Efek pemanasan global di Indonesia
Efek pemanasan global di Indonesia memiliki dampak komprehensif bagi Indonesia di berbagai sektor bidang, misalnya berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi. Pemanasan global terjadi ketika kondisi suhu rata-rata atmosfer, laut, dan permukaan bumi mengalami peningkatan secara intensif. Menurut data dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 0.18 C (1.33 0.32 F) selama seratus tahun terakhir. Berdasarkan hasil riset para ilmuwan, suhu rata-rata bumi dapat meningkat antara 1,4 hingga 5,8 °C pada tahun 2100. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke 20 yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca.[1][2] Proses Terjadinya Pemanasan GlobalAwal terjadinya pemanasan global ditandai dengan adanya sinar matahari yang masuk ke atmosfer bumi. Sinar matahari tersebut akan melewati lapisan gas atmosfer bumi. Lalu setelah sampai pada permukaan bumi, panas dan cahaya yang dihasilkan tersebut akan diserap oleh seluruh ekosistem yang ada di Bumi. Apabila cahaya dan panas dari sinar matahari tersebut sisa, maka akan dipantulkan kembali ke luar angkasa. Akan tetapi, sebagian dari cahaya dan panas matahari terperangkap pada atmosfer bumi dan dipantulkan lagi menuju ke bumi. Proses tersebut terjadi karena adanya produksi karbon dioksida yang membuat cahaya matahari terperangkap pada atmosfer bumi.[2] Tingkat karbon dioksida pra-industri (sebelum dimulainya Revolusi Industri) adalah sekitar 280 bagian per juta volume (ppmv), dan tingkat saat ini lebih besar dari 380 ppmv dan meningkat pada tingkat 1,9 ppm tahun-1 sejak tahun 2000 Konsentrasi global CO2 di atmosfer kita saat ini jauh melebihi kisaran alami selama 650.000 tahun terakhir hingga 180 hingga 300 ppmv. Menurut Laporan Khusus IPCC tentang Skenario Emisi (SRES), pada akhir abad ke-21, kita dapat mengharapkan untuk melihat konsentrasi karbon dioksida di mana saja dari 490 hingga 1260 ppm (75-350% di atas konsentrasi pra-industri).[3] Rangkaian proses tersebut yang dikenal sebagai efek rumah kaca yang dewasa ini telah banyak mencairkan bongkahan es di kutub utara dan kutub selatan. Apabila kita hanya membiarkan pemanasan global terjadi secara terus menerus, maka kerusakan bumi yang sangat parah tinggal menunggu waktu saja.[2] Latar BelakangPemanasan Global yang terjadi di Indonesia berdampak serius pada perubahan iklim yang tidak menentu. Misalnya perubahan awal musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan data dari NOAA, tercatat perbedaan Panjang musim kemarau pada tahun 1997 dan tahun 2010. Panjang musim kemarau pada tahun 2010 semakin singkat dan semakin sulit untuk diprediksi.[4] Berdasarkan data BMKG, pemanasan global juga mempengaruhi kenaikan suhu muka laut di Indonesia. Terdapat perbedaan yang signifikan antara suhu muka laut pada tahun 2010 dan tahun 1998 dan kenaikan suhu rata-rata di kota-kota besar di Indonesia misalnya Ibukota Jakarta pada tahun 1973-2009.[5] Sektor perikanan sangat rentan menjadi korban dari dampak pemanasan global. Sebagai negara maritim, tentu hal ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan di Indonesia. Belum lagi bencana yang akan ditimbulkan oleh Pemanasan Global di Indonesia. Pada periode 1981-2010 suhu udara rata-rata bulan September di Indonesia(rata-rata normal) sebesar 26.9 °C. Tahun 2019, suhu udara rata-rata bulan September sebesar 27.0 °C sehingga anomali peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 0.1 °C. Anomali suhu udara rata-rata bulan September 2019 yang diamati di seluruh stasiun pengamatan BMKG di Indonesia menunjukkan nilai yang bervariasi. Anomali suhu udara yaitu perbandingan suhu udara pada tahun tertentu, relatif terhadap periode normal, dalam hal ini adalah rentang waktu tahun 1981-2010. Data observasi dari stasiun-stasiun BMKG dalam setiap provinsi di rata-ratakan sebagai nilai anomali suhu provinsi masing-masing. Hasilnya menunjukkan bahwa di wilayah Indonesia pada tahun 2016 merupakan tahun ter panas (0.8 °C dibandingkan dengan periode normal 1981-2010), disusul oleh tahun 2015 di peringkat kedua (0.5 °C dibandingkan dengan periode normal 1981-2010). Tahun 2018 sendiri menempati urutan ketiga dengan anomali sebesar 0.46 °C dibandingkan dengan periode normal 1981-2010. Sebagai perbandingan, organisasi meteorologi dunia (WMO) secara global menempatkan tahun 2016 sebagai tahun ter panas yang pernah dicatat (1.2 °C dibandingkan era pra industri). Disusul dengan tahun 2017 dan 2015 dengan kenaikan 1.1 °C dibandingkan era pra industri. Tahun 2018 sendiri berada di urutan keempat untuk tahun ter panas secara global.[5] Penyebab adanya pemanasan global
Efek rumah kaca merupakan salah satu faktor yang paling utama terjadinya di hampir seluruh dunia. Efek rumah kaca terjadi karena adanya sinar matahari yang dipantulkan kembali ke bumi karena sinar matahari tersebut tidak sanggup untuk keluar dari atmosfer karena terperangkap oleh gas-gas yang ada di atmosfer. Di sisi lain, efek rumah kaca memang mempunyai manfaat bagi kehidupan di bumi ini. Namun, apabila berlebihan seperti yang terjadi pada dewasa ini akan dapat mempengaruhi perubahan bumi secara drastis seperti perubahan iklim yang tidak menentu.[2]
CFC (Cloro Flour Carbon) merupakan salah satu bahan kimia yang biasanya digunakan pada kulkas dan AC. Apabila CFC diproduksi secara over, maka dapat memicu terjadinya pemanasan global di Indonesia.[2]
Indonesia merupakan salah satu negara yang padat penduduk. Kepadatan penduduk inilah yang menyebabkan terjadinya polusi kendaraan berlebih, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan kendaraan. Polusi yang dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor adalah salah satu penyumbang terbesar terjadinya pemanasan global. Hasil dari pembakaran kendaraan bermotor menghasilkan banyak gas Karbon dioksida yang memerangkap panas matahari atau panas yang ada, sehingga panas tersebut tidak bisa keluar dari atmosfer bumi.[2]
Tak bisa dipungkiri bahwa hutan merupakan sumber penghasil oksigen tertinggi. Namun dewasa ini, hutan di seluruh Indonesia maupun dunia banyak mengalami kerusakan akibat pembakaran dan penebangan liar. Akibatnya produksi oksigen menjadi sedikit dan gas karbon dioksida yang seharusnya dapat diserap banyak oleh hutan menjadi berkurang. Hal tersebut akan memicu semakin cepatnya pemanasan global pada bumi.[2] Dampak terhadap Indonesia
Tindakan preventif atau penanggulanganTindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi efek dari pemanasan global[6]
Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menyikapi pemanasan globalKebijakan yang diambil pemerintah Indonesia masih belum berpihak pada kaum bawah, pemerintah disatu sisi sepakat pada skema global untuk mencegah deforestasi dalam rangka menjawab masalah pemanasan global, disisi lain izin-izin alih fungsi lahan menjadi perkebunan skala besar (khususnya sawit) masih banyak diberikan pemerintah. Selain itu dari sisi penegakan hukum pun masih sangat lemah, buktinya jumlah pelaku pembalaan liar yang mampu diseret ke pengadilan hanya hitungan angka, bisa dikatakan hampir tidak ada. Ada pula WALHI yang sudah lama menyuarakan soal Moratorium Logging (Jeda penebangan hutan), kampanye tersebut dimulai tahun 2001, bahkan sebelum masalah perubahan iklim dan pemanasan global menjadi perhatian pusat dunia Internasional bahkan di Indonesia sendiri. Konsep moratorium logging dinilai lebih tepat dibandingkan hanya dengan melakukan perubahan dari hutan menjadi perkebunan besar.[7] Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mendiskriminasi dan membahayakan hak masyarakat adat Indonesia. Salah satunya yaitu ancaman REDD terhadap hak masyarakat Indonesia.[8][9] Referensi
|