Djoko Soegiarto Tjandra (Tjan Kok Hui, juga dieja Chan Kok Hin; nama Tionghoa (Hanzi sederhana): 曾国辉 ; Hanzi tradisional: 曾國輝 ; pinyin: Zēng guóhuī; lahir 27 Agustus 1951) alias Joe Chan adalah seorang pengusaha dan buronan korupsi asal Indonesia. Pada 2009, ia melarikan diri ke Papua Nugini sehari sebelum ia dijebloskan ke penjara karena perannya dalam penggelapan dana perbankan. Keluarganya mendirikan kelompok perusahaan Mulia.
Kehidupan awal
Djoko Tjandra lahir dari keluarga pasangan Tjandra Kusuma dan Ho Yauw Hiang dan memiliki tujuh saudara kandung.
Ia menikah dengan Anna Boentaran dan mereka dikaruniai tiga orang putri, yaitu Joanne Soegiarto Tjandranegara, Jocelyne Soegiarto Tjandra dan Jovita Soegiarto Tjandra.
Karier bisnis
Saat berusia 17 tahun, Djoko bepergian ke Irian Jaya (sekarang provinsi Papua), di mana pada tahun 1968 ia membuka toko grosir bernama Toko Sama-Sama di ibukota provinsi tersebut, Jayapura. Pada tahun 1972, ia membuka toko bernama Papindo di Papua Nugini. Ia membuka bisnis distribusi di Melbourne pada tahun 1974. Pada tahun 1975, ia mendirikan sebuah perusahaan kontraktor bernama PT Bersama Mulia di Jakarta. Tiga tahun kemudian, sebagai ahli untuk PT Jaya Supplies Indonesia, ia memperoleh proyek dari Pertamina, PLN dan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Dari tahun 1979 hingga 1981, ia mengembangkan pembangkit listrik Belawan di Sumatera Utara, memperluas kilang minyak di Balikpapan, mengembangkan Hydrocracking Complex di Dumai, sebuah kilang minyak di Cilacap, dan pupuk Kaltim di Bontang, Kalimantan Timur.
Pada tahun 1983, ia memasuki sektor properti, dengan mengembangkan blok kantor. Di antara proyek-proyeknya adalah gedung Lippo Life, Kuningan Plaza dan BCA Plaza. Ia juga terlibat dalam pengembangan Mal Taman Anggrek, yang dulunya merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara.[1]
Djoko adalah tokoh utama dalam Grup Mulia, yang dimulai dengan PT Mulialand, yang didirikan pada awal 1970-an oleh Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa) dan tiga anaknya: Eka Tjandranegara (Tjan Kok Hui), Gunawan Tjandra (Tjan Kok Kwang) dan Djoko Tjandra. Mulialand terlibat dalam konstruksi dan properti. Properti mewah yang dikembangkannya meliputi Hotel Mulia Senayan, Wisma Mulia, Menara Mulia, Wisma GKBI, Menara Mulia Plaza 89, Plaza Kuningan, dan apartemen Taman Anggrek. Pada 5 November 1986, mereka mendirikan PT Mulia Industrindo, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur kaca dan keramik.
Skandal Bank Bali dan dugaan korupsi
Pada 11 Februari 1999, Djoko Tjandra menghadiri pertemuan di Hotel Mulia di Jakarta untuk membahas upaya Bank Bali untuk mengumpulkan Rp904 miliar yang terhutang oleh tiga bank yang diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tjandra hadir sebagai direktur Era Giat Prima, sebuah perusahaan yang mengumpulkan komisi sebesar Rp546 miliar agar BPPN mengeluarkan dana. Sekitar Rp274 miliar uang komisi ditransfer ke rekening Djoko di BNI Kuningan, sementara sebagian dari uang itu ditransfer ke pejabat dan legislator Indonesia.[2]
Setelah berita tentang skandal Bank Bali mencuat pada akhir Juli 1999, Djoko diselidiki oleh polisi dan Kejaksaan Agung. Dia ditahan pada tanggal 29 September 1999 dan kemudian ditempatkan di bawah tahanan rumah. Dia diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 9 Februari 2000, didakwa melakukan korupsi karena "mengatur dan terlibat dalam transaksi ilegal". Jaksa menuntut hukuman 18 bulan, tetapi dia dibebaskan pada 6 Maret 2000, dengan wakil hakim ketua yang memutuskan kasus itu seharusnya sudah disidangkan oleh pengadilan perdata.[3] Pada 31 Maret 2000, Pengadilan Tinggi Jakarta memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memeriksa dan mengadili Djoko. Dia kembali ke pengadilan pada April 2000 dan dibebaskan pada 28 Agustus 2000. Hakim mengatakan meskipun dakwaan jaksa penuntut atas tindakan Djoko terbukti secara hukum, tindakan itu bukan merupakan tindak pidana melainkan tindak perdata. Jaksa mengajukan banding ke Mahkamah Agung, yang menguatkan Djoko tidak bersalah dalam putusan pada tanggal 26 Juni 2001.
Pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung atas pembebasan Djoko. Sehari sebelum putusan dijatuhkan, Djoko terbang pada 10 Juni 2009 menggunakan pesawat charter dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta ke Port Moresby, Papua Nugini. Pada 11 Juni 2009, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Djoko Tjandra. Dia kemudian dinyatakan sebagai buron.[4]
Pada bulan Maret 2016, istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, mengunjungi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan mengajukan permohonan peninjauan kembali atas Pasal 263, Bab 1, Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada 12 Mei 2016, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permintaannya, mencabut pasal KUHP yang memungkinkan jaksa meminta peninjauan kembali keputusan pengadilan dengan kekuatan hukum tetap.[5][6]
Setelah keputusan itu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo saat itu dipanggil ke sebuah pertemuan oleh Menkopolhukam Wiranto, yang menginginkan dia untuk mempelajari rekomendasi untuk membersihkan Djoko dari belitan hukumnya. Prasetyo menolak mengatur amnesti untuk Djoko.[7]
Kewarganegaraan Papua Nugini
Djoko Tjandra mengunjungi Port Moresby pada tanggal 27 Februari 2009 dan diberikan Izin Perjalanan Bisnis APEC. Pada 21 Oktober 2010 ia diberikan Izin Tinggal / Bekerja selama tiga tahun oleh Kedutaan Besar PNG di Jakarta. Pada 25 Agustus 2011, ia diberikan Izin Tinggal Tetap oleh Menteri Luar Negeri saat itu Ano Pala. Pada Oktober 2011, ia mengajukan permohonan kewarganegaraan melalui naturalisasi. Pada tanggal 29 April 2012, ia diberikan kewarganegaraan PNG oleh Ano Pala, meskipun ia tidak memenuhi persyaratan konstitusional dan namanya ada di daftar merah Interpol karena ia dicari sebagai buron di Indonesia.[8]
Pada 4 Mei 2012, Djoko Tjandra menerima Paspor PNG pertamanya. Pada 7 Mei 2012, ia mengajukan paspor lain, yang dikeluarkan dengan nama baru sebagai Joe Chan. Dia juga mengubah tanggal lahirnya menjadi 27 September 1963. Paspor PNG lain dikeluarkan atas nama "Joe Chan" pada 20 Januari 2014.
Menurut Interpol, ia memiliki paspor Azerbaijan, yang dilaporkan dicuri pada 24 Juni 2005.
Kembali ke Indonesia
Pada 29 Juni 2020, Jaksa Agung Indonesia ST Burhanuddin mengatakan Djoko Tjandra telah berada di Indonesia selama tiga bulan terakhir. Dia mengatakan Djoko pada 8 Juni telah mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bersalahnya. Menteri Hukum & HAM Yasonna Laoly mengatakan bahwa tidak ada catatan Djoko kembali ke Indonesia pada data imigrasi.[9] Pada 2 Juli 2020, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa ia telah memerintahkan Kantor Kejaksaan Agung untuk segera menangkap Djoko.[10] Mahfud kemudian mengatakan bahwa polisi memberi tahu dia bahwa nama Djoko Tjandra telah dikeluarkan dari daftar buron Interpol pada tahun 2014 karena Kantor Kejaksaan Agung Indonesia tidak pernah meminta perpanjangan.[11]
Djoko Tjandra berhasil mendapatkan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang dikeluarkan pada 8 Juni 2020 oleh Kelurahan Grogol Selatan di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kartu itu digunakan dalam pengajuan permintaannya untuk peninjauan kembali atas hukuman dua tahun penjara. Lurah Grogol Selatan Asep Subhandi mengatakan kartu itu dikeluarkan dalam waktu kurang dari satu jam, setelah ia dihubungi oleh pengacaranya Djoko pada 3 Juni 2020.[12] Sebuah paspor Indonesia baru juga diberikan kepada Djoko Tjandra pada 23 Juni 2020.[13]
Djoko Tjandra dijadwalkan muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 Juli 2020 untuk sidang pemeriksaan kasusnya, tetapi ia tidak muncul. Pengacaranya, Anita Kolopaking, mengklaim bahwa ia berada di Kuala Lumpur, Malaysia, dirawat karena penyakit yang tidak dikemukakan.[14] Juru bicara Imigrasi Indonesia Arvin Gumilang bersikeras bahwa tidak ada catatan Djoko Tjandra terbang ke Malaysia.[15]
Pada Juli 2020, dua orang perwira polisi dikeluarkan dari jabatannya karena diduga memfasilitasi perjalanan Djoko Tjandra di Indonesia. Kepala Divisi Hubungan Internasional Kepolisian Nasional Republik Indonesia Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte ditemukan telah melanggar etika, sedangkan Sekretaris Biro Pusat Nasional Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Polisi Nugroho Wibowo diduga menghapus status pemberitahuan merah Interpol untuk Djoko Tjandra. Secara terpisah, Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo, Kepala Biro Pengawasan dan Koordinasi Penyelidik Pegawai Negeri Sipil di Badan Reserse Kriminal POLRI, dilaporkan mengeluarkan surat perjalanan pada tanggal 18 Juni yang memungkinkan Djoko Tjandra terbang dari Jakarta ke Pontianak di Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali lagi pada 22 Juni.[16]
Pada 30 Juli 2020, Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia, dan dibawa kembali ke Indonesia pada hari yang sama. Operasi pengembalian dipimpin oleh Kabareskrim Listyo Sigit Prabowo.[17]