Badan Penyehatan Perbankan Nasional (disingkat BPPN) adalah sebuah lembaga pemerintah yang dibentuk pada akhir masa Orde Baru berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan BPPN. Lembaga ini dibentuk dengan tugas pokok untuk penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.
Karena kinerjanya yang dinilai kurang memuaskan, pada masa pemerintahan PresidenMegawati Soekarnoputri, lembaga ini dibubarkan pada 27 Februari2004 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN.
Tak hanya itu, Presiden Megawati Soekarnoputri juga menunjuk Menteri KeuanganBoediono sebagai Ketua Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional melalui Keppres Nomor 16/2004 tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN. Keppress ini merupakan satu dari sejumlah landasan hukum yang dikeluarkan presiden berkaitan dengan pembubaran BPPN. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, maka secara resmi BPPN dibubarkan.
Perjalanan BPPN
Februari 1998
Pemerintah Orde Baru melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 membentuk BPPN. Tugas pokoknya: penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.
Agar dapat melakukan misinya, BPPN dibekali seperangkat kewenangan yang tertuang dalam Keppres No. 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai landasan hukum operasional.
Di zaman kepemimpinan Glenn Yusuf, BPPN melengkapi organisasinya dengan divisi Asset Management Credit (AMC) dan Asset Management Investment (AMI). AMC menangani kredit bermasalah dari bank-bank yang ditutup atau diambil pemerintah. Sementara AMI menangani aset bank atau pemilik bank. Nilai seluruh aset yang berada di tangan AMC dan AMI berjumlah Rp. 640 triliun.
Selain MSAA dan MRA, BPPN juga menawarkan skema Akta Pengakuan Utang (APU) bagi para pengusaha.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari UU Perbankan, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN (PP 17/1999) yang secara lebih rinci mengatur landasan hukum operasional BPPN. Berbagai kewenangan BPPN yang telah ditetapkan dalam UU Perbankan dijabarkan agar diapat dioperasionalkan secara jelas, baik menyangkut persyaratan maupun tatacaranya.
Mei 1999 – Desember 2000
Seharusnya seluruh aset sudah berada di tangan BPPN dan dijual. Kenyataannya, hal itu tak terjadi dengan banyak sebab. Ada yang karena dokumen tidak lengkap, saham pemilik sudah diserahkan kepada kreditur lain, atau –yang paling parah—perbedaan valuasi atas aset yang diserahkan ke BPPN.
Kelompok Salim, misalnya, berdasar valuasiauditor yang mereka tunjuk, mengaku punya aset senilai Rp. 52,667 triliun. Namun ketika dilakukan due dilligent oleh Holdiko, nilainya maksimal cuma sekitar Rp. 20 triliun.
Mei-Juli 2002
BPPN melaksanakan kebijakan baru dalam upaya percepatan serta optimalisasi tingkat pengembalian meliputi bidang: penyelesaian Asset Transfer Kit (ATK), Restrukturisasi Utang, dan Penjualan Hak Tagih. Cara yang ditempuh adalah menjual langsung dan tender.
Juni 2002
Kepala BPPN Syafruddin A. Temenggung menyatakan akan melakukan percepatan pembubaran lembaga yang dipimpinnya pada 2003, dari jadwal semula pada 2004.
Percepatan penutupan yang disebutnya (soft landing) BPPN pada 2003 diikuti dengan program penjualan 2.500 aset senilai Rp 158 triliun atau sekitar US$ 15 miliar secara sekaligus.
Terhadap aset yang tidak laku, menurut dia, akan dikelola oleh joint venture, holding company, dan clearing house yang akan menangani penukaran aset dengan obligasi.
Februari 2003
Dalam rapat konsultasi dengan Komisi Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara (Komisi V) DPR, Ketua BPPN Syafruddin A. Temenggung mengeluhkan tidak maksimalnya dukungan institusi pemerintah lain terhadap pihaknya dalam menjalankan tugas.
Ia mengeluhkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 17 yang memberinya kewenangan dengan hukum khusus (“lex specialist”) untuk menjalankan tugas, ternyata tak banyak berarti di lapangan. Dari 76 surat sita yang dikeluarkannya atas aset-aset para pengutang, hanya tiga buah yang berhasil dimenangkan dan dijalankan-penyitaannnya. Menurut Syafruddin A. Temenggung, selebihnya batal oleh putusan pengadilan yang menentangnya.
Maret 2003
BPPN mulai mempresentasikan skenario pengakhiran lembaganya di hadapan para pejabat Departemen Keuangan.
27 Februari 2004
Ketika BPPN dibubarkan, uang negara yang telah dikucurkan kepada perbankan senilai Rp 699,9 triliun menyusut menjadi Rp 449,03 triliun, karena sebagian asset merupakan aset busuk yang nilainya digelembungkan para pemiliknya (debitor). Dari semua ini BPPN berhasil mengembalikan kepada negara Rp 172,4 triliun, sisanya menguap begitu saja.
Penutupan BPPN sekaligus peresmian lembaga baru, sebagai lembaga yang mengelola aset-aset BPPN terdahulu yang belumselesai dijual. Nilai asset tersebut sekitar Rp 10,817 triliun.
Total nilai aset ini diperoleh dari unit restrukturisasi bank (BRU) dengan nilai dasar Rp 4,858 triliun; aset manajemen kredit (AMK) Rp 2,00 triliun; serta aset manajemen investasi (AMI) Rp 3,958 triliun.
Selain itu, BPPN juga menyerahkan aset yang akan ditangani tim pemberesan dengan total Rp 4,346 triliun. Jumlah ini diperoleh dari AMK senilai Rp 2,416 triliun serta AMI Rp 1,929 triliun.