Michel Thomas Verhoeks
Mgr. Michel Thomas Verhoeks, C.M. (29 Maret 1893 – 8 Mei 1952) adalah Vikaris Apostolik Surabaia sejak 8 Mei 1942 hingga wafatnya pada 8 Mei 1952. KaryaPastor Verhoeks ditahbiskan menjadi Imam pada tanggal 27 April 1919. Karier imamatnya dijalankan hampir semuanya di seminari; ia adalah dosen Hukum Gereja dan teologi moral di Seminari Tinggi Saint Jozef, Panningen, Belanda. Ia ditunjuk menjadi Prefek Apostolik Surabaia pada tanggal 22 Oktober 1937. Pada tanggal 16 Oktober 1941, saat status Surabaia ditingkatkan dari Prefektur Apostolik menjadi Vikariat Apostolik, ia menjadi Vikaris Apostolik pertama Surabaya. Karena kedatangannya ke Indonesia langsung menjadi Uskup, ia memiliki keterbatasan dalam berbahasa Jawa. Ia ditahbiskan menjadi Uskup di Semarang pada 8 Mei 1942 oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. yang merupakan Vikaris Apostolik Semarang dengan gelar Uskup Tituler Danaba sebagai Uskup Penahbis Utama. Sementara, bertindak sebagai Uskup Ko-konsekrator adalah Vikaris Apostolik Malang yang bergelar Uskup Tituler Thubunae di Numidia, Mgr. Antoine Everard Jean Avertanus Albers, O.Carm. Selain itu, dalam tahbisan ini Prefek Apostolik Bandjarmasin, Pastor Jacob Jan Kusters, M.S.F. berperan sebagai asisten dalam tahbisan episkopal tersebut.[2] Penahbisan ini dilaksanakan tidak dalam upacara yang ramai, sebab pada waktu itu perang sedang berlangsung. Mgr. Verhoeks selama beberapa saat pernah tinggal di paroki Ketabang (Kristus Raja) di Jalan Residen Sudirman, yang ketika itu pernah hendak dimaksudkan sebagai pusat Vikariat. Sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik di Vikariat Surabaia, Mgr. Verhoeks mengalami masa-masa sangat sulit terkait dengan Perang Dunia II, ditambah dengan kondisi pada waktu itu di Kota Surabaya dan sekitarnya yang berkobar perang melawan tentara kolonial Belanda yang—dalam buku-buku sejarah—diceritakan "membonceng" kehadiran tentara sekutu (Aliansi) melawan Jepang. Mgr. Verhoeks bersama dengan para pastor dan orang-orang Belanda di-internir oleh Jepang di Cimahi pada tahun 1943. Sebagaimana dialami oleh orang-orang Belanda waktu itu, ia juga mengalami berbagai pengalaman penganiayaan oleh tentara Dai Nippon. Pengalaman diinternir yang menjadi salah satu sebab ia mengidap penyakit yang menderanya hingga wafatnya, asma. Sesudah kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia (1945), kepemimpinan Mgr. Verhoeks di Vikariat Surabaya mendapat tantangan hebat berhubung dengan periode yang disebut Agresi Militer Belanda. Pada waktu itu, wilayah Mojokerto ke timur sampai Surabaya dikuasai oleh tentara kolonial Belanda; sementara Jombang ke barat (sampai Madiun) berada dalam kekuasaan Tentara Republik Indonesia. Mgr. Verhoeks mengalami kesulitan untuk melakukan kunjungan ke wilayah "barat" karena situasi politis yang gawat, sehingga "wilayah" kevikariatannya" seakan terbelah antara timur (Mojokerto dan Surabaya) dan barat (Jombang-Madiun). Karena itu, R.P. Dwidjosoesastro C.M., yang adalah Romo Jawa pertama dari Kongregrasi Misi yang baru pulang dari Belanda diangkatnya menjadi semacam "wakil" atau "pro-Vikaris Apostolik" yang menangani wilayah "barat".[3] Bahkan, ketika seminaris dibawa oleh Pastor Dwijosoesastro tahun 1948 dari Madiun dan Kediri ke Jalan Kepanjen 9, Surabaya untuk masuk seminari, mereka harus melewati "perbatasan" wilayah (demarkasi) untuk masuk ke Surabaya, dan merupakan sesuatu yang menegangkan. Mgr. Verhoeks dikenal oleh para pastor misionaris lain sebagai seorang pemimpin yang sabar. Ia suka bersepeda dan bahkan dikenal sebagai "Uskup yang bersepeda".[4] Salah satu hal yang menandai kepemimpinan Mgr. Verhoeks adalah berdirinya Seminari Menengah Santo Vincentius a Paulo, meskipun dia tidak bisa disebut sebagai pendirinya. Ia menjabat sampai wafat pada 8 Mei 1952 dalam usia 59 tahun, karena penyakit asma.[5] Referensi
Pranala luar
|