Ibnu Qutaibah
Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Maruzi al-Dinawari (lahir 213 H (ca 828) – wafat Rajab 276 H (889)) adalah seorang ahli sejarah politik.[1][2] Dia juga adalah seorang cendekiawan Islam dan pakar bahasa Arab serta pembela ahli hadits.[2][3][4] Para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya.[5] Menurut Ibnu Khallikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut An-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab tahun 313 H.[5] Dari keluarga berkebangsaan Persia yang menetap di Kota Marw, Ibnu Qutaibah tumbuh dan besar di Kota Baghdad.[1] Ibnu Qutaibah berguru kepada ulama-ulama besar, seperti Ibnu Rahawaih.[1] Karya tulisnya mencapai lebih dari lima puluh judul.[1] Di antaranya adalah Ta’wīl Musykil al-Qur’ān dalam masalah tafsir[1] dan al-Ma‘ārif yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab (terdiri dari empat volume).[6] Ibnu Qutaibah mendapat nisbah dengan kota Dinawar, tempat dia tinggal dalam waktu lama untuk menjabat sebagai hakim.[7] PemikiranIbnu Qutaibah hidup semasa dengan Al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.[4] Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.[4] Konsep tentang QadhaMenurut Ibnu Qutaibah, qadha ialah hukum, ciptaan, kepastian, dan penjelasan.[8] Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.[8] Qadha terbagi menjadi dua, yakni qadha mahtum (definitif)dan qadha ghairu mahtum (tidak definitif).[8] Qadha mahtum adalah sebuah takdir pasti yang tidak bisa diubah, Allah bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.[8] Hal ini misalnya disebutkan dalam Surat Al Kahfi ayat 29: Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas dalam bertindak dan menetukan nasibnya sendiri.[8] Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan mengubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.[8] Konsep IbadahIbnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah.[5] Baginya, jalan menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas shalat malam, puasa terus menerus, mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar.[5] Kemaslahatan agama terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.[5] Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan zakat, tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah.[5] Dengan kata lain, etika yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).[5] Konsep Al-IktiwaAl Iktiwa adalah memanaskan besi dengan menggunakan api dengan tujuan pengobatan.[9] Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam.[9] Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit.[9] Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan sehat.[9] Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.[9] Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.[9] Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan api untuk pengobatan pada anggota tubuh yang belum jelas sakitnya.[9] Konsep Penafsiran AlQuranIbnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya Takwil Musykilu AlQur'an tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio.[10] Ada hadits Nabi yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.[10] Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa sahabat dan para pembesar ulama' tabiin sangat takut untuk menafsirkan Al-Qur'an sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar keilmuwan dan ketaqwaannya sudah tinggi.[10] Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya.[10] Referensi
Daftar pustaka
|