Pada 12 Maret 1929, R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap., tiba di Sibolga dan menjadi pastor pertama yang berkarya di tanah Batak. Pada permulaan, dia tinggal di rumah keluarga Van Pinksteren, seorang pegawai Belanda yang bertugas di Sibolga, selama 10 minggu. Setelah itu R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap., membeli sebuah rumah di Tamarindalaan di belakang penjara. Rumah yang baru dibeli ini, direhap seadanya, sehingga menjadi tempat tinggal, tempat kerja dan kapel. Pada hari Raya Pentakosta, 19 Mei 1929, rumah dan kapel ini diberkati. Di rumah sederhana inilah komunitas pertama umat katolik di Sibolga mulai berkumpul dan beribadat. Pada permulaan, ada sekitar 70 orang umat Katolik, hampir semuanya adalah orang Eropa dan sedikit orang Tionghoa.
Pada tanggal 21 Mei 1930 datanglah 6 orang Suster dari Kongregasi Suster-Suster Cintakasih dari Maria Bunda yang berbelaskasih (SCMM) di Sibolga. Para suster ini menempati satu rumah yang agak besar di Heerenstaat yang dibeli oleh R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap., pada tanggal 9 Mei 1930 dari perusahaan Nennemannen Co. Pada tahun ini para suster membuka H.C.S. (Holland Chinese School), sekolah rakyat untuk anak-anak Tionghoa, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Belanda dan juga membuka sebuah TK.
Pada permulaan tahun 1932, R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap., mulai menjejaki untuk membangun sebuah gedung Gereja untuk umat Katolik Sibolga yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Maka pada tanggal 23 Februari mulailah pembangun rumah pastor dan Gereja. Dalam musim kemarau, tanggal 11 September 1932, gedung gereja dan pastoran diberkati oleh Prefek Apostolik Padang, Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans, O.F.M.Cap., dan pastoran mulai dipakai. Dengan demikian, diletakkanlah dasar bagi Gereja Katolik di Sibolga, yang kemudian menjadi titik pusat Prefektur Apostolik Sibolga. Pada saat ini, umat di kota Sibolga sudah berjumlah 223 orang, terdiri dari 125 orang Eropa, 84 orang China dan 14 orang Batak. Pada awal tahun 1942, sudah ada 603 orang umat Katolik di dalam kota Sibolga, terdiri dari 355 orang China, 191 orang Batak dan 57 orang Eropa.
R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap., sangat berkeinginan untuk mengembangkan misi di luar kota Sibolga. Sejak kedatangannya pada tahun 1929, banyak orang Batak, baik yang beragama asli maupun yang sudah dibaptis ke dalam Gereja Protestan, selalu menghubunginya dan ingin menjadi Katolik. Pada tahun 1933, R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap. mendapatkan ijin dari Pemerintah Kolonial Belanda di Jakarta, untuk bekerja di luar kota Sibolga. Maka mulailah R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap. mengunjungi kampung-kampung orang Batak, mulai dari Pangaribuan sampai Purbatua di Tapanuli Selatan.
Masa Pendudukan Jepang
Pada tahun 1942 terjadilah yang sudah beberapa waktu dikhawatirkan, yakni tentara Jepang menduduki tanah air Indonesia, termasuk daerah Sumatera. Pada tanggal 15 Maret 1942, kota Sibolga diduduki oleh tentara Jepang, misionaris-minionaris dikenakan tahanan rumah dan pada 13 Mei 1942, mereka semua diangkut ke kamp interniran. Dengan situasi ini, maka misi Gereja Katolik di Sumatera mengalami tantangan besar. Tidak berapa lama setelah para misionaris ditangkap dan diinternir, sebagian dari harta benda misi disita. Sekolah-sekolah kepunyaan misi, ditutup. Para suster masih diperbolehkan tinggal dalam biara, tetapi mereka dilarang keluar biara.
Sebelum dipaksa meninggalkan kota Sibolga, R.P.Chrysologus Timmermans, O.F.M. Cap. menyerahkan ‘penggembalaan’ umat Katolik Sibolga dan sekitarnya kepada Katekis Paulus Guyang Siregar dan memberikan petunjuk-petunjuk praktis. Pada bulan Mei 1942, Katekis Paulus Guyang Siregar dan beberapa temannya mengikuti pertemuan di Balige, untuk membicarakan urusan misi di seluruh Sumatera Utara selama tidak ada para pastor. Sebanyak 15 orang katekis diangkat dan ditugaskan untuk menanggungjawabi beberapa Distrik dan diberikan kewenangan penuh untuk melaksanakan reksa pastoral: menerimakan Sakramen Pembaptisan, meneguhkan perkawinan, dll. Seluruh Distrik, wilayah bakal Keuskupan Sibolga ini, digabungkan ke dalam “Huria Roma Katolik Tapanuli dan Nias/Sumatera Timur dan Aceh” dengan pusatnya di Balige. Sebagai ketua ditunjuk Joseph Bonifacius Panggabean (Balige), sekretaris katekis Paulus Guyang Siregar (Sibolga) dan Kepulauan Nias ditangani oleh Katekis Henrikus Sohiro Dachi. Akan tetapi, badan koordinasi ini berjalan tidak terlalu mulus, karena ada perpecahan di kalangan para katekis sendiri.
Di antara tentara Jepang yang menduduki kota Sibolga, ada beberapa yang beragama Katolik, atas jasa mereka maka gedung Gereja Katolik Sibolga tidak disita seperti beberapa gedung gereja Kristen lain. Dengan demikian, ibadat setiap hari Minggu tanpa imam, tetap bisa dilaksanakan, walaupun tetap dalam kecemasan karena banyak orang Tionghoa tidak berani ke Gereja karena takut terhadap tentara Jepang. Setelah Jepang menyerah, keadaan masih belum normal. Para misionaris belum dapat kembali ke tempat tugasnya karena kekacauan politik. Gedung-gedung gereja yang yang selama ini dikuasai tentara pendudukan Jepang, diambil-alih oleh tentara nasional, karena menurut mereka, gedung-gedung ini adalah harta milik musuh.
Kedatangan Dua Imam Jesuit dari Jawa
Pada awal tahun 1947, atas permohonan dari Vikaris Apostolik Medan, Mgr. Mathias Leonardus Trudon Brans, O.F.M.Cap., kepada Uskup di Semarang, diutuslah seorang imam bernama R.P. Sutapanitra S.J. untuk melayani di daerah Batak dan Sibolga. Pada tanggal 18 Juli 1948, datang lagi seorang imam yakni R.P. A. Pudjahandaja S.J. dari Sumatera Barat dan bertempat di Sibolga. Dengan kehadiran 2 imam ini, situasi pelayanan mulai pulih, Paroki Sibolga diorganisir lebih baik, dipilih Anggota Dewan Gereja yang baru, sekolah rakyat dibuka kembali, dan stasi-stasi dikunjungi. Pada tanggal 15 Augustus 1948, “Huria Katolik Tapanuli” dibentuk dan berkedudukan di Kota Sibolga.
Pada bulan Maret 1949, R.P. A. Pudjahandaja S.J., meninggalkan Tapanuli dan beberapa bulan kemudian, para misionaris datang. Dengan kedatangan para misionaris, maka situasi pelayanan semakin kondusif, walaupun kegiatan misi masih terbatas di kota Sibolga karena daerah-daerah belum aman. Para suster juga sudah mulai diijinkan kembali ke Sibolga dan membuka kembali sekolah yang sebelumnya sudah ditutup dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Barulah pada tahun 1950, para misionaris diberi kebebasan untuk mengunjungi daerah-daerah. Pada waktu itu ada 2 orang misionaris, satu orang betugas di kota Sibolga dan satu orang bertugas di stasi-stasi, khususnya di Kecamatan Sorkam dan Barus, di mana terdapat banyak stasi.
Kepala paroki
Pastor-pastor yang pernah bertugas sebagai Kepala Paroki di Paroki Katedral Sibolga