Kasus surah Al-Ma’idah 51
Kasus surah Al-Ma’idah ayat 51 merupakan kasus dugaan penistaan agama di Indonesia yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (atau dikenal sebagai Ahok) setelah pidato kontroversialnya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada September 2016 yang dengan cepat menyebar melalui kanal YouTube Pemprov DKI dan media sosial.[1] Pernyataan Ahok bahwa orang Indonesia tidak boleh dibohongi oleh orang-orang yang menggunakan Surah Al-Ma'idah (5):51 supaya tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin mereka seketika menimbulkan kontroversi luas terutama bagi kalangan masyarakat Muslim di Indonesia.[2][3] Pernyataan kontroversial ini melatarbelakangi dua aksi protes massa besar-besaran terhadap Ahok yakni Aksi 4 November dan Aksi 2 Desember (212) 2016 untuk menuntut penahanannya atas tuduhan menista dan menghujat Al-Qur'an. Istilah "penista agama" pun menjadi populer sejak kasus ini menjadi viral di publik.[4] Pra-Pilgub JakartaDalam kunjungan resmi ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Ahok memberikan pidato kepada para nelayan dan penduduk lokal lainnya tentang perincian programnya sebagai gubernur. Tanpa diduga, dia membuat pernyataan yang menghubungkan pengembangan programnya dengan pemilihan gubernur yang akan datang apabila dia tidak dapat terpilih sebagai gubernur untuk periode kedua.[1] Pada bulan Oktober 2016, beberapa tokoh dan kelompok melaporkan Ahok untuk kasus penistaan agama. Ketua MUI Ma'ruf Amin menyatakan bahwa pernyataan kontroversial Ahok memiliki konsekuensi hukum, apakah penghujatan terhadap Quran atau penghujatan tentang ulama.[5] Quran sendiri menyatakan bahwa siapa saja yang mendustakan atau menghujat kitab suci Al-Quran, termasuk pernyataan bahwa Surah Al-Maidah ayat 51 adalah alat kebohongan yang digunakan oleh para penceramah, dikutuk sebagai "kafir".[6][7] Menurut beberapa mazhab Islam, seperti mazhab Syafi'i dan Hanafi, setiap penistaan agama atau serangan dari non-Muslim terhadap Islam sebagai agama bisa dijatuhi hukuman mati.[8][9][10] Setelah sebuah permintaan maafnya kepada komunitas Muslim, Ahok mengungkapkan sebuah rencana kontroversial di Jakarta ketika ia akan menamai sebuah hotspot wifi "Al Maidah 51" dengan kata sandi "kafir".[11] Pada 4 November 2016, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) mengadakan demonstrasi besar-besaran di Jakarta yang dihadiri oleh ratusan ribu orang dari berbagai organisasi massa untuk membawa kasus penistaan ke pengadilan.[12] Karena lambatnya kemajuan dalam penyelidikan, terdapat aksi protes lebih besar ini diprakarsai oleh pemimpin FPI Habib Rizieq Shihab di Monumen Nasional (Monas), Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 yang kemudian menjadi peristiwa bersejarah dari Gerakan 212 (Aksi 212) sebagai salah satu pertemuan massa muslim terbesar yang diklaim bahwa gerakan tersebut dihadiri oleh jutaan Muslim dari berbagai penjuru Indonesia. Presiden Joko Widodo disertai dengan para menteri dan Kepala Polri Tito Karnavian juga turut menghadiri acara tersebut.[13] Proses persidangan kasus penistaan agama secara resmi dimulai pada 13 Desember 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan berakhir pada Mei 2017. Ratusan aparat dikerahkan untuk menjaga demonstrasi di depan gedung pengadilan demi alasan keamanan.[14] Pemilihan gubernur Jakarta 2017Selama persidangan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memutuskan bahwa Ahok diizinkan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur 2017 meskipun ada tekanan besar dari komunitas Muslim untuk mendiskualifikasi dia dari pemilihan karena telah menyakiti perasaan orang-orang Islam atas hujatannya terhadap sebuah ayat kitab suci.[15] Selama proses penyelidikan yang berlanjut, Ahok ditolak beberapa kali saat kunjungan kampanyenya di beberapa daerah di Jakarta. Pada Wawancara dengan media Australia, ABC News, Ahok menyatakan bahwa dia tidak memiliki niat untuk menyerang para pemilih Muslim dan mengklaim penyelidikan itu adalah strategi politik yang digunakan oleh lawan-lawannya untuk mengalahkannya.[14] Ahok dan Djarot Saiful Hidayat bersaing dengan putra mantan Presiden Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan mantan Menteri Pendidikan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno dalam pemilihan gubernur. Pada akhirnya, Ahok-Djarot kalah dari Anies-Sandi yang terpilih untuk jabatan gubernur.[16] Pada tanggal 9 Mei 2017, setelah pemilihan gubernur, hakim memutuskan Ahok terbukti bersalah atas kasus penistaan agama dan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara, sementara jaksa penuntut memutuskan untuk hukuman penjara satu tahun dengan dua tahun masa percobaan.[17] Selama persidangan vonis, seorang pendukung Ahok Veronica Koman membuat pernyataan ofensif di depan gedung pengadilan dengan mengatakan bahwa rezim Joko Widodo lebih kejam daripada masa sebelumnya.[18] Kasus yang terkaitSelain dari kasus penistaan agama, beberapa tokoh dan organisasi massa juga ditangkap dan dibubarkan selama masa persidangan. Seorang dosen Buni Yani terlibat dalam kasus tersebut setelah videonya yang diunggah di Facebook menjadi viral dan ia akhirnya menjatuhkan hukuman satu setengah tahun penjara.[19][20] Seorang musisi dan politisi terkenal Ahmad Dhani juga dilaporkan ke polisi karena tweetnya bahwa pihak yang mendukung seorang penghujat terhadap agama sebagai orang keji yang patut diludahi. Hal ini yang kemudian ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap kelompok pendukung Ahok,[21] kemudian Dhani dijatuhi hukuman penjara 18 bulan dalam kasus ini. Dhani juga pernah mempertanyakan perlakuan berbeda yang diterapkan antara dirinya dan Ahok, sewaktu ia harus ditahan di penjara dan Ahok berada dalam Mako Brimob.[22][23] Pada bulan Mei 2017, sebuah kelompok Islam garis keras Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan secara tiba-tiba oleh pihak pemerintah tanpa pemberitahuan formal atau proses legal yang memadai, yang kemudian mengarah ke revisi UU Ormas yang ditentang oleh beberapa partai politik.[24] Salah satu tokoh kunci dari dua pertemuan massal (gerakan 411 dan 212) Habib Rizieq Shihab dilaporkan tidak dapat meninggalkan Arab Saudi sejak April 2017 setelah umroh sementara pemerintah Indonesia dituding terlibat dalam masalah ini.[25] Pada 2 Desember 2018, "kelompok alumni" gerakan 212 (atau Alumni 212) berkumpul kembali dalam pertemuan massal di Monas, Jakarta untuk memperingati dua tahun peringatan setelah peristiwa besar pada tahun 2016.[26] Pada bulan Agustus 2019, Veronica Koman, yang menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah ketika mendukung Ahok dalam hukuman persidangan, didakwa oleh kepolisian Indonesia karena menyebarkan hoax di media sosial yang memprovokasi insiden kekerasan di Papua pada Agustus 2019.[27] Setelah pergi ke luar negeri, Koman telah menjadi buronan dan target "Red Notice" Interpol oleh pemerintah Indonesia atas kasus kejahatannya.[28] Referensi
|