Farwiza Farhan (lahir 1 Mei 1986) adalah aktivis lingkungan asal Aceh yang namanya masuk ke dalam jajaran “sosok perempuan berpengaruh di dunia” versi Majalah TIME, pada TIME 100 Next 2022[1] kategori leaders. Pada 2024, Farwiza menerima penghargaan Ragmon Magsaysay Award untuk kategori "Emergent Leadership".[2]
Namanya mulai dikenal luas setelah memperoleh Whitley Award 2016, yang memberikan penghargaan atas usaha Farwiza mempertahankan keutuhan Kawasan Ekosistem Leuser. Salah satu tokoh yang bekerjasama dengannya adalah Leonardo DiCaprio. Mereka bekerja sama dalam pembuatan film dokumenter lingkungan hidup berjudul Before the Flood.[3] Foto Farwiza bersama DiCaprio yang berkunjung ke Aceh pada 2017 ramai menghiasi media massa di tanah air.
Riwayat Hidup
Farwiza, sulung dari lima bersaudara, adalah putri pasangan politikus-teknokrat Dr. Ahmad Farhan Hamid dan Ir. Ferry Soraya, M.Si. Dilahirkan di Banda Aceh pada 1 Mei 1986, Farwiza menjalani masa kecil di ibukota provinsi Aceh itu. Dia dan adiknya, Farhaniza, terbiasa mengikuti ibunya mengajar atau melakukan penelitian dan kerja lapangan. Kedua orangtua Farwiza adalah akademisi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Ayahnya mengajar di Jurusan Farmasi, sementara sang ibu mengajar di Teknik Kimia.
Persentuhan pertama Farwiza dengan isu alam dan lingkungan terjadi secara digital, melalui program BBC “Planet Earth”. Rangkaian program televisi Britania ini mendorongnya mencintai laut dan faunanya.[4]
Pendidikan
Farwiza menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 21, dilanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 di Banda Aceh. Ketika Farwiza lulus MTsN, ayahnya didapuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dari Partai Amanat Nasional. Farwiza sekeluarga pindah ke Jakarta. Karena itu tingkat SMA ditempuh Wiza di SMA Madania di Bogor. Selepas SMA, Farwiza berkuliah di Jurusan Biologi Kelautan Universitas Sains Malaysia.
Gelar Master di bidang Manajemen Lingkungan diperolehnya dari University of Queensland, Australia. Saat ini Wiza, nama panggilannya, tercatat sebagai kandidat doktor di Departemen Antropologi Kultural dan Studi Pembangunan di Radboud Universiteit, Nijmegen, Belanda.[5]
Selain itu, dia juga memiliki sertifikat resmi sebagai instruktur scuba diving, kegiatan yang digelutinya sejak berusia 18 tahun.
Karier di bidang lingkungan
Farwiza bersentuhan secara nyata dengan isu lingkungan hidup saat kembali ke Aceh setelah memperoleh gelar master. Dia bergabung dengan BPKEL (Badan Pengelolaan Kawasan Leuser), yang saat itu (tahun 2010) memiliki otoritas mengelola Kawasan Ekosistem Leuser.
Ketika BPKEL dibubarkan oleh Gubernur Zaini Abdullah pada tahun 2012, Farwiza dan beberapa rekannya mantan pekerja di BPKEL mendirikan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).[6]
HAkA memiliki visi-misi mengubah paradigma menyoal isu lingkungan. Kalau selama ini perlindungan lingkungan dan pemenuhan tuntutan ekonomi selalu dianggap bertentangan, Farwiza meyakini bahwa kedua hal tersebut justru dapat saling mendukung dan berkesinambungan. Dia berkonsentrasi pada usaha-usaha melawan eksploitasi dan ekspansi yang mengancam ekosistem Leuser. Fokus utamanya adalah kebijakan serta advokasi, dan mendorong keterlibatan perempuan dalam penyelamatan lingkungan.[6]
Di awal kehadirannya, HAkA menginisiasi “citizens lawsuits” terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kawasan Ekosistem Leuser. Kesembilan penuntut merupakan anggota dan tetua masyarakat yang tinggal dan berkegiatan di seputar KEL.[7]
Pada 2016, Farwiza meraih Whitley Award dari Whitley Fund for Nature. Ini adalah penghargaan internasional di bidang lingkungan hidup yang kerap disebut sebagai The Green Oscar.[2] Penghargaan diserahkan oleh patron Whitley Fund for Nature, HRH Putri Anne, putri Ratu Elizabeth II. Pada upacara penganugerahan award ini Farwiza berjumpa dengan “pahlawan masa kecil”nya, Sir David Attenborough. Sir David adalah penyiar, penulis, dan ahli biologi. Suaranya banyak menjadi pengisi suara dari film-film dokumenter BBC sejak 1960-an.[7]
Kerja Farwiza lainnya bersama Yayasan HAkA yang dipimpinnya adalah mendorong bangkitnya perempuan ranger penjaga hutan di kawasan desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah. Melalui skema perhutanan desa, kelompok perempuan ranger ini menggagas restorasi serta perlindungan hutan dan mata air, dan kegiatan patroli ranger mencegah pembalakan liar. Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia 5 Juni 2023 lalu Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru diganjar penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat. Penghargaan diserahkan langsung di Jakarta oleh Menteri KLHK RI Dr. Ir. SIti Nurbaya Bakar.