Kongres III Partai Demokrasi Indonesia
Kongres III Partai Demokrasi Indonesia diadakan antara 15 – 18 April 1986. Kongres tersebut berlangsung lebih lama ketimbang yang direncanakan pada 17 April 1986, karena kerusuhan yang menyebabkan kegagalan kongres tersebut untuk memutuskan Dewan Pimpinan Pusat baru dari partai tersebut untuk periode 1986-1993.[1] Kongres tersebut dibuka pada tanggal 15 April 1986 di Graha Sasono Langen Budoyo, TMII, Jakarta. Kongres tersebut dihadiri oleh presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, Soeharto dan Umar Wirahadikusumah, para menteri Kabinet Pembangunan IV, ketua umum organisasi milik perintah, duta besar, ketua umum Golkar dan PPP, dan sekitar 1.250 peserta kongres.[2] Latar belakangPrakarsa untuk menyelenggarakan kongres PDI dimunculkan oleh Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam, pada pidatonya saat ulang tahun ke-12 PDI tanggal 11 Januari 1985 di Gedung Wanita. Dia berpendapat bahwa fusi partai politik 1973 dan penerapan asas tunggal Pancasila pada tahun 1983 mengakibatkan konflik di dalam partai politik, sehingga menunjukkan adanya perbedaan ekstrim di dalam orientasi politik parpol. Meskipun faksi-faksi dalam PDI dihapuskan secara resmi oleh persetujuan DPP partai sehari sebelumnya, Ketua PDI saat itu Sunawar Sukowati menghendaki adanya suatu pertemuan secara nasional untuk menghapuskan faksi-faksi dalam PDI hingga ke akar rumput.[3] Keinginan untuk menyelenggarakan kongres secara terbuka disampaikan oleh Hardjantho Sumodisastro selaku ketua DPP PDI. Menurutnya, kongres perlu dilaksanakan untuk memperbaharui susunan DPP partai.[4] Prakarsa untuk menyelenggarakan kongres tersebut didukung oleh mayoritas DPP partai, yang ingin menyelesaikan permasalahan-permasalahan internal partai melalui kongres tersebut, dan menyatakan bahwa siapapun yang menolak penyelenggaraan kongres melanggar AD/ART partai.[5] Meskipun begitu, beberapa cabang partai, seperti cabang Jakarta,[6] menolak penyelenggaraan kongres karena permasalahan keanggotaan partai.[7] Perselisihan untuk menyelenggarakan suatu pertemuan secara nasional berakhir pada bulan November dan Desember 1985. Diskusi berpindah pada penyelenggaraan kongres atau musyawarah nasional (munas). Sejak akhir Oktober, dewan pimpinan daerah (DPD) Jawa Timur dari partai telah mendesak partai untuk menyelenggarakan kongres.[8] Sebaliknya, DPD Lampung mendesak partai untuk menyelenggarakan munas terlebih dahulu, dan kongres dilaksanakan setelah Pemilu 1987.[9] Untuk membahas masalah ini, DPP PDI menyelenggarakan rapat pada tanggal 1 November 1985. Rapat tersebut dihadiri oleh 14 dari 15 pengurus PDI, dan tidak dihadiri oleh Wignyo Sumarsono, ketua PDI. Pada rapat ini, sembilan pengurus partai, termasuk Wignyo Sumarsono, setuju untuk menyelenggarakan kongres, sementara enam pengurus partai setuju untuk menyelenggarakan munas. Meskipun mayoritas pengurus menghendaki kongres, rapat ditutup tanpa adanya persetujuan.[10] Masalah tersebut akhirnya memecah PDI menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pendukung kongres, dan kelompok pendukung munas.[11] Kelompok pendukung kongres menyatakan keinginan mereka untuk menyelenggarakan kongres pada 12 November. Pernyataan ini ditandatangani oleh delapan pengurus, kecuali Muhidin Nasution yang sedang sakit.[12] Kelompok tersebut mengkritik ketua dan sekjen partai yang mendukung munas karena tidak berpegang teguh pada konstitusi partai.[13] Kelompok kongres menyelenggarakan rapat pada 30 November 1985, dan membentuk komite untuk penyelenggaraan kongres. Sementara itu, kelompok munas menyelenggarakan rapat pada tanggal 4 Desember 1985, yang berakhir secara ironis karena kelompok tersebut setuju untuk menyelenggarakan kongres, sehingga mengakhiri perpecahan dalam partai.[14] Meskipun DPP partai setuju untuk menyelenggarakan kongres, dua puluh cabang partai tetap bersikeras untuk menyelenggarakan munas. Untuk menghadapinya, DPP partai berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam, mengenai penyelenggaraan kongres pada tanggal 6 Desember 1985. Konsultasi tersebut membahas tentang penyelenggaraan kongres.[15] Persiapan lebih lanjut untuk menyelenggarakan kongres dibicarakan dengan presiden Soeharto pada tanggal 14 Maret 1986,[16] dan dengan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah pada tanggal 22 Maret 1986.[17] PersiapanPermasalahanSalah satu masalah dasar yang akan dibicarakan dalam kongres adalah regenerasi dalam DPP. Tokoh-tokoh muda dalam partai berpendapat bahwa proses regenerasi harus dilaksanakan dengan batas usia untuk ketua umum partai adalah 55 tahun. Tokoh-tokoh tersebut juga berpendapat bahwa proses regenerasi perlu dilaksanakan dengan pengelompokan kepemimpinan berdasarkan usia: 30-45 tahun, 45-50 tahun, dan 50-55 tahun. Pendapat ini ditentang oleh Mohammad Isnaeni, yang menyatakan bahwa pengelompokan semacam itu dapat mengakibatkan kekacauan dalam partai, dan dapat merusak rencana PDI untuk pemilu 1987.[18] Meskipun begitu, beberapa tokoh muda PDI, seperti Aberson Marle Sihaloho,[19]Soerjadi,[20] dan beberapa cabang PDI [21] mendukung proses regenerasi. Masalah lain yang menghantui PDI sejak kongres pertamanya adalah fusi yang belum tuntas. PNI sebagai elemen terbesar sangat mendominasi permasalahan di dalam PDI. Elemen PNI menolak argumen tersebut dan menyatakan bahwa masalah tersebut dikarenakan PNI memiliki basis dukungan yang cukup besar sedangkan partai lain seperti IPKI dan Murba memiliki basis yang lebih kecil.[22] Sebelum kongres dimulai, terdapat empat posisi kosong. Tiga posisi tersebut: Sunawar Sukowati (ketua umum), Muhidin Nasution (ketua), Indra Bakti (ketua) mengalami kekosongan karena kematian pemegang posisi sedangkan posisi Mohammad Isnaeni (ketua) kosong dikarenakan penunjukannya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Romania. Posisi tersebut dibiarkan kosong sampai DPP baru dibentuk oleh kongres.[23] NominasiBeberapa hari sebelum kongres dimulai, beberapa nama dicalonkan sebagai ketua umum PDI. Nama-nama berikut disusun berdasarkan popularitas, dari sebuah survei yang dilakukan beberapa hari sebelum kongres.[24]
KongresPembukaanBeberapa jam sebelum pembukaan kongres, sejumlah peserta kongres bergerombol di depan Graha Sasono Langen Budaya dikarenakan kurangnya tempat di dalam gedung. Peserta yang bergerombol berasal dari Jambi, Riau, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Lampung. Mereka menyalurkan kekecewaan mereka dengan mengkonfrontasi Sabam Sirait, sekjen PDI, dan Achmad Sukarmadidjaja, ketika keduanya sedang memasuki gedung. Seorang peserta kongres dari Jambi, Muhammad Thayib, mengajak peserta kongres untuk pulang "daripada dipermalukan".[2] Upacara pembukaan dimulai dengan Indonesia Raya, mengheningkan cipta, dan Mars PDI. Setelah semua lagu dimainkan, Presiden Soeharto menyampaikan pidatonya dihadapan peserta kongres, dan diikuti dengan pemukulan gong oleh Soeharto sebanyak tiga kali, sebagai tanda bahwa kongres telah dibuka. Setelah itu, Soeharto menerima plakat PDI dari Wignyo Sumarsono. Setelah penyerahan plakat PDI, Wignyo Sumarsono menyampaikan pidatonya dihadapan peserta kongres.[2] Setelah pidato pembukaan oleh Soeharto dan Wignyo, Soepardjo Rustam menyampaikan pidatonya berjudul "Perkembangan PDI di Masa Depan dan dalam Pembangunan Politik Nasional". Dalam pidatonya, Soepardjo menyatakan bahwa konflik internal di dalam PDI dapat menghalangi pembangunan PDI sebagai partai yang independen. Pidato Soepardjo dilanjutkan dengan pidato Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI, berjudul "Kerangka Dasar Pembangunan Nasional".[26] Benny menyampaikan tujuh harapannya kepada peserta kongres, mulai dari pelaksanaan kongres hingga peran PDI dalam menyukseskan pemilu 1987.[27] KandidatSelama kongres berlangsung, ada dua nama yang digadang-gadang menjadi ketua umum, yaitu Soerjadi dan I Gusti Ngurah Gde Jaksa. Mereka memiliki kans yang kuat karena kebersihan mereka dari konflik masa lalu pada partai. Mereka juga dapat diterima oleh kalangan pemerintah dan PDI. Nama-nama lain yang masih memungkinkan untuk menduduki posisi ketua umum adalah Mohammad Isnaeni dan Hardjantho Sumodisastro.[28] Kegagalan penutupanSebelum pelaksanaan kongres, penyelenggara kongres telah berencana untuk menutup kongres pada tanggal 17 April 1986, pukul 19.30, di gedung Sasono Langen Budoyo. Rencana ini ditunda dikarenakan terjadi kebuntuan dari para petinggi PDI untuk membentuk DPP baru. Kebuntuan tersebut bertambah parah dengan menghilangnya Yusuf Merukh, ketua PDI, Sabam Sirait, sekjen PDI, serta Sumario, ketua DPP PDI Jawa Tengah pada pukul 16.00. Menghilangnya ketiga tokoh tersebut direspon oleh para peserta kongres dengan teriakan dan kecaman. DPP PDI menjelaskan bahwa ketiga tokoh tersebut sedang berkonsultasi dengan Soepardjo Rustam, namun beberapa peserta kongres tidak percaya.[29] Akhirnya, pada pukul 18.00, Eddy Sukirman, sebagai ketua Dewan Pertimbangan Partai, menyatakan secara resmi bahwa penutupan kongres dibatalkan.[30] Pembatalan tersebut telah diberitahukan kepada Wakil Presiden sebelumnya pada pukul 17.45..[29] Meskipun begitu, sejumlah tamu undangan tidak mengetahui soal pembatalan tersebut. Tamu undangan, seperti Soepardjo, Sudharmono sebagai Ketua Golkar, Moerdiono sebagai Mensesneg, dan perwakilan negara sahabat, sudah tiba di lokasi pada pukul 19.00. Biro Humas Wakil Presiden telah menerbitkan isi pidato Wakil Presiden yang seharusnya dibacakan pada acara penutupan. Isi pidato tersebut sudah diterima oleh pihak media dan sudah diterbitkan di koran-koran.[31] Akhirnya, pada pukul 20.00, tamu undangan mulai kembali pulang, kecuali Soepardjo, yang masih berada di sana untuk bertemu dengan DPP PDI sejak 20.15. Yusuf, Sabam, dan Sumario masih belum dapat menghadiri rapat tersebut. Pada saat rapat berlangsung, Soepardjo memarahi salah seorang anggota DPP PDI, M.B. Samosir meminta maaf dan memohon kepada Soepardjo untuk melanjutkan rapat tersebut. Akhirnya, Sabam dan Yusuf bertemu dengan Soepardjo secara pribadi pada pukul 22.20, dan rapat tersebut berakhir pada pukul 00.15 dengan himbauan dari Soepardjo untuk menutup kongres tersebut pada pukul 17.30 esok hari. Soepardjo akan mewakili Wakil Presiden untuk menutup kongres secara resmi.[29] PenutupanMeski PDI sudah membahas calon formasi DPP yang baru, PDI gagal membentuk DPP baru. Sebelum penutupan, DPP PDI kembali menggelar rapat dari pukul 13.00 hingga pukul 15.00. Kongres tersebut akhirnya ditutup pada tanggal yang ditentukan oleh Soepardjo. Pada penutupan kongres, partai memutuskan untuk menyerahkan formasi DPP kepada Kementerian Dalam Negeri.[32] Penyerahan tersebut merupakan yang pertama kali dalam sejarah Indonesia formasi DPP partai diserahkan kepada pemerintah. Pembentukan oleh Kementerian Dalam Negeri menandai intervensi de jure PDI oleh pemerintah.[33] ReaksiPenutupan kongres yang tidak teratur itu menimbulkan kemarahan di PDI. Steve Nafuni, ketua DPD PDI Irian Jaya, mengatakan kongres tersebut merupakan kemunduran dari kongres sebelumnya. Kritik yang lebih keras disampaikan utusan PDI dari Blora, yang menyatakan bahwa "kekacauan penutupan bisa dianggap sebagai kejahatan yang dilakukan oleh KPK lama PDI karena menghambur-hamburkan 150 juta uang yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah."[32] Ipik Asmasoebrata, ketua DPD PDI Jakarta, mengutuk kongres dengan mengatakan "Kekacauan terjadi karena DPP PDI yang berengsek. Saya malu." Ipik dan delegasi lain dari Jawa Timur, Bali, dan Lampung, menyalahkan Sabam dan Merukh atas gagalnya kongres tersebut.[34] Reaksi yang lebih lembut datang dari luar PDI. Sudharmono dan Soepardjo Rustam menyatakan bahwa "kongres adalah upaya terbaik PDI, dan semua kader PDI harus menanggung hasilnya".[35] Nurhasan Ibnu Hajar dari Partai Persatuan Pembangunan, menyatakan bahwa kongres merupakan tanda bahwa fusi di dalam PDI tidak sempurna, dan partai tersebut membutuhkan generasi lain untuk menyelesaikan fusi tersebut.[36] Tokoh lain, seperti Amirmachmud, ketua Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan bahwa kegagalan kongres itu karena "intervensi pihak ketiga oleh para ekstremis yang ingin melemahkan PDI".[37] Pembentukan DPPKemendagri berjanji pembentukan DPP akan melibatkan konsultasi dengan anggota PDI, dan pembahasan dengan DPP PDI.[33] Soepardjo merencanakan bahwa kementerian akan melaksanakan konsultasi dalam dua gelombang, sebagai konsultasi "vertikal" dan "horizontal".[38] Gelombang pertama, konsultasi "vertikal" ini akan berlangsung dari 19 April hingga 23 April, dengan cabang-cabang partai dari berbagai provinsi berkonsultasi dengan kementerian.[39] Gelombang berikutnya, konsultasi "horizontal", akan berlangsung dari tanggal 23 hingga 29 April, dengan DPD dari partai yang keluar akan bertemu dengan kementerian.[40] Rencananya formasi tersebut akan diumumkan sebelum bulan puasa yang akan dimulai pada 9 Mei mendatang.[39] Setelah konsultasi, kementerian mulai mengerjakan formasi 29 April. Formasi tersebut diminta oleh tokoh-tokoh PDI untuk dipegang oleh kader-kader muda partai. Pertimbangan lain adalah mencoret Sabam dan Yusuf dari formasi, yang oleh beberapa pihak dianggap tidak menghormati partai dengan "menghilang pada saat-saat genting".[38] PengumumanPada tanggal 2 Mei 1986, pembentukan secara resmi diumumkan dengan upacara singkat dari Wisma Karya Senayan di Jakarta, dihadiri oleh Soepardjo Rustam, DPP lama PDI, dan ketua cabang PDI. Kertas-kertas yang berisi nama-nama yang terpilih itu diserahkan Soepardjo kepada Wignyo Soemarsono dan ia membacakan nama-nama yang terpilih itu untuk menampilkan diri.[41] Mereka yang terpilih tidak mengharapkan dirinya untuk dipilih. Misalnya, Benuhardjo, wakil bendahara terpilih, dipanggil staf kementerian untuk menghadiri rapat di Jakarta, sementara dia sendiri di Jogjakarta. Untungnya, dia berhasil membeli tiket pesawat Garuda ke Jakarta. Yang lain berbagi cerita yang sama, tetapi hanya Suryadi, ketua terpilih, yang mengantisipasi hal ini.[41]
Catatan
Referensi
Daftar pustaka
|