Kakula

Kakula merupakan musik tradisional Sulawesi Tengah, Indonesia. Kakula yang berkembang di Suku Kaili, suku asli di Palu, Sulawesi Tengah, disebut sebagai Kakula Nuada[1] atau Kakula tradisi.

Pengertian Kakula

Secara umum Kakula adalah permainan musik yang dimainkan secara berkelompok atau bersama-sama, yang terdiri atas kakula (sejenis alat musik yang seperti bonang) dengan diiringi dua buah go atau tawa-tawa (gong berukuran sedang) dan satu atau dua buah gimba (alat musik sejenis gendang).[2]

Kakula secara khusus adalah nama jenis alat musik yang terdiri atas tujuh buah gong kecil yang ditempatkan secara berderet. Kakula juga digunakan untuk menyebut musik yang dihasilkan instrumen itu beserta cara penyajiannya.

Kakula juga disebut sebagai gamba-gamba. Gamba-gamba kayu merupakan bentuk awal dari musik Kakula. Nada yang terdapat pada Kakula yang terbuat dari kuningan atau tembaga memiliki kemiripan dengan nada yang ada pada Gamba-gamba atau Kakula kayu.

Pada perkembangannya, gamba-gamba menjadi kolintang. Alat musik Kakula terbuat dari bahan tembaga.

Asal Usul

Kakula diperkirakan dibawa oleh kebudayaan Islam sekitar tahun 1618. Pada zaman dulu, Kakula berfungsi sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Ada versi lain mengenai asal usul Kakula. Alat musik ini merupakan hasil interaksi dengan pedagang atau pembesar Melayu. terutama Melayu Goa atau Melayu Minangkabau. Perangkat musik ini dijadikan sebagai hadiah, tanda persahabatan, serta alat negosiasi dari pendatang Melayu kepada penguasa lokal.[2]

Syekh Abdullah Raqie atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datuk Karama adalah seorang ulama asal Minangkabau, Sumatera Barat. Dia disebut sebagai orang yang pertama kali menyebarkan agama Islam pada abad ke-17 di Kota Palu.[3]

Datuk Karama menginjakkan kaki pertama kali di Kampung Lere yang saat ini telah menjadi Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat. Dia datang pada zaman Kerajaan Kabonena. Rajanya saat itu bernama Ipue Nyidi.

Datuk Karama lalu melakukan syiar Islam ke wilayah lainnya di Palu yang dihuni oleh masyarakat asli Suku Kaili. Wilayah-wilayah itu meliputi Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, Parigi Moutong, dan Tojo Una-Una.[3]

Pada masa itu, masyarakat asli Suku Kaili masih menganut kepercayaan animisme yang disebut "tumpuna". Mereka masih percaya terhadap keberadaan makhluk yang menunggui benda-benda yang dianggap keramat.

Perjuangan Datuk Karama dalam berdakwah pun membuahkan hasil. Dia akhirnya berhasil mengajak Raja Ipue Nyidi beserta rakyatnya untuk berpindah keyakinan dan memeluk agama Islam. Raja Ipue Nyidi kemudian dikenang sebagai raja yang pertama masuk Islam di Palu.

Setelah wafat, Datuk Karama dimakamkan di Kelurahan Lere. Di areal makam itu juga terdapat makam istrinya yang bernama Intje Dille dan dua orang anaknya yang bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu serta makam para pengikut setianya yang terdiri atas sembilan makam laki-laki, 11 makam wanita, serta dua makam yang tidak ada keterangan di batu nisannya.[3]

Seiring perkembangan zaman, makam Datuk Karama dibenahi dan dijadikan sebagai cagar budaya sekaligus objek wisata religi oleh Pemkot Palu. Untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa Datuk Karama di Palu, Pemkot Palu juga menamai salah satu perguruan tinggi di Palu, yakni IAIN dengan nama IAIN Datuk Karama Palu.[3]

Peninggalan Datuk Karama hingga saat ini masih digunakan warga Palu, salah satunya adalah Kakula yang sama dengan alat musik tradisional Talempong di Minangkabau.

Kakula pada masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah merupakan bagian dari penyebaran budaya gong di Kepulauan Asia Tenggara. Penyebaran ini membentang mulai dari Sumatra lalu ke Filipina selatan, Sabah di Malaysia, dan Brunei Darusalam.

Alat musik dan musik sejenis Kakula ini dapat ditemukan di berbagai daerah di Asia Tenggara.

Pementasan

Musik tradisional ini sering ditampilkan pada upacara adat atau mengiringi tarian tradisional. Selain itu, Kakula memiliki fungsi sosial di masyarakatnya.

Kakula menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti untuk menidurkan bayi, acara potong rambut bayi, upacara akil balig, pesta sunatan, pernikahan, dan kematian.

Hingga kini, keberadaan Kakula masih bertahan. Seorang pemain Kakula bernama Katija diundang ke Jakarta pada Juli 2011.[4] Seniman yang sehari-hari berjualan roti dan kacang di pasar ini mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Indonesia sebagai maestro seniman tradisional.

Referensi