Bintang Mahaputera Pratama Keppres No.064/TK/TH.1975, 9 Agustus 1975.
Emma Poeradiredja atau Raden Rachmat’ulhadiah Poeradiredja (13 Agustus 1902 – 19 April 1976) adalah salah satu pejuang dan tokoh pergerakan perempuan Sunda.
Latar belakang
Keluarga
Nama sebenarnya Emma Poeradiredja ialah Nyi Raden Rachmat’ulhadiah Poeradiredja, akan tetapi nama ini tidak pernah dipakai dan tidak begitu populer. Emma Poeradiredja lahir dari pasangan Raden Kardata Poeradiredja (9 Maret 1880 – 28 Februari 1968) dan Nyi Raden Siti Djariah binti Sastrasoewega (16 Juni 1885 – 30 Mei 1975) yang menikah pada tanggal 12 April 1901. Dari perkawinan ini lahir Emma Poeradiredja, Raden Iman Kurnaeni Ontario Poeradiredja (Kamis 6 Oktober 1904 jam 10.30 BBWI), Raden Adil Poeradiredja (Senin tanggal 22 Juli 1907), Raden Haley Koesna Poeradiredja (Kamis, 16 Desember 1909 jam 05.40 BBWI).
Pendidikan
Emma tamat dari HIS (Hollandsche Inlandsche School) Tasikmalaya pada tahun 1917. Setelah itu melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pada waktu itu belum begitu banyak kaum pribumi yang dapat memperoleh pendidikan apalagi melanjutkan ke sekolah lanjutan yang lebih tinggi dengan bahasa Belanda. Emma termasuk wanita pertama melanjutkan ke MULO. Kemudian Emma pindah ke MULO Salemba di Batavia, tamat tahun 1921. Pada 1957 dia memperoleh Certificate of Achievement di bidang Cooperative Administration dari School for Workers, University of Wisconsin, Amerika Serikat.
Tahun 1927, Emma bersama Artini Djojopuspito, Sumardjo, Ayati, Emma Sumanegara, Suhara, Kasiah, Kartimi, dan Rusiah mendirikan Dameskring. Anggota-anggota Dameskring ini adalah perempuan muda terpelajar berasal dari perbagai suku bangsa di Bandung. Organisasi ini bertujuan menyiapkan para anggotanya melatih dan mengembangkan diri agar dapat menyebarluaskan cita-cita persatuan Indonesia dengan bermacam-macam usaha, misalnya masuk menjadi organisasi wanita yang sudah ada atau mendirikan organisasi wanita. [note 4] Kemudian Emma ikut pula aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang diadakan di Batavia pada tahun 1928.[1]
Pada tanggal 30 April 1930 didirikanlah Pasundan Istri (PASI) untuk menampung aspirasi kaum perempuan. Sejak berdirinya, 1930-1970, Emma memimpin PASI sebagai Ketua Umum dan Penasihat Organisasi sampai akhir hayat. Emma terpilih sebagai Ketua Umum PASI kurang lebih 40 tahun karena keteguhan, dedikasi, dan perjuangan. Pengaruh besarnya kepercayaan masyarakat dan kaum perempuan Pasundan atau Jawa Barat kepada Emma salah satunya dengan berkembangnya Cabang PASI di setiap wilayah Tanah Priangan. Di kemudian hari Emma terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan RakyatRepublik Indonesia (DPR/MPR-RI).
Gemeenteraad yakni suatu badan Dewan Perwakilan yang pada zaman pemerintahan kolonial merupakan suatu badan yang sangat penting artinya dalam memperjuangkan nasib dan menyuarakan kepentingan rakyat atau paling sedikit golongan yang diwakilinya. Bandung sebagai wakil dari Paguyuban Pasundan dan Pasundan Istri.
Masa-masa menjelang runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda dan menjelang penyerbuan tentara Jepang ke Indonesia, Emma sangat giat dalam gerakan Indonesia Berparlemen yang dipimpin dan dipelopori oleh Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Emma sering pula berbicara dalam rapat-rapat umum untuk memprotes perlakuan majikan-majikan terhadap pekerja wanita, juga memprotes terhadap rencana perkawinan terdaftar yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selain giat dalam gerakan politik, Emma dikenal sebagai pekerja sosial yang membimbing dan mendidik masyarakat. Emma mendirikan dan menjadi Ketua Pengurus Panti Asuhan Bandung, mendirikan rumah untuk para perempuan tua atau panti jompo, ikut dalam gerakan rintisan Palang Merah Indonesia dengan menjadi perawat sekaligus pengurus, pemberantasan pelacuran, dan mencari solusi meringankan beban rakyat yang ditimpa bencana.
Jaman Jepang
Aktivitas organisasi dan politik dibatasi. Semua partai politik yang pada masa penjajahan Belanda masih diperbolehkan mengadakan kegiatan meski dalam pengawasan yang ketat dan keras, pada zaman pendudukan Jepang dilarang sama sekali dan hanya diijinkan aktif di organisasi yang diperkenankan Jepang. Emma aktif dalam gerakan Puteri dan Fuzinkai sebagai wakil ketua di Jawa dan Wakil Ketua Fuzinkai di kota Bandung.
Pasca Kemerdekaan
Pasca-kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Emma segera mengadakan usaha pendekatan kepada orang-orang yang mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama, yakni membela Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia mengadakan rapat di Gedung Nasional dengan para pemuda di mana hadir antara lain A.H. Nasution. Pada waktu terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, Emma turut aktif membantu Palang Merah Indonesia, di samping menjadi pegawai Jawatan Kereta Api Republik Indonesia. Setelah Bandung diduduki oleh Belanda 19 Desember 1948, Emma mengikuti saran kantor pusat Balai Besar Jawatan Kereta Api untuk mengungsi ke Cisurupan, kota kecil di daerah pegunungan selatan kota Garut.
Kepindahan Emma dan orang-orang atau pegawai yang tetap setia kepada Republik Indonesia ini merupakan "noodformasi" atau formasi darurat dalam Jawatan Kereta Api. Emma dan kawan-kawan pindah ke Gombong, Jawa Tengah, dan akhirnya mengungsi di kantor Balai Besar Jawatan Kereta Api Republik Indonesia, Yogyakarta, yang pada waktu itu menjadi Ibu Kota sementara Republik Indonesia. Pada waktu berada di Jawa Tengah, sekitar Agustus1949, Emma ditunjuk sebagai utusan Partai Kebangsaan Indonesia Wanita ke Yogyakarta mengikuti Permusyawaratan Wanita seluruh Indonesia.
Setelah menduduki Yogyakarta, maka pada awal tahun 1949 banyaklah pejabat pemimpin Balai Besar Jawatan Kereta Api Republik Indonesia serta pegawai-pegawai yang lainnya yang diangkut kembali oleh Belanda ke Bandung untuk dipekerjakan pada Hoofaburean Staats Spoorwegen (SS) yang sekarang menjadi Balai Besar Perusahaan Jawatan Kereta Api Bandung. Emma termasuk orang-orang yang menolak kerjasama dan ditahan oleh Belanda. Pada masa Revolusi fisik, di kalangan kaum buruh kereta api, terutama di bagian lintas, banyak jatuh korban, untuk memberi pertolongan kepada mereka dan keluarga mereka, maka pada bulan Mei 1949, oleh Pengurus Besar Kereta Api didirikan sebuah “Stichting” atau yayasan yang disebut “Stichting Ongevallenfonds Spoorwegpersoneel” (SOS) atau Yayasan Fonds Kecelakaan Pegawai Kereta Api (YFKPKA) dan ditunjuk sebagai Direktur atau Pemimpin Yayasan ini ialah Emma. Kegiatan yayasan ini berlaku sampai tanggal 1 Januari 1949 dan sangat terbatas ruang geraknya. Yayasan ini hanya dapat memberikan uang sumbangan kematian atau uang sumbangan untuk orang yang cacat-tetap akibat terjadinya kecelakaan yang bukan karena kesalahan atau perbuatan orang itu sendiri.
Emma dikenakan tahanan rumah (huis arrest) oleh Belanda di Bandung. Pada saat itu Emma Poeradiredja ditawan Belanda setelah diciduk di kediaman Ir. Djuanda di Yogyakarta pada waktu Clash II (Agresi Militer Belanda II) tahun 1948. 18 Pebruari 1949 ia bersama pejuang lainnya dibawa ke Jakarta dan dikenakan status sebagai tahanan kota (stadsarrest) dan baru dibebaskan pada bulan Mei 1949.
Setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui oleh dunia pada akhir tahun 1949, maka kegiatan dan usaha SOS atau YFKPKA tidak sesuai lagi dengan keadaan dan suasana pada waktu itu. Pada bulan Juli 1950 nama yayasan itu diubah menjadi Yayasan Kematian Warga Kereta Api (YKWKA) Kegiatan yayasan yang baru ini ialah melanjutkan kegiatan SOS atau YFKPKA yang lama ditambah dan diperluas lagi dengan kegiatan-kegiatan antara lain berupa: Memberikan uang sumbangan dalam hal kematian biasa pegawai atau anggota, memberikan uang sumbangan dalam hal kematian isteri pegawai atau anggota, memberikan uang sumbangan dalam hal kematian anak pegawai atau anggota. Pada masa transisi ini jabatan Direktur atau Pemimpin YKWKA yang baru, dipilih dan ditunjuk Emma sendiri.
Tahun 1952, Emma terpilih sebagai Wakil Kongres Wanita Indonesia pada Seminar tentang “The Status of Women in South East Asia”. Tahun 1956, didirikanlah klinik Ibu Emma oleh Badan Sosial Pusat (BSP). Klinik ini terletak di Jalan Sumatera No. 46-48, Bandung. Emma ditunjuk sebagai Ketua Pengurus klinik tersebut, di samping jabatannya sebagai Direktur atau Pemimpin YKWKA. Maret 1957 oleh Dewan Pimpinan BSP Emma dikirim ke Amerika Serikat untuk mengadakan peninjauan dan latihan kerja dibidang kesejahteraan sosial untuk selama enam bulan. Pada tahun 1960/1961 disamping sebagai Pemimpin atau Direktur YKWKA ia ditunjuk pula sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan BSP. 25 Oktober 1967, di Bandung berdirilah Yayasan Bina Kerta Raharja Karyawan Kereta Api (YBKRKA), Emma ditunjuk sebagai direktur merangkap Kepala Bagian Guna Raharja sampai wafat.
Emma Poeradiredja seorang pengabdi dan pejuang bangsanya yang rajin, tekun, dan penuh dedikasi. Sebelum jatuh sakit pada tanggal 13 April 1976 dan dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 16 April 1976, Emma Poeradiredja masih sempat menghadiri Kongres Ikatan Wanita Kereta Api (IWKA) yang ke VIII, Yogyakarta, 5-7 April 1976. Emma wafat pada tanggal 19 April 1976, jam 13.20 di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Dikebumikan pada tanggal 20 April 1976 di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, dengan upacara kenegaraan.
^Kongres Perempuan Indonesia, Bandung, Juli 1938. Kongres dikuti berbagai perkumpulan perempuan, di antaranya Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Katolik dan Wanita Taman Siswa. Kongres diketuai oleh Ny. Emma Poeradiredja. Isu yang dibahas dalam Kongres antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih. Saat itu pemerintah kolonial telah memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya adalah Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad) di berbagai daerah. Akan tetapi karena perempuan belum mempunyai hak pilih maka perempuan menuntut supaya mereka pun diberikan hak memilih. Kongres memutuskan tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud dalam keputusan Kongres tahun 1935; membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak yang beragama Islam.
^Anggotanya terdiri dari orang yakni Ny. Emma Poeradiredja, Ny. Artini Djojopuspito, Ny. Sumardjo, Nona Ayati, Ny. Emma Sumanegara, Nona Suhara, Nona Kasiah, Nona Kartimi, Nona Rusiah. Ketuanya secara bergiliran adalah Ny. Artini Djojopoespito, Ny. Emma Poeradiredja, Ny. Emma Sumanegara, Nona Rusiah (yang kemudian menjadi Ny. Mr. Assaat, mantan Presiden Republik Indonesia Yogya), Nona Ayati (kemudian menjadi Ny. Siditho), Nona Mimi Kartimi (kemudian menjadi Ny. Kridoharsojo), Ny. Soemardjo dan lain-lainnya.