Dzun-Nun al-Mishri
Selain dikenal sebagai ulama sufi, Dzun Nun juga termasuk dari kalangan Fuqaha' Muhadditsun (ahli fikih dan ahli hadits). Ia meriwayatkan hadits dari dari Imam Malik bin Anas, Al-Laits bin Sa’ad dan Abdullah bin Luhai’ah.
NasabDzun-Nun al-Mishri lahir di Ekhmim pada tahun 180 Hijriah atau 796 Masehi. Ia bernama lengkap Abu Al-Faiz Tsauban bin Ibrahim al-Mishri. Tempat kelahirannya terletak di wilayah Mesir Hulu.[2] Ayahnya merupakan keturunan suku Quraisy.[3] PemikiranMakrifatDzun-Nun al-Mishri dianggap sebagai pendiri paham makrifat. Pada masa hidupnya, istilah tasawuf sudah dikenal oleh masyarakat, tetapi dasar-dasarnya baru disusun oleh al-Mishri. Dalam perjalanan mencapai makrifat, ia menetapkan keharusan melewati maqamat dan ahwal. Pemikirannya menghasilkan amalan-amalan tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dzun-Nun al-Misri mengelompkkan makrifat berdasarkan tingkat pengetahuan manusia. Dalam pemikirannya, ia membagi makrifat menjadi makrifat kaum awam, teolog dan filsuf, serta para wali. Ia meyakini bahwa makrifat diperoleh bukan melalui belajar, usaha atau pembuktian, tetapi dari ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam perasaan manusia. Dzun-Nun Al-Mishri berpendapat bahwa Tuhan hanya dapat dikenal melalui Tuhan itu sendiri.[4] Bentuk kesyukuranDzun-Nun al-Mishri membagi bentuk kesyukuran menjadi taat, balas budi dan berbuat baik. Taat merupakan bentuk kesyukuran kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan diri sendiri. Balas budi merupakan bentuk kesyukuran kepada orang yang kedudukannya sama dengan diri sendiri. Sedangkan balas budi merupakan bentuk kesyukuran kepada orang yang kedudukannya lebih rendah dari diri sendiri.[5] Kerusakan makhlukDzun-Nun Al-Mishri menetapkan enam perkara yang menyebabkan kerusakan pada makhluk. Perkara pertama adalah lemahnya niat untuk berbuat amal demi akhirat. Perkara kedua ialah menjadikan tubuh sebagai jaminan terhadap nafsu. Perkara ketiga ialah membiarkan khayalan menguasai diri ketika tubuh telah mendekati ajal. Perkaraan keempat ialah lebih mengutamakan keridaan makhluk dibandingkan dengan keridaan Allah. Perkara kelima ialah meninggalkan sunnah hanya untuk menuruti keinginan hawa nafsu. Sedangkan perkara keenam adalah membela diri dengan argumen dan tidak menerapkannya sebagai perilaku.[6] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Dzun-Nun al-Mishri.
|
Portal di Ensiklopedia Dunia