Imam Al-Haramain adalah salah seorang ulama fikih, ahli ushul fikih, ilmuwan, agamawan, pemuka masyarakat, dan teolog muslim yang sering kali membahas persoalan-persoalan teologis secara mendalam, seperti persoalan fungsi akal dan wahyu, surga dan neraka, perbuatan manusia, dan lain-lain.[1][2] Dia dikenal sebagai pengikut aliran Sunni, dan uniknya, dalam komentar-komentarnya justru mengacu juga pada pemikiran-pemikiran Mu'tazilah.[1] Karena itulah dia disebut tokoh kontroversial yang membuat para intelektual berbeda mengenai paham teologis yang dianutnya; sebagian menyebut dia berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah (baca: Asy'ariyah); sebagian ulama menyebutnya berpaham Mu'tazilah; dan sebagian yang lain menyebutkan bahwa dia meniti jalan tengah antara paham Ahlussunnah wal Jama'ah dan Mu'tazilah, khususnya dalam konteks perbuatan manusia, atau jalan tengah antara paham Jabariyah dan Qadariyah.[1]
Kehidupan
Kondisi Politik, Sosial, dan Keagamaan
Khurasan dengan ibu kota Naisabur, tempat kelahiran Imam Al-Haramain, tercatat sebagai salah satu wilayah yang mengalami kekacauan, sebagaimana wilayah-wilayah Islam pada umumnya waktu itu: kekacauan dalam bidang politik, sosial, dan keagamaan.[1][3] Karena wilayahnya yang subur, Khurasan menjadi rebutan beberapa dinasti; mulai dari dinasti Safariyah yang sempat menguasainya sejak tahun 254 hingga jatuhnya wilayah tersebut ke dalam kekuasaan dinasti Samaniyah pada tahun 290.[1][3] Selain itu ada pula dinasti Ghaznawiyah, Buwaihiyah, dan Saljukiyah, semuanya menguasai daerah tersebut secara bergantian.[1] Ironisnya, pergantian penguasa meniscayakan pergantian ideologi.[1][3]
Nama, Kelahiran dan Keluarga
Bernama lengkap Abul Ma'ali 'Abdul Malik bin 'Abdillah bin Yusuf bin Muhammad bin 'Abdillah bin Hayyuwiyah Al-Juwaini An-Naisaburi.[2][2][4][5][6][7][8] Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai waktu lahirnya: menurut Ibnul Atsir, Ibnul Jauzi, dan Ibnu Taghri Bardi dia lahir pada tahun 417 H.[1][3][9] Sedangkan mayoritas sejarawan menyebutkan bahwa kelahirannya terjadi pada tanggal 18 Muharram tahun 419, atau yang bertepatan dengan tanggal 22 tahun 1028 M.[1][2][3][4][5][6][7][8]
Ayahnya bernama Abu Muhammad 'Abdullah bin Yusuf bin 'Abdillah bin Yusuf Al-Juwaini, seorang ulama besar pada masanya, imam dalam bidang tafsir, fikih, adab, dan bahasa Arab.[3][4] Lahir di desa Juwain, tumbuh dan berkembang di sana.[3] Belajar adab dari ayahnya sendiri dan Abu Ya'qub; belajar fikih dari Abu Thayyib Ash-Sha'luki; belajar hadits pada Al-Qaffal Al-Marwazi; dan lain-lain.[3][10] Banyak ulama besar yang berguru padanya, antara lain, anaknya sendiri, Imam Al-Haramain.[3] Selain itu menulis banyak karya dalam berbagai bidang keilmuan: tafsir, fikih, dan sebagainya, sebelum kemudian meninggal dunia pada bulan Dzul Qa'dah tahun 438 H.[3][4][8][10] Sedangkan ibunya adalah seorang budak yang salihah yang baik hati, yang dibeli oleh sang ayah dari uang halal hasil kerja kerasnya.[1]
Imam Al-Haramain hidup di bawah asuhan dan pendidikan keluarganya, terutama sang ayah, Abu Muhammad Al-Juwaini, juga hidup di bawah asuhan para ulama besar di zamannya, di Naisabur.[3] Dari sang ayah dan ulama lainnya Imam Al-Juwaini belajar tentang banyak hal, terutama hal-hal yang berhubungan dengan ilmu agama; misal, belajar Al-Qur'an, selain pada sang ayah, dia juga belajar dari Syaikh Abi 'Abdillah; belajar hadits dari Abu Hassan bin Muhammad, Abu Sa'd 'Abdurrahman bin Hamdan An-Nadlrawi, Mansyur bin Ramisy dan lain-lain.[3] Selain itu juga belajar tentang ilmu teologi; belajar fikih, bahasa dan sebagainya.[3] Dan, ketika sang ayah wafat pada tahun 438 H., Imam Al-Haramain, - yang ketika itu umurnya belum genap 20 tahun, - menggantikan posisinya untuk mengajar di majlis ilmiahnya, tanpa membuatnya berhenti untuk terus menggali ilmu dari para ulama saat itu.[1][3] Setelah mengajar dia pergi ke sekolah Imam Al-Baihaqi di Naisabur untuk belajar fikih Syafi'iyah dan hadits; di masa yang sama menghadiri majlis Al-Kabbadzi untuk belajar ilmu Al-Qur'an dan lain-lain.[1][3][7]
Demikian kegiatan ilmiah yang dilakukan Imam Al-Haramain selama di Naisabur, sebelum kemudian dia memutuskan keluar meninggalkan tanah airnya untuk beberapa lama (7 atau 11 tahun).[1]
Keluar dan Kembalinya ke Naisabur
Imam Al-Haramain meninggalkan Naisabur sekitar tahun 443-447 H. yaitu saat terjadinya fitnah Al-Kunduri.[1] Dia pergi ke Mu'askar, Baghdad, Isfahan, Mekkah dan Madinah.[1][5][6] Di Baghdad dia belajar kepada Abu Muhamamd Al-Jauhari, di samping banyak menelaah buku karya Al-Baqillani tentang teologi; di Isfahan belajar pada Abu Nu'aim Al-Isfahani, penulis kitab terkenal, Hilyatul Auliya' ; Sekitar tahun 450 H. atau yang bertepatan dengan 1058 M. dia pergi ke Hijaz dan menetap Mekkah dan Madinah selama kurang lebih 4-5 tahun.[1][5][9] Pada tahun 455 H. atau yang bertepatan dengan tahun 1063 M. dia memutuskan untuk kembali lagi ke Naisabur, yang pada saat itu keadaan tanah airnya sudah mulai stabil; sesampainya, dia pun diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah An-Nidhamiyah, Naisabur.[1] Tugas tersebut diembannya hingga akhir hayatnya.[1]
Guru dan Murid-muridnya
Tercata ada banyak ulama besar yang menjadi guru Imam Al-Haramain, selain yang sudah disebutkan di atas, antara lain:
Sebagai seorang ulama besar yang diakui keilmuannya secara luas, ada beberapa gelar kehormatan yang diberikan oleh para ulama kepadanya, di antaranya: pertama, karena integritasnya yang tinggi, kepribadiannya yang luhur, dan keilmuannya yang luas, dia diberi gelar Abul Ma'ali; kedua, karena pada bagian perjalanan hidupnya dia mengajar, memberi fatwa dan berkarya di Mekkah dan Madinah selama 4 tahun dan menjadi imam masjid di sana, karena itulah kemudian diberi gelar Imam Al-Haramain, yang berarti imam dua tanah suci; ketiga, karena sosoknya yang dibanggakan oleh semua umat Islam, yang sekaligus dinilai sebagai kebaggaan bagi Islam, dia diberi gelar Fakhrul Islam, yang berarti kebanggaan Islam; dan lain-lain.[3][9]
Wafat
Setelah sekitar 23 tahun mengajar di Madrasah An-Nidhamiyah, Naisabur, kesehatan Imam Al-Haramain mulai menurun; beberapa kali dia jatuh sakit dan pada akhirnya dia diboyong ke Busytanikan, desa tempat kelahirannya, dan tidak lama kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, tepatnya pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Rabi'ul Akhir478 H. bertepatan dengan 20 Agustus1085 M.[1][4][5][8][9]
Kontribusi Keilmuan
Imam Al-Haramain adalah sosok yang produktif; dia menulis banyak karya dalam beragam bidang keilmuan, di antaranya:
Sebagai salah seorang tokoh Muslim, Imam Al-Haramain dikenal memiliki beberapa pemikiran yang menarik perhatian para pengkaji Islam untuk ditelusuri lebih jauh; termasuk kaitannya dengna posisinya dalam dunia teologi: apakah dia penganut paham Ahlussunnah wal Jana'ah|Sunni, ataukah yang lainnya.[1] Berikut sebagian pemikirannya yang melahirkan sikap kontroversial tersebut:
Mengenai alam, Imam Al-Haramain memiliki pandangan bahwa ia bersifat nisbi, yang berarti bahwa keberadaannya tergantung pada keberadaan Tuhan; sebuah pandangan yang tidak beda jauh pandangan beberapa ulama Mu'tazilah, 'Abdul Jabbar dan Abul Huzail.[1] Mengenai firman Tuhan, Imam Al-Haramain sependapat dengan pendapat Abul Hasan Al-Asy'ari, salah seorang tokoh Ahlussunnah wal Jama'ah|Sunni.[1] Begitu pula mengenai konsep melihat Tuhan, Imam Al-Haramain memiliki pandangan dengan Abul Hasan Al-Asy'ari bahwa Tuhan bisa dilihat pada hari kiamat, dan bahwasanya melihat Tuhan merupakan kenikmatan yang paling besar.[1]
Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia, Imam Al-Haramain menyatakan bahwa pada dasarnya manusia hanya memiliki kebebasan mengarahkan daya yang diberikan Tuhan kepadanya sesuai dengan kehendak dan kemauannya; dan bahwasanya secara hakikat manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya daya Tuhan.[1]
Keadilan Tuhan
Menurut Imam Al-Haramain, keadilan Tuhan adalah kebijaksanaannya untuk menyiksa orang-orang yang berdosa.[1] Dalam konteks ini, berarti Imam Al-Haramain memiliki konsep yang berbeda dengan Mu'tazilah yang menegaskan bahwa keadilan Tuhan adalah perbuatan-peruatan-Nya yang bertujuan untuk kepentingan dan kebaikan manusia; sekaligus juga berbeda dengan Ahlussunnah wal Jama'ah yang menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan adil adalah bahwa Tuhan boleh melakukan apapun sekehandak-Nya karena kehendak-Nya adalah mutlak.[1]
^ abcdef(Arab) Abu Ishaq Ibrahim Al-'Iraqi, Al-Muntakhab min Kitabis Siyaq, ed. Khalid Haidar (ttp: Darul Fikr, 1414 H.), hal. 301, 361, 492.
^ abcdefghij(Arab) Abul 'Abbas Ahmad Al-Barmaki, Wafayatul A'yan, ed. Ihsan 'Abbas (Beirut: Dar Shadir, 1900), III, hal. 167-169.
^ abcdefgh(Arab)Abu 'Abdillah Muhammad Adz-Dzahabi, Siyar A'lam An-Nubala' (Kairo: Darul Hadits, 1427 H./2006 M.), XIV, hal. 17.
^ abc(Arab) Shalahuddin Khalil, Al-Wafi bil Wafayat ed. Ahmad Al-Arnauth dan T. Mushthafa (Beirut: Dar Ihya'ut Turats, 1420 H./2000 M.), XIX, hal. 116.
^ abcdefghij(Arab) Khairuddin bin Mahmud Az-Zarkali, Al-A'lam (ttp: Darul 'ilm lil Malayin, cet. V, 2002), IV, hal. 146, 160.
^ abcde(Arab) Abul Hasan 'Ali ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, ed. Umar 'Abdussalam Tadmiri (Libanon-Beirut: Darul Kitab Al-'Arabi, 1417 H./1997 M.), VIII, hal. 190, 301.
^ ab(Arab)Abu 'Amr 'Utsman bin Shalah, Thabaqatul Fuqaha'usy Syafi'iyah, ed. Muhyiddin 'Ali Najib (Beirut: Darul Basya'irul Islamiyah, cet. I, 1992), I, hal. 520-521.