Raden Ayu Kardinah (1 Maret 1881 - 5 Juli 1971) adalah tokoh emansipasi wanita dari Jawa Tengah. Ia adalah adiknya Kartini.
Kehidupan awal
Kardinah lahir di Jepara pada tanggal 1 Maret 1881 dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah Bupati Jepara dan ibunya bernama Ngasirah.[1]
Ia tumbuh besar bersama dengan Kartini dan Roekmini. Dia hanya menamatkan pendidikan sekolah dasarnya di Europeesche Lagere School. Seusai lulus dari sekolah dasar, Kardinah memasuki masa pingitan pada tahun 1896.[2][3]
Pada tahun 1898, Kardinah bebas dari masa pingitannya berkat desakan Nyonya Ovink-Soer kepada Sosroningrat.[2] Ia beserta dengan Kartini dan Roekmini kemudian mengelilingi kampung untuk mengetahui kondisi masyarakat. Dari kunjungannya, mereka menemukan bahwa pendidikan menjadi kunci untuk memajukan kehidupan ekonomi, sosial, dan moral perempuan.[4]
Pada tanggal 24 Januari 1902, Kardinah menikah dengan putra Bupati Tegal Raden Mas Haryono yang saat itu menjabat sebagai Patih Pemalang. Seusai pernikahannya, Kardinah pindah ke Pemalang pada tanggal 31 Januari 1902.[5][1]
Karier
Pendidikan
Setibanya di Pemalang, Kardinah menjadi seorang guru yang mengajarkan keterampilan besar bagi perempuan di rumahnya. Awalnya, ia hanya mengajar dua murid putri saja. Akan tetapi, gaya mengajarnya menarik perhatian banyak orang di Pemalang sehingga semakin banyak orang, termasuk Bupati Pemalang, mengirimkan putrinya untuk belajar dengan Kardinah.[5][6]
Pada bulan Juli 1908, Kardinah beserta suami dan keluarga pindah ke Tegal karena suaminya menjadi bupati. Sesampainya di Tegal, Kardinah berencana untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak pejabat bawahan pada tahun 1911 dalam suratnya ke Jacques Henrij dan Rosa Abendanon.[6]
Kardinah mendirikan Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo pada tanggal 1 Maret 1916 dengan dana dari penjualan dua buku soal makanan dan batik yang ditulisnya.[6] Keberadaan sekolahnya didukung oleh Residen Pekalongan dan mendapatkan bantuan dana dari residen hingga Ki Hadjar Dewantara. Di sekolah ini, ia menjadi guru dan siswi belajar bahasa Belanda, dasar pendidikan kebangsaan dan kebudayaan Jawa, Pertolongan Pertama dalam Kecelakaan (P3K), mengaji Alquran, membatik, dan pendidikan moral.[6]
Awalnya, Kardinah hanya menerapkan pembelajaran di sekolah kepandaian selama tiga tahun sehingga sekolah hanya menerima siswi yang sudah lulus kelas dua atau tiga Sekolah Pribumi Kelas Dua. Namun seiiring dengan tingginya antusiasme orang tua terhadap pendidikan perempuan, Kardinah memutuskan untuk memperpanjang durasi pembelajaran sekolah kepandian menjadi enam tahun.[7]
Selama berkarier sebagai guru di Tegal, Kardinah mengajar batik kepada siswi-siswinya dengan memadukan corak dan warna Batik Lasem ke Batik Tegal yang saat itu kental dengan warna Mataram. Berkat dia, warna hitam dan soga, yang merupakan ciri khas Batik Lasem, tersedia di Batik Tegal. Hasil karya batiknya diperkenalakan di pasar malam di Alun-Alun Tegal setiap tahunnya.[8][9]
Pada tahun 1924, kondisi kesehatan Kardinah menurun dan ia mengajukan permohonan untuk istirahat total. Permohonan tersebut diterima dan pemerintah kolonial Belanda mengambil alih Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo dan menggantikan namanya menjadi de Eerste Kopschool voor Meisjes pada tanggal 24 Oktober.[7]
Di samping mendirikan sekolah, Kardinah bersama dengan Sosrokartono mendirikan perpustakaan yang bernama Panti Sastra.[6]
Kesehatan
Merasa prihatin dengan kondisi kesehatan masyarakat Tegal yang buruk, Kardinah juga mendirikan balai kesahatan di Tegal yang bernama Kardinah Ziekenhuis pada tanggal 2 November 1927 kepada masyarakat kurang mampu yang ingin mendapatkan akses kesehatan. Dana pendirian balai kesehatan tersebut berasal dari hasil penjualan buku yang ditulis oleh Kardinah senilai 16.000 gulden dan subsidi dari pemerintah pusat dan daerah.[10][6][11]
Masa Revolusi Sosial dan akhir hidupnya
Pada bulan Oktober 1945, Revolusi Sosial pecah di Tegal dan para gerombolan menyerang kaum priyayi karena dianggap sebagai simbol kekuasaan Belanda. Pada tanggal 13 Oktober, gerombolan yang dipimpin oleh Kutil menyerang Kadipaten untuk mencari Sunarjo. Akan tetapi, Sunarjo tidak ada di tempat pada saat itu dan mereka menemukan Kardinah, cucu perempuannya, dan pembantunya. Mereka mengancam akan membunuh Kardinah.[1][6]
Para gerombolan memberikan pakaian goni kepada Kardinah, cucu perempuan, dan pembantunya dan mengarak mereka ke depan rumah sakit yang didirikan oleh Kardinah. Setibanya di sana, Kardinah berpura-pura sakit sehingga ia dibawa ke rumah sakit dan berhasil diselamatkan.[1]
Usai peristiwa Revolusi Sosial, Kardinah memutuskan untuk pindah ke Salatiga dan menjalani masa tuanya di sana sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 5 Juli 1971.[1] Setahun sebelum ia meninggal, Kardinah sempat berkunjung ke Tegal untuk berziarah ke makam suaminya.[6]
Ia dimakamkan di samping makam suaminya di pemakaman Sunan Amangkurat I Pesarean.[12]
Usai kematiannya, balai kesehatan yang Kardinah dirikan diserahkan kepada Pemerintah Kota Tegal dan Pemkot Tegal menamakan balai kesehatan tersebut menjadi Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal.[10]