Husein bin Abu Bakar Al-Habsyi
Husein bin Abu Bakar Al-Habsyi (21 April 1921 – 14 Januari 1994), biasa disebut Ustadz Husein Al-Habsyi, adalah ulama dan pendakwah asal Surabaya, Jawa Timur. Dia lebih dikenal sebagai pendiri YAPI (Yayasan Pesantren Islam) yang mengelola dua pesantren putra dan putri. Keduanya berlokasi di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, sekitar 40 kilometer dari pusat kota Surabaya.[1] Kehidupan awalLatar BelakangHusein merupakan keturunan dari Imam Ali Al-Uraidhi, ulama dan ahli hadis terpandang di Madinah yang merupakan putra dari Imam Ja’far Al-Shodiq, guru para imam mazhab sekaligus generasi keenam dari keturunan Nabi Muhammad. Ayahnya, Abu Bakar Al-Habsyi, merupakan kemenakan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, ulama besar Hadhramaut, Yaman, dan penggubah syair-syair maulid Nabi yang populer, Simthu Al-Durar. Tapi, sang ayah tak mendampinginya lama. Abu Bakar Al-Habsyi wafat di Garut, Jawa Barat, saat Husein belum genap setahun. Sejak itu, ia diasuh oleh paman dari garis ibu, Muhammad bin Salim Baraja, seorang guru di Surabaya. PendidikanHusein menempuh pendidikan dasar di Madrasah Al-Khoiriyah, salah satu lembaga pendidikan diniah tertua di Surabaya. Belajar di sekolah agama dan diasuh sejumlah ulama besar membuat Husein mampu membaca magnum opus Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, di usia 12 tahun. Di lembaga ini dia berguru kepada sejumlah ulama, seperti Al-Habib Abdul Qodir Bilfagih (ahli hadis), Syaikh Muhammad Robah Hassuna (asal Palestina), dan Sayyid Muntasir Al-Kattani (Maroko). Selesai belajar di Al-Khoiriyah, Husein sempat mengajar di almamaternya itu sebelum memutuskan pindah ke Johor, Malaysia, mengikuti kakaknya, Ali Al-Habsyi, pada 1936. Malaysia dan Singapura, 1936-1943Di Johor, selain mengajar di Madrasah Al-Aththas milik Al-Habib Hasan Al-Aththas, Husein juga berguru kepada Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, mufti Kerajaan Johor yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu fikihnya. Di Malaysia pula, Husein menikahi anak dari paman garis ayah pada 1939. Pada 1941, anak pertamanya lahir di Malaysia. Namun, pendudukan Inggris dan perang melawan Jepang di Semenanjung Malaysia membuat negeri itu menjadi medan perang terbuka dan suasana menjadi serba sulit. Akibat perang ini, anak pertamanya sakit dan meninggal di usia sekitar 7 bulan. Kondisi perang itu memaksa Husein dan keluarganya meninggalkan Malaysia dan menetap di Singapura. Di Singapura, Husein menjadi guru di sekolah milik filatropis terpandang, Sayyid Abdul Rahman Al-Junied. Pada 1943, anak keduanya lahir. Kembali ke IndonesiaTapi, pada tahun yang sama, Husein dan kakaknya, Ali, menderita infeksi paru-paru akut. Keluarga besarnya di Surabaya meminta kedua kakak-beradik itu pulang kampung untuk dirawat di sebuah sanatorium ternama milik Belanda di Batu, Malang (kini Rumah Sakit Karsa Husada). Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kakaknya tak terselamatkan dan meninggal dunia, sementara Husein bertahan hidup setelah menjalani operasi transplantasi paru-paru di sanatorium tersebut—disebut-sebut sebagai operasi transplantasi paru pertama di Indonesia. Aktivitas PolitikDi Surabaya pada masa itu, pergerakan nasional makin bergairah, terutama setelah kemenangan Jepang melawan Sekutu di sejumlah front Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Jepang membuka peluang bagi berdirinya sejumlah organisasi pergerakan demi membantunya perang melawan Sekutu. Di antara sekian banyak organisasi yang tumbuh masa itu, Husein memilih bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Organisasi ini memayungi empat organisasi massa Muslim terbesar: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Ketika Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu, Masyumi berperan dalam menggalang perjuangan kemerdekaan dengan mengeluarkan resolusi-resolusi jihad melawan kembalinya Belanda ke Tanah Air. Husein yang memandang bahwa Muslim juga harus berjuang di lapangan sosial-politik, dan bukan semata dakwah verbal, memutuskan bergabung dengan Masyumi di Surabaya. Dia melihat Masyumi merupakan wadah yang efektif mempersatukan bangsa, terutama umat Islam, dalam melawan agresi Belanda. Setelah Kemerdekaan 1945, Masyumi berubah menjadi partai politik. Husein sempat menduduki jabatan teras di pimpinan pusat partai sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia. Dia juga mewakili Masyumi di Konstituante hasil Pemilu 1955. Karena kemahirannya berbahasa asing dan pengalamannya di luar negeri, Husein mendapat kepercayaan Ketua Umum Partai Masyumi, Mohammad Natsir, untuk membantunya berkorespondensi dengan sejumlah cendekiawan dan aktivis Islam internasional, seperti Syekh Abul Hasan Al-Nadwi dan Abul A’la Al-Maududi. Hubungan Husein dan Natsir melampaui soal-soal kepartaian. Keduanya bersahabat cukup dekat. Hingga Husein menamai anak keempatnya dengan “Muhammad Nasir”. Namun, keduanya harus berpisah jalan perjuangan ketika Natsir menentang pemerintahan Presiden Sukarno dengan terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir 1950-an. Menurut Husein, langkah Natsir mengancam persatuan bangsa dan bahkan bisa mengobarkan perang di antara umat Islam. Husein akhirnya memutuskan keluar dari Partai Masyumi, yang dia nilai mulai lebih mengutamakan kepentingan politik ketimbang bangsa dan umat. Partai Masyumi kemudian dibubarkan Presiden Sukarno pada 1960 karena sejumlah tokohnya turut terlibat dalam PRRI. Meskipun demikian, Husein tetap menjaga persabatannya dengan Natsir. Ketika Natsir dijebloskan ke dalam penjara di Malang oleh rezim Presiden Sukarno, Husein tetap menjenguk sahabatnya itu meskipun harus menyelinap. Natsir di kemudian hari juga membantu Husein dengan menuliskan surat rekomendasi untuk berkomunikasi dan beraudiensi dengan tokoh-tokoh Islam internasional. Pada akhir 1963-an hingga Orde Baru, Husein memusatkan perhatiannya di bidang penerbitan dan pendidikan. Selain karena saran sejumlah ulama, seperti Al-Habib Ali Al-Habsyi Kwitang dan Al-Habib Ali bin Husain Al-Aththas Bungur, Husein juga merasa politik praktis terlalu kental dengan semangat kepentingan kelompok daripada kepentingan bangsa dan umat. Husein kemudian mendirikan Yayasan Penerbitan Islam bersama sejumlah aktivis muda seperti Omar Hashim. Di yayasan ini, Husein menerjemahkan Injil Barnabas (injil non-kanonik yang dianggap sesuai dengan ajaran Islam tentang Yesus) ke dalam bahasa Indonesia bersama Abu Bakar Basymeleh dan menerbitkan karya-karya ilmiah keislaman serta Kristologi. Melalui yayasan ini, Husein juga menerbitkan sejumlah karya kritis yang membedah pemikiran Ahmad Hassan, ulama sekaligus guru Mohammad Natsir. Dalam periode ini, Husein berhubungan dengan tokoh-tokoh internasional dengan saling bersurat dan kemudian bertemu. Salah satunya adalah juara dunia dan petinju legendaris Amerika Serikat, Muhammad Ali. Ketika Ali ditahan, dicabut seluruh gelar tinjunya, dan dilarang bertanding karena menolak dikirim ke Vietnam untuk berperang pada 1967, Husein menyuratinya dan memberinya dukungan. Saat kemudian berkunjung ke Indonesia pada 1973, Ali secara khusus menyambangi Husein. Selain Ali, Husein juga berkorespondensi dengan Sayyid Muhammad al-Maliki, Syekh Muhammad Ghazali, Yusuf Qardhawi dan Ayatullah Khomeini.
Sikap itu tak urung membenturkannya dengan penguasa. Puncaknya, Husein sempat dijebloskan ke dalam penjara beberapa bulan oleh rezim Presiden Soeharto pada 1976 dengan alasan menolak kebijakan asas tunggal. Kritiknya terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru kemudian juga menyebabkannya harus kembali mendekam di penjara pada 1985. Sejak memutuskan tak aktif dalam politik praktis, Husein bertekad untuk terjun dan fokus dalam bidang keilmuan dan pendidikan. Selain mendirikan sebuah penerbitan buku yang berisi kritik terhadap Barat, paham-paham Islam radikal dan heretik, Husein pun aktif mengajar dan berceramah. Majelis-majelis taklim dan khotbah-khotbahnya digemari kalangan muda di berbagai daerah, khususnya di Jawa Timur. Karena alasan itulah, sejumlah pihak memintanya untuk memajukan sebuah lembaga pendidikan Islam tua di Bondowoso, Jawa Timur. Sesampainya di kota tersebut, Husein menyatakan ingin mempersatukan dua kelompok Islam yang saat itu selalu bersitegang. Dia pun menerima santri-santri muda dari kalangan Alawiyyin (keturunan Nabi Muhammad) dan non-Alawiyyin dan meneguhkan persamaan di antara mereka. Aspirasi ini ternyata kurang diapresiasi oleh beberapa tokoh populer di kota tersebut dan wilayah sekitarnya. Mereka beranggapan perubahan tradisi dan cara yang hendak diterapkkan Husein bukanlah solusi yang tepat dan bermanfaat. Maka, Husein meninggalkan Bondowoso dengan tekad melanjutkan misinya membangun lembaga Islam yang inklusif, tanpa membeda-bedakan latar belakang aliran dan golongan. Aktivitas PendidikanPada 1973, Husein mulai merintis sebuah lembaga pendidikan Islam yang telah lama diidam-idamkan, yakni lembaga pendidikan Islam yang toleran dan inklusif terhadap berbagai mazhab pemikiran Islam. Husein memulai upaya konkretnya di kota Bondowoso. Namun dia harus mengalami sejumlah kendala dan kesulitan di sana, hingga dia berpindah ke Bangil. Di kota inilah Husein pada 1976 berhasil mewujudkan cita-citanya mendirikan lembaga pendidikan Islam yang inklusif tersebut. Dari seorang dermawan Fathimah Basyaeb, Husein mendapatkan wakaf tanah dan sedikit modal awal. Dengan bantuan beberapa dermawan lainnya, Husein membangun pondok pesantren yang kini dikenal dengan nama “YAPI (Yayasan Pesantren Islam)”. Di YAPI Bangil, Husein kemudian benar-benar merealisasikan aspirasinya untuk membangun pola dan materi pendidikan serta pembelajaran Islam yang inklusif, terbuka terhadap semua aliran dan golongan Islam, tanpa terkecuali. Di pondok ini, ada sejumlah guru salafi yang mengajar anak-anak didik Syiah, dan sebaliknya, persis seperti yang telah lama dia idam-idamkan Selain mengawasi perkembangan pesantren secara umum, Husein juga terjun langsung mengajar. Selain materi-materi keislaman pada umumnya, Husein mengajarkan materi khas yang dia beri nama “Tauiyyah” (Penyadaran). Materi ini berisi wawasan keislamaan inklusif seperti uraian tentang mazhab-mazhab Islam, wawasan nasional dan internasional, seperti kritik sosial-politik terhadap kebijakan pemerintah, situasi terkini dunia Muslim, dan ideologi-ideologi Barat, seperti neokolonialisme, kapitalisme, dan liberalisme dan berbagai wejangan moral yang berasal dari pengalaman hidupnya yang panjang. Pada 14 Januari 1994, di usia 72 tahun, Ustadz Husein Al-Habsyi tutup usia setelah menderita demam sehari sebelumnya. Dia meninggalkan tiga istri dan 15 anak, tiga di antaranya meninggal saat Husein masih hidup. Semasa hidupnya, Husein Al-Habsyi dikenal sebagai pendakwah yang selalu mendorong persatuan umat Islam dan toleransi lintas-mazhab. Bagi Husein, muslim harus berpikir bebas, sehingga tak mudah dikotak-kotakkan oleh paham dan aliran yang berpandangan sempit. Pandangan dan sikap ini membuatnya tak jarang menghadapi teror dan fitnah dari kalangan ulama berpikiran sempit, umat yang terprovokasi, dan penguasa. Karya-karya
Pranala luar
|