Ko Kwat Tiong Sia (1896–1970), atau dikenal sebagai Mr. Ko Kwat Tiong dan kemudian Mohamad Saleh, adalah seorang politisi, pengacara, pegawai negeri sipil, dan dosen asal Indonesia.[1][2][3] Pada tahun 1935, ia terpilih menjadi anggota Volksraad sebagai perwakilan dari Partai Tionghoa Indonesia. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, ia memimpin sebuah Balai Harta Peninggalan di Semarang hingga pensiun pada tahun 1960.[1][2]
Biografi
Keluarga dan kehidupan awal
Ko lahir pada tahun 1898 di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah sebagai anak dari Letnan Cina Parakan, Ko Djie Soen (menjabat mulai tahun 1893 hingga 1898), yang berarti bahwa ia lahir pada sebuah keluarga Peranakan ‘Cabang Atas’.[4][5][1][2] Sebagai anak dari seorang pejabat Cina, Ko Kwat Tiong pun mendapat gelar Sia.[6] Ko dibesarkan oleh kakaknya, Ko Kwat Ie, yang mendirikan sebuah pabrik cerutu di Magelang, Jawa Tengah.[1][2]
Ko lalu bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Magelang dan kemudian di Hogere Burgerschool (HBS) Semarang. Dua sekolah tersebut hanya menerima murid berlatar belakang Eropa dan sangat selektif dalam menerima murid berlatar belakang non-Eropa.[1][2][3] Saat bersekolah di HBS, Ko mendirikan sebuah klub bergaya Barat dengan nama ‘Djien Gie Lee Tie Sien’, sesuai lima kebajikan Konfusianisme yang ia pelajari di terjemahan Barat dari klasik Tionghoa, karena ia hanya dapat berbicara dalam bahasa Melayu, Belanda, Jawa, dan sejumlah bahasa asal Eropa yang lain.[2]
Awal karier dan Leiden
Akibat pecahnya Perang Dunia I, Ko terpaksa menunda rencananya untuk melanjutkan studinya ke universitas di Eropa.[2] Ia lalu bekerja sebagai jurnalis di Yogyakarta untuk Palita, dan kemudian bekerja di Escomptobank (pendahulu Bank Dagang Negara).[1][2] Pada tahun 1920, Ko akhirnya pergi ke Belanda bersama istrinya, Lie Giok Ing, untuk belajar hukum di Universitas Leiden.[1][2]
Saat berkuliah di Leiden, Ko bergabung ke Chung Hwa Hui Nederland, sebuah asosiasi mahasiswa Peranakan, dan bergaul dengan mahasiswa Peranakan kelas atas yang lain.[2] Walaupun begitu, ia juga bergaul dengan mahasiswa pribumi Indonesia, seperti Sartono, Sastromoeljono, Besar Mertokoesoemo, Mochamad Soejoedi, dan Soenario Sastrowardoyo, yang kemudian menjadi pimpinan dari Partai Nasional Indonesia, sebuah partai politik berpengaruh selama periode pasca-revolusi di Indonesia.[2] Ko akhirnya lulus pada tahun 1926, dan kemudian kembali ke Jawa.[1][3]
Karier hukum dan politik
Tinggal di Semarang, Ko awalnya bergabung ke firma hukum milik teman kuliahnya di Leiden, yakni H. K. Jauw, yang telah menjadi hakim di Pengadilan Eropa Semarang.[1][3] Kemudian, bersama keponakannya yang juga berkuliah di Leiden, Ko Tjay Sing, Ko mendirikan sebuah biro hukum bersama sejumlah pribumi Indonesia yang juga berkuliah di Leiden.[1][3] Melalui interaksinya dengan pribumi Indonesia, Ko pun menjadi dekat dan bersimpati dengan gerakan nasionalis Indonesia.[1][3] Sebagai seorang Freemason, Ko juga percaya pada persaudaraan dan kesetaraan dari semua manusia.[2]
Pada tahun 1928, saat partai politik Chung Hwa Hui (CHH) didirikan sebagai afiliasi dari asosiasi mahasiswa Peranakan di Belanda, Ko pun menjadi anggota partai tersebut.[1][3] Tidak seperti kelompok Sin Po yang mempromosikan kesetiaan pada Republik Tiongkok, CHH setia pada Hindia Belanda sebagai tanah air bagi Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda.[1][3] Namun, CHH kemudian didominasi oleh kepentingan Cabang Atas dan konglomerat Tionghoa, dengan dipimpin oleh H. H. Kan yang pro-Belanda, sehingga Ko akhirnya mengundurkan diri dan menjauhkan diri dari CHH.[1][3]
Saat Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia pada tanggal 25 September 1932, Ko pun bergabung ke partai tersebut.[1][3] Atas inisiatifnya sendiri, Ko lalu mendirikan cabang PTI di Semarang pada tanggal 9 Oktober 1932, dan bertindak sebagai chairman di cabang tersebut hingga tahun 1934, saat ia dipilih sebagai presiden dewan pusat PTI untuk menggantikan Liem.[2] PTI sangat mendukung gerakan nasionalis Indonesia dan melihat bahwa etnis Cina, sebagaimana etnis lain di Hindia Belanda, adalah bagian dari Hindia Belanda.[2] Pada tahun 1935, sebagai perwakilan PTI, Ko berhasil terpilih sebagai anggota Volksraad.[1][3]
Selama menjadi anggota Volksraad mulai tahun 1935 hingga 1939, Ko mengkampanyekan kesetaraan ras di dalam hukum Hindia Belanda dan aturan buruh yang lebih progresif.[2] Pada tahun 1936, bersama Soetardjo Kartohadikoesoemo, Sayyid Ismail Alatas, I. J. Kasimo, Sam Ratulangi, dan Datoek Toemoenggoeng, Ko menjadi penanda tangan Petisi Soetardjo, yang meminta kepada Ratu Wilhelmina agar Indonesia dimerdekakan sebagai bagian dari persemakmuran Belanda di bawah Monarki Belanda.[7][2] Pada tanggal 19 September 1936, Ko pun berpidato untuk mendukung petisi yang telah disetujui oleh Volksraad tersebut, tetapi petisi tersebut akhirnya ditolak oleh pemerintah Belanda dan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1938.[7][2] Pada tahun 1939, Ko terpilih sebagai chairman Federasi Perkoempoeloan Boeroeh Tionghoa.[8]
Walaupun progresif, pandangan politik Ko tidak seradikal anggota PTI yang lain, seperti Liem, Tan Ling Djie, dan Tjoa Sik Ien, yang mendukung sosialis atau bahkan komunis, mengadvokasi nasionalisme Indonesia anti-Belanda, dan menolak bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.[2] Ko juga berselisih dengan Liem mengenai keputusan Ko yang membuka PTI tidak hanya untuk Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda, tetapi juga untuk semua Tionghoa yang ada di Hindia Belanda, termasuk Tionghoa totok.[2] Menjelang pemilihan anggota Volksraad pada tahun 1939, perselisihan tersebut akhirnya mengemuka dan mengarah pada pemberhentian Ko dari PTI.[1][3]
Karier pasca perang dan kematian
Pasca pendudukan Jepang di Hindia Belanda selama Perang Dunia II, Ko bergabung ke Partai Nasional Indonesia (PNI), tetapi ia tidak terlalu terlibat dalam kegiatan politik PNI.[2] Ko justru lebih aktif sebagai kepala dari sebuah Balai Harta Peninggalan di Semarang hingga pensiun pada tahun 1960.[1][2][3] Ia kemudian menjadi dosen di sejumlah universitas, terutama di Universitas Diponegoro.[2]
Pada tahun 1947, Ko menikahi mantan sekretarisnya, Roemini, dan pindah ke agama Islam, serta mengadopsi nama Muslim, Muhammad Saleh.[1][2][3] Ia akhirnya meninggal di Semarang pada tanggal 17 Juni 1970.[1][2][3]
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-9101-25-9. Diakses tanggal 1 May 2020.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x Suryadinata, Leo (2012). Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary, Volume I & II (dalam bahasa Inggris). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4345-21-7. Diakses tanggal 1 May 2020.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o Suryadinata, Leo (2015). Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-4th). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4620-50-5. Diakses tanggal 1 May 2020.
- ^ "Benoemd". Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie. Bruining. 15 July 1893. Diakses tanggal 1 May 2020.
- ^ "Bestuur over Vreemde Oosterlingen". De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad. De Groot, Kolff & Co. 19 March 1898. Diakses tanggal 1 May 2020.
- ^ Blussé, Leonard; Chen, Menghong (2003). The Archives of the Kong Koan of Batavia (dalam bahasa Inggris). Amsterdam: BRILL. ISBN 978-90-04-13157-6. Diakses tanggal 1 May 2020.
- ^ a b Klinken, Geert Arend van; Klinken, Gerry Van (2003). Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia, a Biographical Approach (dalam bahasa Inggris). Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-6718-151-8. Diakses tanggal 1 May 2020. [pranala nonaktif permanen]
- ^ Suryomenggolo, Jafar (2013). Organising under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945–48 (dalam bahasa Inggris). Singapore: NUS Press. ISBN 978-9971-69-696-2. Diakses tanggal 1 May 2020.