Eulis Atjih
Eulis Atjih adalah sebuah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1927. Ini merupakan film fitur kedua yang diproduksi di negara ini setelah Loetoeng Kasaroeng tahun 1926. Film bisu ini mengisahkan kehidupan sebuah keluarga pribumi Indonesia yang jatuh miskin akibat sang suami berfoya-foya. Eulis Atjih sukses merebut perhatian di Hindia Belanda, tetapi gagal di luar negeri. PremisSeorang pria pribumi Indonesia meninggalkan istri mudanya yang cantik, Eulis Atjih, dan anaknya, untuk hidup berfoya-foya. Istrinya jatuh miskin dan setelah pria tersebut pulang sekian tahun kemudian dalam keadaan melarat.[1] ProduksiEulis Atjih diproduksi oleh Java Film Co., produser film pertama di Hindia Belanda, Loetoeng Kasaroeng, pada tahun 1926. Film sebelumnya meninggalkan Java Film Coy dalam keadaan nyaris bangkrut setelah filmnya gagal di pasaran. Karena itu, perusahaan ini mencari bantuan dana untuk pembuatan Eulis Atjih.[2] Film ini disutradarai G. Kruger[3] dan ditulis oleh Yuhana.[4] Film ini menampilkan aktor-aktor pribumi Indonesia, termasuk Arsad dan Soekria. Eulis Atjih merupakan film bisu hitam putih.[1] Eulis Atjih adalah film kedua yang melibatkan orang pribumi dalam pemeranan tokohnya dan film fitur kedua yang diproduksi di negara ini.[5] Peran pribumi sangat ditekankan dalam pemasaran film ini. Poster penayangan di Orient Theatre Surabaya menulis bahwa kualitas pemeran pribumi di film ini setara dengan pemeran asal Amerika atau Eropa.[6] Film ini sudah memakai nama "Indonesia"; nama tersebut baru dijadikan nama resmi kepulauan ini pada Sumpah Pemuda tahun 1928.[2] TemaSejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menulis bahwa film ini mendidik orang-orang Belanda tentang ritual pribumi Indonesia, seperti pemakaman dan pernikahan, sekaligus mengirimkan pesan kepada penonton pribumi bahwa berfoya-foya akan berujung pada kemelaratan.[7] Rilis dan tanggapanEulis Atjih dirilis pada tahun 1927 dan ditayangkan di Bandung bulan Agustus dan Surabaya bulan September.[2] Film ini sukses di pasaran, terutama di kalangan etnis Cina. Surat kabar Pewarta Soerabaja menulis bahwa aktris pemeran Eulis "cantik saat masih hidup senang dan air mukanya berubah seperti orang desa sesudah jatuh miskin."[a][7] Di Surabaya, film ini diiringi musik grup keroncong pimpinan Tuan Kayoon.[7] Untuk versi internasionalnya, Java Film Co. dan Kruger menekankan aspek-aspek etnografisnya. Film ini diputar di Singapura, sayangnya tidak sesukses di dalam negeri.[4] Lihat pulaCatatan
Referensi
Pranala luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia