Max Horkheimer
Max Horkheimer (14 Februari 1895 – 7 Juli 1973) adalah seorang filsuf Jerman, yang menjadi salah satu filsuf generasi pertama dari Mazhab Frankfurt.[1] Ia lahir pada tahun 1895 dan meninggal pada tahun 1973.[1] Horkheimer merupakan keturunan Yahudi dan pengaruh tradisi Yahudi terlihat dalam pandangan Horkheimer tentang Allah.[2] Riwayat HidupMax Horkheimer adalah anak dari Moriz Hokheimer yang berkebangsaan Yahudi.[3] Ia dididik dengan ketat dan otoriter supaya dapat meneruskan usaha perusahaan tenun ayahnya.[3] Dalam persahabatan dengan Friedrich Pollock, ia berkenalan dengan dunia seni.[3] Pada waktu kemudian, Horkheimer menginggalkan perusahaan tenun ayahnya karena ia dilarang menikahi Rose Christine Rieckher, sekretaris ayahnya, yang berusia sembilan tahun lebih tua.[3] Setelah itu, ia berkenalan dengan filsafat dan belajar bahasa Prancis lewat buku yang berjudul Aphorisme on The Wisdom of Life.[3] Buku inilah yang akan memengaruhi pemikirannya yang pesimistis terhadap rasionalisme yang mengajarkan kehendak buta manusia yang mengakibatkan tragedi manusia itu sendiri.[3] Tahun 1923 Horkheimer lulus dengan disertasi tentang Immanuel Kant.[3] Tiga tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Frankfurt dan semakin mendalami filsafat Kant dan Hegel.[3] Ia juga akhirnya menikahi Rose Christine Rieckher.[3] Setelah Perang Dunia I, perubahan peta politik membuat suksesnya Revolusi Bolshevik di Rusia, sehingga banyak cendikiawan Jerman yang beraliran kiri bergabung dengan Sekolah Frankfurt yang beraliran Marxisme.[3] Dari sinilah Horkheimer berupaya untuk menyatakan kritiknya terhadap rakyat yang dicekam oleh kemajuan dalam kebebasan individunya.[3] Bulan Januari 1931, Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt.[3] Inilah zaman keemasan Sekolah Frankfurt, tetapi pada tahun 1933 yang beranggotakan kebanyakan orang-orang Yahudi bermigrasi ke Amerika karena tekanan Nazisme.[3] Sekolah Frankfurt berpindah ke Amerika dan berafiliasi dengan Universitas Columbia.[3] Pengalamannya di Amerika makin membuat keprihatinan besar Horkheimer terhadap masyarakat kapitalisme, sehingga pada tahun 1940 para ahli dari Frankfurt sangat pesimis, sebab individu makin terbelenggu oleh sistem.[3] Pemikirannya menjadi pesimis sebab pembebasan tidak mungkin dijalankan dalam masyarakat modern, dia pun menjadi sangat spekulatif dan refleksif, dia memilih agar filsafat diam karena ketidakmampuannya mendorong perubahan.[3] Pada tahun 1950 dia kembali ke Jerman dan menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa radikal dalam SDS (sizialisticher Deustscher Studentenbund), tetapi dia sendiri tidak setuju dengan gerakan itu karena memakai kekerasan dalam melakukan aksi demonstrasi.[3] Kemudian Horkheimer justru ditolak oleh para mahasiswa, bahkan dimusuhi hingga mengalami trauma.[3] Pada akhirnya dia menjadi seorang yang religius, sebab menurutnya kebenaran tidak mungkin ada tanpa adanya Allah.[3] Hal ini memengaruhi warna dari Sekolah Frankfurt juga, yang tadinya optimis menjadi pesimis terhadap perubahan masyarakat.[3] Dia meninggal pada 7 Juli 1973.[3] PemikiranDimulai dari tahun 1931 ketika Horkheimer menjabat sebagai Direktur Sekolah Frankfurt menggantikan Carl Grunberg, dia berpidato tentang filsafat sosial sebagai "interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan dipandang sebagai individu, tetap sebagai anggota masyarakat.[3] Jadi, objek filsafat sosial sekarang adalah semua kelembagaan yang bersifat material dan spiritual dari kemanusiaan secara menyeluruh", bukan filsafat yang memaksa nilai filosofis manusia dalam pengangguran, keterasingan dan penindasan yang dilakukan oleh kelas penguasa.[3] Dia memakai pandangan Karl Marx dalam anggapan bahwa kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian, filsafat sebagai semata-mata cermin dari bidang ekonomi, dan bukan dengan vulgar memakai sumbangan Hegel tentang kendali Roh, tetapi pada dialektika antara realitas material dan mental.[3] Dalam pikiran yang bergerak di bidang ideologi inilah, ideologi dipandang sangat berperan dalam ikut mengacaukan kenyataan sosial.[3] Dua hal yang menjadi perhatian teori kemasayarakatan Horkheimer adalah bidang sosiolgi politik dan kebudayaan.[3] Ini adalah salah satu kutipan karya Horkheimer dalam buku Eclipse of Reason pada tahun 1933 ketika dia di Amerika dalam puncaknya menentang kapitalisme.[3]
Munculnya Sekolah Frankfurt berbarengan dengan suburnya kapitalisme monopolis di Eropa.[3] Sekolah Frankfurt, termasuk Horkheimer memandang kapitalisme monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil dengan serta mereta digulungnya.[3] Hal ini cenderung menghapuskan pasar dan dinamika persaingan bebas.[3] Dialektika PencerahanKarya yang terkenal dari Horkheimer adalah buku berjudul Dialektika Pencerahan yang ditulis bersama dengan Adorno pada tahun 1944.[2][5] Isi buku tersebut adalah kritik terhadap modernitas, yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer, sebagai sejarah dominasi atau penguasaan.[2] Pemikiran ini mirip dengan kritik Marx.[2] Perbedaannya adalah Adorno dan Horkheimer tidak menjelaskan sejarah penguasaan dari hubungan produksi, melainkan dari dorongan psikologis manusia, yakni kehendak untuk berkuasa.[2] Paham kehendak berkuasa tersebut diambil alih dari Nietzsche.[2] Karena itu, Adorno dan Horkheimer mengkritik kesadaran yang ada pada masyarakat itu sendiri, yakni kesadaran modern dengan rasio sebagai alat utama dominasi.[2] Selanjutnya, mereka juga menyimpulkan bahwa Pencerahan yang dipandang sebagai kemajuan dari cara pandang mitologis, sebenarnya telah menjadi mitos itu sendiri.[2][4] Kemudian mitos itu juga menghasilkan penindasan dan penguasaan manusia yang satu terhadap yang lainnya.[2] Contoh konkret dari penindasan itu adalah munculnya ideologi fasisme Jerman serta kemajuan teknologi yang memanupulasi manusia.[2][4] Dalam Dialectics of Enlightenment (1972), Horkheimer dan Adorno seolah memakai teori sebelumnya (Marx dll) namun juga mengkritiknya.[4][5] Jika Marx hanya pada kapitalisme, maka Horkheimer dan Adorno memiliki lebih banyak aspek yang dipikirkan; politik, alam, kamausiaan dsb.[5] Horkheimer dan Adorno mengkritik 'dominasi' yang biasa dilakukan olehj filsafat barat, bahkan karena terlalu mementingkan kemajuan dan rasionalisasi, maka alam begitu saja menjadi objek untuk dikuasai.[5] Walaupun demikian, Horkheimer dan Adorno tetap mengakui bahwa manusia membutuhkan makanan, pertanian dan industri bagi teknologi, tetapi semua itu haruslah dikendalikan agar tidak menjadikan martabat manusia mengalami kemunduran.[5] Namun yang terjadi adalah identitas manusia justru direndahkan karena keinginan para penguasa, pada pemilik industri, manusia menjadi alat bagi kemajuan teknologi.[5] Dalam hal ini, selain kemajuan teknologi, kakuasaan manusia juga sudah mengalami kealpaan untuk menghargai martabat manusia lain.[5] Hal ini terjadi dalam peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Nazi di bawah kekuasaan Hitler yang membantai manusia layaknya objek saja.[5] Teori Kritis sebagai sumbangan EmansipatorisAufklarung atau pencerahan sumbangan Kant dalam diri manusia dimanfaatkan sebagai optimisme oleh Horkheimer.[4] Manusia yang berakal budi dapat mengeluarkan dirinya sendiri dari keterpurukan akibat pihak di luar dirinya.[4] Di sini, akal budi dianggap sebagai bekal untuk mengentaskan manusia yang menurut Horkheimer irasional, padahal manusia haruslah rasional.[3][4] Lalu Horkheimer memulai teori kritisnya dengan pertanyaan-pertanyaan; "dapatkan teori rasional tentang diri manusia dalam lingkungannya?", "bagaimanakah teori ini menjadi emansipatoris?", "manakah teori yang mampu mengembalikan manusia menjadi rasional kembali?", "di mana martabat dan kepenuhan individu dapat terpenuhi?" dsb.[3] Dari pertanyaan-pertanyaan inilah, dia berteori berbagai bidang sosial dalam usaha menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme yang sedang memonopoli kemanusiaannya.[3] Kritik-kritik yang dipakai Horkheimer adalah kritik tradisional di mana terdapat tiga hal yang harus dilakukan; 1. dia harus curiga dan kritis terhadap masyarakat, 2. ia harus berpikir historis, 3. ia harus tidak memisahkan teori dan praksis.[3] Namun pada akhirnya terori ini gagal menurutnya.[3] Kegagalan itu terletak pada ketidakmampuan memberikan pengertian rasional tentang manusia dalam alam lingkungannya.[3] Namun sebaliknya, justru membiarkan individu terbelenggu dalam masyarakat irasional.[3] Dari kegagalan inilah, maka teori kritis haruslah menjadi emansipatoris.[3] Referensi
|