Kaharuddin Datuk Rangkayo Basa
Kombes. Pol. (Purn.) Kaharuddin Datuak Rangkayo Basa (17 Januari 1906 – 1 April 1981) merupakan seorang perwira Kepolisian Republik Indonesia yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat yang pertama sejak 1958 hingga 1965, setelah provinsi Sumatra Tengah dimekarkan berdasarkan Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1957. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Sumatra Tengah.[2] Masa jabatannya termasuk pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di provinsi tersebut, yang telah ditentangnya sebelum pengangkatannya. Riwayat HidupKehidupan awalKaharuddin dilahirkan di nagari Bayua, di tepi Danau Maninjau dan sekarang bagian dari Kabupaten Agam, pada tanggal 17 Januari 1906.[3] Ia menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School di Padang, dan kemudian Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) (Sekolah Pangreh-praja) di Fort de Kock (kini Bukittinggi).[4] Istrinya, Mariah yang dinikahinya dalam tahun 1926, merupakan tamatan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) (SD 7 tahun) di Sigli, Aceh.[butuh rujukan] KarierKepolisianSetelah menyelesaikan pendidikannya, Kaharuddin bergabung dengan kepolisian kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1932, ia dipromosikan menjadi asisten demang polisi di Solok. Gelar adatnya Datuak Rangkayo Basa diterimanya pada bulan April 1937 ketika menjabat sebagai asisten wedana polisi di Baso, Agam.[5][6] Ia terus bertugas sebagai petugas polisi pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, dan menjadi kepala polisi pada saat pendudukan berakhir pada tahun 1945.[4] Selanjutnya setelah kemerdekaan Indonesia Kaharuddin menjabat Kepala Polisi Padang Luar Kota,[7] Kepala Polisi Keresidenan Riau,[8] Kepala Polisi Kota Padang, dan Kepala Polisi Provinsi Sumatra Tengah. Peristiwa PRRIPada bulan Desember 1956, sejumlah panglima militer daerah di Sumatera Tengah membentuk Dewan Banteng, yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan otonomi daerah. Pada titik ini, Kaharuddin telah menjadi kepala polisi provinsi tersebut, dan dia mendukung dewan tersebut.[9][10][11] Namun, ketika dewan mulai melakukan pemberontakan langsung terhadap pemerintah pusat Indonesia, Kaharuddin mulai menyuarakan keraguannya.[12] Ketika Dewan Banteng akhirnya mendeklarasikan pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada bulan Februari 1958, Kaharuddin menolak untuk berpartisipasi dan menjadi salah satu penentang utamanya bersama Letnan Kolonel Djamin Ginting (Sumatera Utara), Letnan Kolonel Sohar (Sumatera Selatan), dan Residen Nani Wartabone (Gorontalo).[13][14] Pada bulan April, pasukan pemerintah telah mendarat di Padang, dan Kaharuddin bergabung dengan pasukan pemerintah pusat. Pemimpin PRRI Sjafruddin Prawiranegara menulis bahwa tindakan Kaharuddin telah melumpuhkan kemampuan PRRI untuk melawan pemerintah pusat.[15] Gubernur Sumatra BaratKaharuddin diangkat sebagai koordinator sipil pemerintahan untuk provinsi Sumatera Barat yang baru dibentuk pada tanggal 7 Mei 1958, dan kemudian diangkat menjadi penjabat gubernur provinsi tersebut pada tanggal 17 Mei.[16] Sebagai gubernur pertama provinsi tersebut, ia secara resmi menjadikan Padang sebagai ibu kota provinsi pada tanggal 29 Mei.[17] Ketika PRRI dikalahkan, Kaharuddin tetap menjabat sebagai gubernur definitif, meskipun kekuasaannya terbatas karena kewenangan yang signifikan dipegang oleh kekuatan militer yang dipertahankan di wilayah tersebut. Ia dicopot dari jabatannya dan ditugaskan kembali ke Jawa pada tanggal 5 Juli 1965, dan digantikan oleh Soepoetro Brotodihardjo sebagai penjabat gubernur.[18] Pada masa kariernya menjadi Gubernur di Sumatera Barat, dia mengalami tekanan berat atas munculnya PRRI, satu sisi sebagai wakil bagi perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dan disisi lain sebagai pemimpin pada kawasan wilayah yang masyarakatnya bergejolak atas ketidakpuasan kepada pemerintah pusat.[butuh rujukan] Kaharuddin dianggap sukses mendirikan pemerintahan eksekutif dan legislatif Provinsi Sumatera Barat, walaupun situasi dan kondisi yang tidak menentu saat itu. Kebijakannya masih dirasakan di kota-kota saja. Pada masa pemerintahannya juga dimulai pembangunan Kantor Gubernur Sumatera Barat.[19] WafatKaharuddin meninggal pada tanggal 1 April 1981 di Padang. Sebelum kematiannya, ia menolak dimakamkan di taman makam pahlawan, sehingga ia dimakamkan di taman pemakaman umum biasa.[20][21] Referensi
|