Masjid Agung Majalaya adalah masjid yang terletak di Jalan Masjid Agung №13, Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Didirikan pada 24 Juni 1941. Sebagian besar bangunannya yang sekarang masih asli dari sejak didirikan, tidak pernah berubah gayanya. Oleh sebab itu, masjid agung ini merupakan satu-satunya di Kabupaten Bandung yang masih mempertahankan ciri khasnya.[2] Masjid Agung Majalaya memiliki gaya yang mirip dengan Masjid Demak di Jawa Tengah. Bedanya Masjid Agung Majalaya memiliki lima atap yang melambangkan rukun Islam, sedangkan Masjid Agung Demak hanya memiliki dua atap. Bagian atap atau sirap Masjid berasal dari Kalimantan yang sama dipakai di gedung Institut Teknologi Bandung.
Keempat tiang masjid ditopang dengan batu dari Demak. Batu bata yang dipakai yakni batu bata press sayati (Kopo Sayati) dipakai untuk bagian dalam bangunan, sedangkan bagian luar menggunakan bata press buatan pabrik milik Belanda yang berada di Ujung Berung.[3]
Sejarah
Awalnya masjid ini dibangun dari bambu dan kayu beralaskan tembok. Masjid tersebut berdiri di tanah wakaf Rd.H. Tubagus Zainudin. Kondisi masjid pada waktu itu sudah lapuk sekitar tahun 1939 kepala desa Majalaya H.Abdul Gafur mengusulkan untuk merenovasi masjid itu. Usulnya tersebut mendapat dukungan dari Rd. Hernawan Soemarjo sebagai asisten wedana (camat) pada waktu itu. Karena posisi masjid terletak di pusat kecamatan Hernawan Soemarjo mengusulkan untuk membangun kembali masjid yang lebih besar.
Rd. Hernawan Soemaryo dan H. Abdul Gafur membentuk panitia pembangunan masjid. Hasil rapat tersebut menetapkan Rd.H. Kosasih (Desa Cibodas) sebagai ketua, sekretaris yakni Rd. Dendadibrata (Desa Panyadap) sedangkan sebagai bendahara Ijradinata (Desa Majalaya). Panitia masjid sepakat untuk mengubah bentuk masjid dengan melibatkan seorang arsitek yang bernama Ir. Suhamir, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Tahun 1940 dimulai pembangunan masjid dengan dana awal 15.000 gulden. Dana tersebut diperoleh dari anggota panitia yang sebagian merupakan pengusaha. Biaya pembangunan masjid juga diperoleh dengan menggalang dana amal jariyah dari masyarakat di Kecamatan Majalaya. Masyarakat juga menyetor bahan bangunan seperti batu dan pasir. Bahkan Rd. Hernawan Soemarjo berinisiatif beserta aparat desa berkeliling naik sepeda ontel hias mengajak masyarakat menyumbang untuk masjid.
Tahun 1942 bangunan Masjid berserta tempat berwudlu selesai dan mulai dipakai masyarakat. Namun pada tahun yang sama setelah pecah Perang Dunia II, pembangunan Masjid terhenti sementara karena sebagian masyarakat Majalaya mengungsi. Bahkan beberapa bagian Masjid rusak akibat terkena tembakan peluru pesawat milik Belanda. Tahun 1944, masjid sempat menjadi markas dan basis pertahanan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Majalaya. Baru setelah Kemerdekaan pembangunan dan pengumpulan dana Masjid dimulai kembali. Selain itu dibangun balai nikah di sebelah utara Masjid. Tahun 1950-an jendela-jendela Masjid yang tadinya hanya berupa lubang dipasang kaca dan jendela yang terbuat dari kayu jati.
Tahun 1982 tempat wudu dipindahkan ke sebelah barat Masjid. Enam tahun berikutnya, karena jemaah semakin banyak kolam yang mengelilingi Masjid diubah menjadi Serambi. Tempat wudu diperbaiki dan jumlah toilet diperbanyak.[3]
Referensi