Gelanggang Seniman Merdeka
Gelanggang Seniman Merdeka adalah nama perkumpulan seniman yang didirikan oleh Chairil Anwar beserta kawan-kawannya, yaitu para sastrawan dan juga seniman yang kemudian biasa disebut sebagai Angkatan 45.[1] Kecuali para sastrawan juga menghimpun para pelukis, pemusik, dan seniman lainnya seperti Haruddin M.S., Mochtar Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, Asrul Sani, Rifai Apin dan lain-lain.[1] Sebagai landasan falsafah, mereka menyusun sebuah surat Kepercayaan Gelanggang, yang merupakan rumusan sikap hidup para seniman Gelanggang.[1] Konsep ini disusun oleh Asrul Sani.[1] SejarahGelanggang Seniman Merdeka muncul sebagai bagian dari dinamika sastra Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Didirikan oleh Chairil Anwar, seorang penyair dan penulis berpengaruh asal Medan, Sumatera Utara, yang lahir pada 26 Juli 1922, kelompok ini dikenal dengan kontribusinya yang signifikan dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Chairil Anwar, yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasan dan bakat menulis, menguasai tiga bahasa asing—Belanda, Inggris, dan Jerman—yang mempengaruhi karya-karyanya. Penguasaan bahasa ini memungkinkan Chairil untuk menyadur dan menerjemahkan karya-karya sastra dari penulis dunia seperti André Gide, John Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, dan banyak lainnya.[2] Pada tahun 1949, Rosihan Anwar, melalui majalah Siasat, memperkenalkan istilah "angkatan 45" untuk generasi ini. Istilah lain yang pernah diajukan mencakup Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang. Konsep kepengaranganan mereka dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang dikenal sebagai Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG), yang dipublikasikan di Majalah Siasat pada 23 Oktober 1950.[2] Maman Mahayana mencatat bahwa kemunculan SKG sebagai respons terhadap publikasi Mukadiman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950, didorong oleh perbedaan ideologi antara Gelanggang Seniman Merdeka yang menganut Humanisme Universal dan Lekra yang berpandangan Realisme Sosial. Reaksi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan Lekra yang pesat dan bergabungnya anggota-anggota penting Gelanggang Seniman Merdeka seperti Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan Rivai Avin, yang semuanya juga merupakan pendiri Gelanggang Seniman Merdeka.[2] Motivasi Lahirnya Gelanggang Seniman MerdekaLahirnya Gelanggang Seniman Merdeka memiliki motivasi ketika mendirikan perkumpulan ini, yaitu yang melatarbelakangi adalah idealisme seniman angkatan '45 untuk lepas dari ikatan-ikatan atau pengaruh-pengaruh dari angkatan sebelumnya dan juga pihak penguasa yang mereka anggap munafik dan memasung kreativitas seni.[3] Mereka menentang chauvinisme dan menganut paham bahwa seni itu bersifat universal, tidak terkotak-kotak.[3] Puncak kreativitas mereka adalah diproklamasikannya Surat Kepercayaan Gelanggang.[3] Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan suatu pernyataan sikap dari para pengarang yang tergabung dalam “Gelanggang Seniman Merdeka”.[4] Pernyataan para seniman tersebut untuk pertama kali di muat dalam gelanggang majalah Siasat pada tanggal 23 Oktober 1950.[4] Isi pernyataan itu antara lain sebagai berikut: Ciri keindonesiaan mereka ditandai oleh wujud pernyataan hati dan pikiran mereka.[4] Mereka tidak akan memberi suatu ikatan untuk kebudayaan Indonesia, tetapi pemikiran suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat.[4] Rujukan
|