saudaranya dia berjualan di kedai kopi yang saat ini terkenal dengan roti selai Samahani, Dua Saudara. Kedai itu terletak di pinggir jalan Banda Aceh Medan, tepat di Pasar Samahani.
"Kedai ini didirikan bapak saya. Pulang sekolah, kami bekerja di sini. Selain membantu orang tua juga untuk menambah uang jajan,” kata Mukhlis ketika menerima ATJEHPOSTcom di kedai tersebut, Senin 18 Maret 2013.
Sejak SMP dia sudah mengenal ideologi Gerakan Aceh Merdeka. Dia sudah tahu ada ketidakadilan dari Pemerintah Indonesia terhadap Aceh. “Pada waktu itu populer dengan AM atau Aceh Merdeka. Pemerintah Indonesia menyebutnya GPK, Gerakan Pengacau Keamanan,” kata Mukhlis.
Mukhlis yang sering disapa Adun Mukhlis menceritakan, pada waktu itu sekitar tahun 1980-an akhir, di Samahani banyak mantan pejuang DI/TII, mereka masih menyimpan senjata walau tidak digunakan lagi. Dari merekalah Mukhlis mengenal apa itu ketidakadilan dan juga pemberontakan. Jiwa pemberontak Mukhlis bangkit untuk melawan. Ideologi Aceh Merdeka sudah tertanam di kepalanya, kemanapun dia pergi.
Setamat SMA pada 1991, dia berangkat ke Jakarta. Sebagai seorang pemuda kampung pada waktu, merantau adalah sebuah tantangan hidup. Februari 19912, dia berangkat ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dia berencana hendak menyeberang ke Malaysia. Beberapa bulan di sana dia berhasil menyeberang ke Malaysia dengan ilegal. “Pemerintah Malaysia menyebut kami pendatang haram,” kata Mukhlis.
Hingga tahun 1996 dia berada di negeri jiran itu. Di Malaysia, kata Mukhlis, banyak warga Aceh. Mereka berkumpul di Kampung Melayu Majidi, di daerah Johor Baru. Di sana, bersama warga Aceh yang seide dengannya, Mukhlis memperdalam ideologi Aceh Merdeka-nya. Kampung Melayu Majidi menjadi tempat transit bagi tokoh-tokoh Aceh yang terlibat Aceh Merdeka dan pergi dari Aceh.
Ketika itu juga mereka bekerja memasok senjata ke Aceh melalui jalur laut. Mukhlis terlibat dalam kerja-kerja spionase, mencari uang, mengatur penyaluran senjata.
Tahun 1996 itu juga mereka ditangkap Pemerintah Malaysia, mereka dianggap pendatang haram. Setelah dipenjara beberapa bulan, mereka dideportasi kembali ke Indonesia lewat Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Dia pulang ke Aceh. Tak lama di tanah kelahirannya dia berangkat lagi ke Jakarta tahun 1997. Tak lama di sana, dia pulang ke Aceh dan naik ke gunung angkat senjata. Waktu itu, setelah reformasi Indonesia, perang terbuka antara TNI dengan pasukan GAM semakin sering terjadi.
Mukhlis berlatih di Pentagon, markas besar pasukan GAM Aceh Besar. Pentagon berada di kawasan Siron, Kecamatan Kuta Cot Glie Aceh Besar. Mukhlis menceritakan tempat mereka itu pernah diserbu pasukan TNI dan dihujani bom pesawat Bronco.
Ditemani kopi dan sepiring roti selai Samahani, Mukhlis melanjutkan kisahnya. Di gunung, suka duka dirasakan bersama teman-teman seperjuangan GAM. “Kami berindah-pindah, memanggul senjata, kadang turun ke kampung untuk mencari logistik makanan dan naik lagi ke gunung,” katanya.
Tahun 2000 dia menikah dengan seorang perempuan yang sekarang telah memberikannya tiga orang putra. Ada cerita menarik ketika pernikahannya dilangsungkan di Masjid Samahani, yang bersisian dengan Polsek Kuta Malaka. “Ada teman-teman GAM yang menjaga, lengkap dengan senjata, ada juga tentara dan juga polisi dari Polsek. Tapi alhamdulillah tidak terjadi apa-apa,” katanya. “Bahkan, Bupati Aceh Besar Sayuti Is juga hadir.”
Setelah menikah, hari-hariya dilalui seperti biasa sebagai seorang pemberontak. Dia di gunung dan istrinya di rumah. Kadang, kalau ada waktu dan berhasil menembus blokade TNI di dekat gunung dia pulang ke rumah.
Ketika Pemerintah Indonesia memberlakukan Darurat Militer untuk Aceh pada Mei 2003, TNI terus bergerak mencari pasukan Mukhlis. Dia mengakui waktu itu mereka terjepit, logistik berkurang. Pada waktu menjelang perjanjian damai tahun 2005, pentolan GAM Aceh Besar semuanya sudah berkumpul di kawasan pegunungan Kuta Malaka. “Ada Bang Pen, Pak Cek, dan juga Tengku Ahyar,” katanya.
Bang Pen adalah sebutan untuk Effendi, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Aceh Rayeuk sekarang. Pak Cek adalah Saifuddin, Ketua DPRK Aceh, sedangkan Tengku Ahyar saat ini duduk sebagai salah satu anggota DPR Aceh.
Pada suatu malam, 12 Juli 2005, Mukhlis turun ke kampung bersama seorang temannya. Mereka ingin mencari logistik bagi kawan-kawan yang berada di gunung. Naas bagi dia dan temannya tersebut, TNI sudah mengendap menunggu mereka di perbatasan kampung. Tanpa basa-basi, peluru dimuntahkan dalam gelap malam itu. “Saya bisa lihat bagaimana cahaya peluru yang beterbangan,” kata Mukhlis.
Temannya roboh seketika itu, sedangkan dia sendiri terkena di tangan. Dengan kekuatan yang ada dia angkat teman dan langsung menjauh dari pasukan TNI. Tak ada pengejaran, mereka juga tidak membalas. Menembus hutan Mukhlis membawa lari temannya hingga sang teman meninggal dalam pelukannya. “Sungguh pahit mengenang masa itu,” kata Mukhlis.
Ketika pimpinan GAM dan Pemerintah Indonesia sepakat berdamai, mereka turun ke kampung. Waktu itu pasukan TNI sudah menunggu. “Ramai, kami juga ramai. Mereka bersenjata, kami juga lengkap. Tapi tak ada lagi kontak senjata, kami hanya saling tatap,” kata Mukhlis.
Setelah turun, Mukhlis langsung mengobati tangannya. Walau sudah dioperasi, tangan kanannya tak lagi normal. Telunjuk dan jempol tidak lagi bisa digerakkan, lumpuh.
Selama bergabung dengan GAM, Mukhlis mengaku tak pernah bertemu dengan Muzakir Manaf. Panglima perang Aceh Merdeka itu, ditemuinya pertama kali di sebuah sekolah di Meureu, Aceh Besar, setelah perdamaian. Pada waktu ada beberapa pentolan GAM lainnya seperti Darwis Jeunieb.
“Itu upacara pengumpulan senjata kami sebelum dibawa ke Blang Padang untuk dipotong,” kata Mukhlis.
Di Meureu, Mukhlis mengingat kembali bagaimana pertemuan pertama kali dengan tandemnya dalam memimpin Partai Aceh sekarang.
“Mualem pegang tangan saya lama, dia tanya kapan kejadiannya. Saya bilang sebulan sebelum damai,” kata Mukhlis. Saat itu, Mukhlis mengatakan Mualem terkesan garang. “Brewoknya masih penuh, tapi saya suka tatapannya. Penuh makna dan tegas sebagai seorang pemimpin.”
Sejak saat itu, Mukhlis terus berkoordinasi dengan Mualem. Dalam beberapa hal dia mengaku menemukan sosok kepemimpinan pada Mualem.
Saat ini, Mukhlis sudah menjadi Sekretaris Jenderal Partai Aceh. Kabar itu diterimanya pertama kali dari Mualem. Dia mengatakan siap mengemban amanah memipin partai politik terbesar di Aceh itu.[3]
Riwayat Pendidikan
- SD Samahani (1978—1984)
- SMP Samahani (1984—1987)
- SMA Mugayatsyah Banda Aceh (1989—1991)
- S1 STIPSI Al Wasliyah Banda Aceh (2010—2013)
Riwayat Organisasi
- Anggota Pasukan Gerakan Aceh Merdeka (1997—2005)
- Ketua DPW-PA Kabupaten Aceh Besar (2008—2013)
- Sekretaris Jenderal Partai Aceh (PA) (2013—2018)
- Bendahara pembangunan Mesjid Besar Samahani
- Wakil Ketua II Pencab PSSI Aceh Besar (2010—2014)
- Ketua KKI (Kushin-Ryu Karatedo Indonesia) Provinsi Aceh (2010—sekarang)
- Wakil Ketua Umum Partai Aceh (PA) (2018—2023)
- Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Aceh Rayeuk (2021—sekarang)
Riwayat Jabatan
- Bupati Aceh Besar (2012—2017)
Referensi