LokapalaLokapāla (Sanskerta: लोकपाल , Tibet: འཇིག་རྟེན་སྐྱོང་བ; Wylie: 'jig rten skyong ba), adalah istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta, Pāli, dan Tibet yang berarti "penjaga dunia". Lokapala memiliki makna yang berbeda, tergantung konteksnya menurut ajaran Hindu atau Buddha. Dalam ajaran Hindu, lokapāla merujuk kepada sosok dewa penjaga arah yang dikaitkan dengan sembilan atau sepuluh arah mata angin. Dalam ajaran Buddha, lokapāla mengacu kepada empat raja langit, dan juga dewa-dewa penjaga lainnya, sementara dewa-dewa penjaga arah disebut sebagai dikapāla. HinduDalam ajaran Hindu, para dewa penjaga arah mata angin disebut dikapāla. Diketahui terdapat empat dewa penjaga empat arah mata angin utama yaitu:
BuddhismeTheravādaHiri ("rasa malu berbuat jahat") sering disebut bersamaan dengan ottappa ("rasa takut berbuat jahat") sebagai lokapala atau "penjaga dunia". Keduanya bertanggung jawab untuk mendorong seseorang agar menghindari melakukan tindakan jahat. Sebab terdekat untuk rasa malu adalah rasa hormat terhadap diri sendiri; sedangkan rasa takut berbuat jahat adalah rasa hormat terhadap orang lain.[1]
MahāyānaDalam ajaran Buddha Mahāyāna, lokapāla ("pelindung dunia") adalah salah satu dari dua kategori dharmapāla (para pelindung ajaran Buddha)—kategori lainnya adalah Pelindung Kebijaksanaan. Dalam mitologi Tiongkok, "masing-masing dewa ini juga dikaitkan dengan arah tertentu, misalnya empat satwa perlambang dalam astronomi atau astrologi Tiongkok. Mereka memainkan peran yang lebih sekuler dalam masyarakat pedesaan untuk memastikan cuaca yang baik untuk pertanian dan perdamaian di seluruh negeri... Mereka mudah dicirikan melalui baju zirah dan sepatu yang mereka kenakan. Masing-masing dewa ini memiliki senjata ajaib dan asosiasinya sendiri." [2] Nama mereka adalah Dhrtarastra (penjaga timur), Wirupaksa (penjaga barat), Waishrawana (penjaga utara), dan Wirudhaka (penjaga selatan). Dalam Buddhisme Tibet, banyak dari dewa pelindung alam ini adalah dewata lokal dalam tradisi Tibet, misalnya dewa gunung, siluman, roh, atau hantu yang telah ditaklukkan oleh Padmasambhawa atau tokoh suci lainnya dan bersumpah untuk melindungi biara, tempat, tradisi tertentu, atau sebagai dewa penjaga ajaran Buddha secara umum. Dewa pelindung alam ini diminta dan disemangati untuk membantu biara atau umat Buddha secara material dan spiritual untuk menghilangkan hambatan dalam kegiatan mereka. Akan tetapi, karena mereka dianggap sebagai makhluk yang terikat dengan lingkaran samsara, mereka tidak dipuja atau dianggap sebagai pemberi perlindungan. Menurut Guru Tripitaka Shramana Hsuan Hua dari Kota Sepuluh Ribu Buddha, semua makhluk gaib ini dipanggil (ditangkap dan dipanggil), diperintahkan untuk menurut (ditaklukkan) dan diminta untuk melindungi Dharma dan para pengamalnya dengan menggunakan Mantra Shurangama.[3] Lihat jugaReferensi
Bacaan selanjutnya
Pranala luar
|