Konflik Zona Demiliterisasi Korea
Konflik Zona Demiliterisasi Korea, juga disebut sebagai Perang Korea Kedua oleh beberapa kalangan,[3] adalah serangkaian bentrokan bersenjata tingkat rendah antara pasukan Korea Utara dan pasukan Korea Selatan dan Amerika Serikat, sebagian besar terjadi antara tahun 1966 dan 1969 di Zona Demiliterisasi Korea. Latar belakangPerang Korea telah menghancurkan Korea Utara dan Selatan, dan meskipun kedua pihak tidak ada yang melepaskan klaimnya untuk menyatukan kembali Korea di bawah penguasaannya, tidak ada pihak pula yang berada dalam posisi untuk memaksa penyatuan kembali. Pada September 1956, Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat Laksamana Radford mengindikasikan dalam pemerintahan AS bahwa niat militer untuk memperkenalkan senjata atom ke Korea, yang disetujui oleh Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat dan Presiden Eisenhower. Namun ayat 13 (d) Perjanjian Gencatan Senjata Korea mengamanatkan bahwa kedua belah pihak tidak dapat memperkenalkan jenis senjata baru ke Korea, sehingga mencegah diperkenalkannya senjata nuklir dan rudal. Amerika Serikat memutuskan untuk membatalkan secara sepihak ayat 13 (d), melanggar Perjanjian Gencatan Senjata, meskipun ada kekhawatiran dari para sekutu PBB.[4][5] Pada pertemuan Komisi Gencatan Senjata Militer 21 Juni 1957, AS memberi tahu perwakilan Korea Utara bahwa Komando PBB tidak lagi menganggap dirinya terikat oleh paragraf 13 (d) gencatan senjata.[6][7] Pada Januari 1958, rudal Honest John bersenjata nuklir dan meriam atom 280mm dikerahkan ke Korea Selatan,[8] diikuti dalam waktu satu tahun oleh amunisi penghancuran atom[9] dan rudal jelajah Matador bersenjata nuklir yang mampu mencapai Tiongkok dan Uni Soviet.[4][10] Korea Utara mengecam pembatalan ayat 13 (d) sebagai upaya untuk merusak perjanjian gencatan senjata dan mengubah Korea menjadi zona perang atom AS.[5] Korea Utara merespons dengan menggali benteng bawah tanah besar-besaran yang tahan terhadap serangan nuklir, dan mengerahkan pasukan konvensionalnya sehingga penggunaan senjata nuklir terhadapnya akan membahayakan pasukan Korea Selatan dan AS juga. Pada tahun 1963, Korea Utara meminta bantuan Uni Soviet dalam mengembangkan senjata nuklir, tetapi ditolak. Tiomgkok kemudian, setelah uji coba nuklirnya, juga menolak permintaan Korea Utara untuk membantu mengembangkan senjata nuklir.[4] Di Korea Utara, kepergian Tentara Pembebasan Rakyat pada Oktober 1958 memungkinkan Kim Il-Sung untuk mengonsolidasikan basis kekuatannya dan memulai Gerakan Chollima bagi pertanian kolektif dan industrialisasi untuk membangun sebuah pangkalan untuk menyatukan kembali Korea secara paksa. Korea Utara tetap bergantung pada Uni Soviet untuk teknologi dan Tiongkok untuk bantuan pertanian.[11] Lihat pula
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia