Kontroversi kartun Muhammad Jyllands-PostenKontroversi mengenai kartun Muhammad pertama dimulai setelah dua belas kartun yang menampilkan Muhammad, nabi terakhir dalam agama Islam, diterbitkan di surat kabar Jyllands-Posten; 30 September 2005. Jyllands Posten adalah surat kabar terbesar di Denmark. PenerbitanEnam dari kedua belas kartun tersebut diterbitkan ulang di surat kabar Mesir, El Faqr, pada 30 Oktober 2005 untuk mendampingi sebuah artikel yang mengkritik keras tindakan Posten, tetapi saat itu kartun-kartun ini belum mendapat perhatian yang besar di luar Denmark.[1] Hanya pada Desember 2005, saat Organisasi Konferensi Islam mulai menyatakan penentangannya, barulah kontroversi ini menghangat di dunia. Sebagian dari kartun tersebut diterbitkan di surat kabar Norwegia, Magazinet, pada tanggal 10 Januari 2006. Koran Jerman, Die Welt, surat kabar Prancis France Soir dan banyak surat kabar lain di Eropa dan juga surat kabar di Selandia Baru dan Yordania. Di Indonesia, tercatat ada dua media massa menerbitkan kartun-kartun ini, masing-masing Tabloid Gloria (5 kartun)[2] dan Tabloid PETA.[3] Pemimpin redaksi (pemred) Gloria kemudian meminta maaf dan menarik penerbitannya,[4] sedangkan pemimpin umum dan pemred PETA dijadikan tersangka.[3] Setelah penerbitan kartun yang asli, sebuah video menunjukkan anggota sayap muda Partai Rakyat Denmark yang berkontes menggambar Nabi Muhammad. Pada tanggal 12 Februari 2008, polisi Denmark menahan 3 orang (2 Tunisia dan 1 orang Denmark keturunan Maroko) yang dicurigai merencanakan membunuh Kurt Westergaard, kartunis yang menggambar kartun Bom di Serban. Keesokan harinya, kartun-kartun karya Westergaard tersebut dimuat di Jyllands-Posten, Politiken, dan Berlingske Tidende. Kedua peristiwa tersebut sama-sama menimbulkan kemarahan di seluruh dunia Islam. KontroversiKartun-kartun tersebut, pada mulanya dimaksudkan untuk mengilustrasikan secara satir artikel yang membahas penyensoran diri (self-censorship) dan kebebasan berpendapat (freedom of speech). Jyllands-Posten memesan dan menerbitkan kartun Muhammad setelah mendengar dari pengarang Denmark, Kare Bluitgen, bahwa ia tidak dapat menemukan orang yang bersedia menggambar Muhammad untuk digunakan di buku yang dikarang olehnya. Mereka tidak berani menggambar Muhammad karena takut akan terancam oleh serangan dari ekstremis Muslim. Ajaran Islam melarang penggambaran Nabi Muhammad untuk mencegah pemujaan berhala. Walaupun begitu, ada kaum Muslim yang tidak setuju oleh pandangan ini dan mempublikasikan gambar Muhammad, akan tetapi tidak dalam bentuk satir. Meskipun Jyllands-Posten mengatakan penerbitan gambar-gambar ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa kebebasan berbicara berlaku bagi siapapun, sebagian orang (baik Muslim dan non-Muslim) menganggap gambar-gambar tersebut adalah penghinaan terhadap Islam dan menunjukan Islamofobia di Denmark. Sebagai reaksi atas artikel itu, dua kartunis telah menerima ancaman pembunuhan sehingga mereka terpaksa bersembunyi. Menteri luar negeri dari sebelas negara Islam mendesak pemerintah Denmark untuk menindak surat kabar yang menerbitkan kartun di atas dan juga meminta maaf. Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh Rasmussen berkata, "Pemerintah Denmark tidak akan meminta maaf karena pemerintah tidak mengontrol media atau surat kabar; itu adalah pelanggaran dari kebebasan berbicara," namun Rasmussen juga berkata bahwa ia "sangat menghormati penganut agama. Tentu saja saya tak akan pernah memilih untuk menggambarkan simbol keagamaan dengan cara tersebut."[5] Jyllands-Posten sendiri telah meminta maaf karena telah menghina umat Muslim, tetapi tetap berpendapat bahwa mereka berhak menerbitkan kartun tersebut, dengan alasan bahwa fundamentalisme Islam tidak dapat mengontrol hal-hal yang dapat diterbitkan media di Denmark.[6] Tanggapan internasionalDalam menanggapi kemarahan komunitas Muslim, editor utama France Soir diberhentikan oleh pemilik surat kabar koran ini; Raymond Lakah. Lakah sendiri adalah seorang Prancis keturunan Mesir dan beragama Katolik Roma. Kemudian editor surat kabar Yordania al-Shihan, yang juga memuat kartun ini, dipecat dan ditangkap pihak kepolisian. Guru besar ilmu politik dari Universitas Paris VIII di Prancis kelahiran Lebanon, Gilbert Achcar sangat tidak mengherankan tentang pecahnya kemarahan di berbagai dunia islam, tetapi masalah kecil itu menjadi jalan pembuka untuk marah besar. Menurut pendapat Achcar kemarahan itu sebenarnya tidak pada kartun itu sendiri, tetapi dikarenakan sikap munafik dari dunia Barat dengan ikut campurnya pembuatan model demokrasi dan hak asasi manusia di Timur Tengah.[7] Pemimpin duniaOrganisasi Konferensi Islam dan Liga Arab meminta agar PBB menjatuhkan sanksi internasional terhadap Denmark.[8] Sementara itu, produk dari Denmark diboikot oleh konsumen di Arab Saudi, Kuwait dan negara Arab lain. Selain itu ada protes besar-besaran oleh kaum Muslim di Indonesia, Malaysia, Pakistan, negara Arab dan negara lain yang mempunyai populasi Muslim, hampir semuanya menggunakan kekerasan. Pada tanggal 4 Februari, Kedubes Denmark dan Norwegia di Suriah dibakar, akan tetapi tidak ada korban jiwa. Sehari kemudian pada tanggal 5 Februari Kedubes Denmark di Beirut, Lebanon juga dibakar oleh amukan massa. Akibat kejadian ini, Menteri Dalam Negeri Lebanon, Hassan al-Sabaa mengundurkan diri.[9] Dua hari kemudian, pada 7 Februari, Iran resmi memutuskan hubungan dagang dengan Denmark.[10] Sekjen PBB, Kofi Annan, menyatakan keprihatinannya akan peristiwa ini dan berkata bahwa "kebebasan pers" harus selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap keyakinan agama dan ajaran seluruh agama". Vatikan mengatakan, kebebasan berekspresi tidak berarti bebas menyerang agama atau kepercayaan agama seseorang, pembuatan dan penyebarluasan kartun itu adalah sebuah tindakan provokasi yang sama sekali tidak bisa diterima. "Di dalam hak atau kebebasan untuk menyatakan ekspresi dan pemikiran tidaklah mencakup kebebasan yang menyakiti para penganut agama," demikian pernyataan Vatikan. Selain itu, Vatikan juga menyatakan, "Serangan yang dilakukan oleh seorang atau sebuah perusahaan media tidak seharusnya dilampiaskan terhadap lembaga publik atau negara yang terkait." [11] Reaksi di Indonesia
Referensi
Pranala luar
|