Sesak napas atau dispnea (bahasa Inggris: dyspnea, shortness of breath) adalah kondisi kesehatan ketika seseorang mengalami kesulitan bernapas.[1] Dispnea terjadi karena tidak terpenuhinya pasokan oksigen ke paru-paru sehingga menyebabkan pernapasan seseorang menjadi lebih cepat, pendek, dan dangkal. Tingkat pernapasan normal untuk orang dewasa dan remaja berkisar antara 12-16 napas per menit.[2] Namun saat mengalami dispnea, pola dan frekuensi pernapasan akan berubah.[3]
Sesak napas bisa menjadi gejala masalah kesehatan yang sering kali terkait dengan penyakit jantung atau paru-paru. Tapi dispnea juga dapat dialami setelah melakukan latihan olahraga secara intens.[4]
Menurut dokter spesialis anak RSIA Catherine Booth dr.Irvan Auwriadharma, dispena atau sesak nafas merupakan kondisi di mana seseorang susah bernapas. Kondisi tersebut biasanya terjadi ketika seseorang sedang melakukan aktivitas fisik. Sesak napas dapat terjadi baik pada orang dewasa, remaja, maupun anak-anak dan bayi sekalipun.[6]
Dispnea tidak boleh disamakan dengan pernapasan cepat (takipnea), pernapasan berlebihan (hiperpnea), atau hiperventilasi. Dispnea paling sering digambarkan sebagai sesak napas, ketidakmampuan untuk menarik napas dalam-dalam, atau dada sesak.[7]
Definisi lain
Definisi lain dari dispnea atau sesak napas, di antaranya yaitu:
Dispnea yaitu kesulitan dalam bernapas, yang berkaitan dengan paru-paru atau penyakit jantung dan dapat menyebabkan sesak napas. Dispena juga disebut dengan istilah kelaparan udara (air hunger).[8]
Dispnea adalah pernapasan seseorang yang tidak teratur atau tidak memadai.[9]
Dispnea didefinisikan sebagai pengalaman sesak napas, baik akut ataupun kronis.[10]
Diagnosis
Sebelum memberikan diagnosis, Dokter akan memeriksa dan mendengarkan paru-paru pasien. Selanjutnya, pasien akan menjalani tes fungsi paru-paru, yang disebut spirometri, untuk mengukur berapa banyak udara yang dapat dihirup dan dihembuskan dari paru-paru dan seberapa cepat aktifitas itu dilakukan oleh paru-paru. Tes tersebut dapat membantu mendiagnosis asma dan COPD (Chronic obstructive pulmonary disease) atau penyakit paru obstruktif kronis.[11]
Oksimetri denyut. Dokter menjepit alat ke jari atau daun telinga pasien untuk mengukur berapa banyak oksigen dalam darah.
Tes darah. Untuk menunjukkan apakah pasien menderita anemia atau infeksi dan dapat memeriksa bekuan darah atau cairan di paru-paru pasien.
Rontgen dada atau CT scan. Untuk mengetahui apakah pasien menderita pneumonia, pembekuan darah di paru-paru, atau penyakit paru-paru lainnya. CT scan mengumpulkan beberapa sinar-X yang diambil dari berbagai sudut untuk membuat gambaran yang lengkap.
Elektrokardiogram (EKG). Mengukur sinyal listrik dari jantung pasien untuk melihat apakah pasien mengalami serangan jantung dan mengetahui seberapa cepat jantung pasien berdetak dan apakah memiliki ritme yang sehat.
Diagnosis yang ditandai dengan gejala dispnea antara lain:
Sindrom koroner akut
Sindrom koroner akut atau acute coronary syndrome (ACS) merupakan suatu masalah kardiovaskular[12] yang terjadi karena aliran darah menuju jantung berkurang secara drastis atau tiba-tiba.[13] Sindrom koroner akut dapat disebabkan karena dispnea (sesak napas), sakit kepala atau pusing, gelisah, dan denyut jantung tidak teratur.[14]
COVID-19
Penyakit koronavirus 2019 (bahasa Inggris: coronavirus disease 2019, disingkat COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis koronavirus. Penyakit tersebut dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Gejala umum yang dialami oleh penderita COVID-19 yaitu demam, batuk kering dengan disertai kesulitan bernapas (dispnea).[15] Selain itu, ada juga gejala lain seperti nyeri otot, batuk ringan, dan timbul rasa lelah pada tubuh.[16]
Dari sebuah penelitian yang telah dilakukan,[17] gejala yang paling sering dilaporkan pada pasien yang menderita Covid-19 antara lain batuk (61,0%), demam (53,0%), malaise (32,4%) dan dispnea (30,2%), sedangkan pneumonia terjadi pada 41,1% pasien. Proporsi pasien dengan pneumonia dan gejala tersebut di atas, secara signifikan lebih tinggi dialami oleh pasien yang meninggal akibat covid-19. Dalam penelitian juga dibuktikan bahwa di antara kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di laboratorium di Jakarta, kemungkinan kematian lebih besar jika pasien lebih tua, menderita dispnea, pneumonia, dan hipertensi yang sudah ada sebelumnya.
Dispnea, pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan pernapasan, telah dilaporkan memengaruhi kurang dari 50% pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 dan lebih sering terjadi pada pasien yang akan meninggal dibandingkan dengan mereka yang akan pulih. Dispnea sangat terkait dengan prognosis yang buruk pada populasi umum, pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik, dan juga pada pasien yang selamat dari gagal napas hiperkapnik akut.[18]
Mengalami sesak napas yang berat merupakan salah satu gejala yang umum terjadi pada ⅖ pasien bangsal dan ⅔ pasien ICU. Studi di Perancis menyimpulkan bahwa pasien yang dirawat inap saat infeksi akut COVID-19 umumnya memiliki gejala yang menetap, termasuk dispnea yang mencapai 42%.[19]
Asma
Asma merupakan penyakit pada saluran pernapasan yang ditandai dengan penyempitan saluran napas sehingga penderita mengalami kesulitan bernapas, mengi, dan dada terasa sesak.[20] Dispnea adalah salah satu gejala utama yang dilaporkan oleh pasien asma, seperti batuk, mengi, dan sensasi sesak di dada. Pada individu penderita asma, ada bukti kuat bahwa persepsi dispnea dikaitkan dengan peningkatan upaya pernapasan yang dihasilkan oleh peningkatan resistensi saluran napas.[21]
Menghindari aktivitas fisik disarankan untuk penderita asma karena bisa dengan mudah mengalami sesak napas (yaitu, dispnea) yang dirasakan selama aktivitas.[22]
Tanda-tanda dan gejala
Pasien dispnea sering bernapas dengan cepat dan dangkal. Otot aksesori pernapasan dapat digunakan, dan retraksi supraklavikula dan interkostal dapat dilihat. Pemeriksaan jantung, paru, dan neuromuskuler harus mendapat perhatian khusus pada pasien dengan dispnea.[7] Tanda-tanda dan gejala yang akan dialami seseorang ketika mengalami dispnea atau sesak napas, di antaranya:
Takipnea, yaitu kondisi ketika laju pernapasan seseorang lebih cepat dan pendek dari kondisi normal [24]
Jenis dan penyebab dispnea
Menurut dokter Steven A. Wahls dari Rush Medical College di Chicago, penyebab paling umum terjadinya dispnea yaitu disebabkan oleh asma, gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),[25]penyakit paru interstitial,[26]pneumonia, tumor atau kondisi lain yang berhubungan dengan kanker,[27] dan masalah psikogenik yang biasanya terkait dengan kecemasan.[28] Dispnea dapat terjadi secara mendadak jika ada makanan atau benda lain yang menghalangi jalan napas. Cedera yang merusak paru-paru atau menyebabkan kehilangan darah dengan cepat juga akan membuat lebih sulit bernapas.[4] Jika sesak napas tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan tetapi dialami selama kurang lebih empat minggu, sesak napas ini dianggap kronis. Dispnea atau sesak napas dibagi menjadi dua jenis, yaitu dispnea akut dan dispena kronis.[6]
Dispnea akut
Dispena akut merupakan sesak napas yang berlangsung kurang dari satu bulan.[6] Penyebab terjadinya dispnea akut di antaranya sebagai berikut:[28]
radang selaput dada atau pleuritis, peradangan pada jaringan di sekitar paru-paru
Edema paru, saat terlalu banyak cairan terkumpul di paru-paru
Hipertensi paru, ketika tekanan darah di arteri ke paru-paru meningkat, dan
Sarcoidosis, ketika kelompok sel inflamasi tumbuh di paru-paru
Dispnea dapat dikaitkan dengan hipoksia atau hipoksemia, yang merupakan kadar oksigen darah yang rendah. Hal ini dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan gejala parah lainnya. Jika dispnea kronis berlanjut selama beberapa waktu, dapat terjadi risiko gangguan kognitif sementara atau permanen. Hal Ini juga bisa menjadi tanda timbulnya atau memburuknya masalah medis lainnya.[30]
Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan
Pengobatan dan penanganan untuk penderita dispnea berbeda-beda, tergantung pada penyebabnya. Di antaranya sebagai berikut:
Menggunakan obat untuk menghilangkan kecemasan, sehingga dapat membantu menghilangkan panik ketika mengalami dispnea. Selain itu, juga dapat menggunakan obat pereda nyeri untuk mempermudah pernapasan.[31]
Apabila penderita dispnea disebabkan oleh efusi pleura, maka disarankan diobati dengan menggunakan metode pengobatan thoracentesis, chest tube, pleural drain, dan lainnya.[32]
Apabila dispnea terjadi karena dipicu oleh asma atau PPOK, maka dapat menggunakan obat-obatan seperti bronkodilator dan steroid. Penggunaan steroid dapat membantu mengurangi edema paru-paru.[33][31]
Apabila dispnea berkaitan dengan infeksi seperti pneumonia bakterial, maka disarankan diobati dengan menggunakan antibiotik.[34]
Melakukan terapi oksigen hiperbarik bagi penderita hipoksia.[35]
Rekomendasi terapi pelengkap untuk mengelola dispnea tanpa obat, seperti:[27]
Teknik pernapasan
Teknik relaksasi
Strategi gangguan
Teknik postur tubuh
Terapi fisik
Akupresur, yaitu ketika tekanan fisik diterapkan ke titik-titik akupunktur
Pijat refleksi, yang menerapkan tekanan pada kaki, tangan, dan telinga
Pencegahan
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan ketika mengalami dispnea, di antaranya yaitu:
^"UpToDate". www.uptodate.com. Diakses tanggal 2021-02-28.
^"dyspnea - General Practice Notebook". web.archive.org. 2011-06-13. Archived from the original on 2011-06-13. Diakses tanggal 2021-02-28.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link)
^Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut(PDF). Centra Communications. 2015. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2021-01-18. Diakses tanggal 2021-03-05.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)