Kramanisasi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut gejala penjejangan dalam bahasa Indonesia.[1] Bahasa Indonesia yang mulanya egaliter karena tidak mengenal tingkatan bahasa, perlahan berubah menjadi bahasa yang terbagi menjadi dua laras, yakni bahasa krama yang "halus" dan bahasa ngoko yang "kasar". Kramanisasi dianggap sebagai salah satu bentuk penjawaan di Indonesia.[2]
Selayang pandang
Bahasa Melayu sebagai induk bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang demokratis karena tidak mengenal tingkatan bahasa. Akan tetapi, dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menunjukkan gejala pengutuban, yakni laras bahasa Indonesia yang "kasar" dan "halus", selayaknya bahasa Jawa yang memiliki tingkatan bahasa. Hal ini diakibatkan oleh kuatnya wacana Jawa dalam politik Indonesia.[3] Secara tidak sadar, bahasa Jawa telah meng-krama-kan dan sekaligus me-ngoko-kan bahasa Indonesia. Proses ini bukanlah proses masuknya bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia secara kentara, melainkan meresapnya modalitas bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Perubahan bahasa Indonesia hampir tergantung sepenuhnya pada apa yang terjadi dengan bahasa Jawa.[4]
Kramaisasi terjadi dalam bentuk penggunaan kata-kata lama untuk menghadirkan keagungan masa lalu. Sumber arkaisme ini didapatkan dari bahasa Jawa dan bahasa Sanskerta dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena itu juga, Pancasila dinukil dari Kakawin Negarakertagama, sebuah literatur Jawa; sejumlah nama dan semboyan kelembagaan di Indonesia juga diambil dari bahasa Jawa Kuno atau Sanskerta.[2]
Kramanisasi juga disebut merupakan fenomena penghalusan bahasa yang terjadi pada era Orde Baru. Proses ini tidak hanya menciptakan kata-kata yang enak didengar dalam bahasa Indonesia, tetapi juga kata-kata yang menimbulkan kesan berjarak antara penutur dan pendengarnya. Bahasa Indonesia pada masa Orde Baru telah digunakan sebagai perangkat kendali masyarakat demi mempertahankan kedudukan dan dominasi. Orde Baru memproduksi banyak eufimisme dan singkatan-singkatan, dan media massa kala itu juga turut menyebarluaskan kata-kata tersebut ke masyarakat. Akan tetapi pada masa Reformasi, bahasa Indonesia bisa menjadi lebih objektif, lugas dan apa adanya.[5]
Contoh
Eufimisme
Berikut contoh kata-kata yang mengalami kramanisasi yang besifat eufimistik pada masa Orde Baru:[5]
Kelaparan → rawan pangan
Ditangkap → diamankan
Penjara → lembaga pemasyarakatan
Arkaisme
Berikut beberapa contoh kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa kuno:[2]
Bhayangkara diambil dari bahasa Jawa Kuno yang berarti penjaga istana Majapahit
Sapta Marga, pedoman TNI berasal dari bahasa Jawa Kuno
Sebagai akibat dari adanya bahasa Indonesia laras krama, bahasa Indonesia laras ngoko pun tercipta. Bahasa Indonesia baku memainkan perannya sebagai bahasa krama. Sementara hingga pada kadar tertentu, bahasa yang dianggap memainkan peran sebagai bahasa ngoko adalah bahasa Jakarta.[2][6]
Madyaisasi
Dalam konteks masa Reformasi, adanya bahasa krama yang elitis dan bahasa ngoko yang identik dengan kelas bawah mendorong terciptanya satu laras bahasa baru, yaitu bahasa madya atau pertengahan yang dianggap sebagai cara berkomunikasi yang lebih egaliter. Gejala ini dinamai dengan madyaisasi.[7][8]