Diogenes dari Apollonia adalah seorang filsuf zaman pra-Sokratik.[1] Dia diketahui sebagai filsuf alam terakhir pada era pra-sokratik.[1] Menurut kesaksian Diogenes Laertius, Diogenes cukup terkenal pada masanya.[1]Sokrates diketahui juga sempat mempelajari filsafat Diogenes dari Apollonia.[2]
Fragmen dari tulisan Diogenes yang masih tersimpan hingga kini paling banyak berasal dari buku yang berjudul "Perihal Ilmu Alam" (On Natural Science).[3] Selain itu, diketahui juga beberapa karyanya yang telah hilang berjudul "Meteorologi" (Meteorology), "Melawan Kaum Sofis" (Against the Sophist), dan "Hakikat Manusia" (Nature of Man).[4]
Riwayat Hidup
Diogenes dari Apollonia hidup dan berkarya di sekitar tahun 430-420 SM.[1][3][4] Ia berasal dari kota Apollonia, tetapi tidak diketahui apakah kota Apollonia di pulau Kreta ataukah Apollonia di Laut Hitam.[1][3] Menurut kesaksian Antisthenes, dia adalah murid dari Anaximenes namun hidup pada masa Anaxagoras.[1][4] Ia banyak berkarya di Athena.[4] Diketahui pula bahwa nyawanya pernah terancam di Athena karena adanya iri hati dari lawan-lawannya.[1]
Pemikiran
Udara Sebagai Prinsip Dasar Segala Sesuatu
Diogenes dari Apollonia berpendapat bahwa udara merupakan prinsip dasar segala sesuatu.[1][3][4] Pemikiran ini serupa dengan Anaximenes yang memandang udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu.[5] Udara dipandang sebagai tak terbatas dan abadi.[1][3] Segala sesuatu dijadikan dari udara melalui prinsip pemadatan dan pencairan.[1][4] Kemudian segala benda akan kembali lagi menjadi udara.[1] Hal ini dikarenakan ia berpikir bahwa "apa yang ada tidak mungkin dijadikan dari yang tidak ada, karena itu apa yang ada tidak mungkin menjadi tidak ada."[1]
Tentang Alam Semesta
Menurut Diogenes dari Apollonia, segala sesuatu terjadi karena proses pemadatan dan pencairan dari udara, termasuk alam semesta.[1] Bumi berbentuk lingkaran dan berpusat di bagian tengah.[1] Bumi tercipta karena perputaran yang hawa panas dan pendinginan.[1] Selain itu, ia berpendapat bahwa terdapat dunia-dunia yang tak terbatas dan juga ruang kosong yang tak terbatas.[1]
Tentang Makhluk Hidup
Udara merupakan unsur yang diperlukan oleh manusia dan binatang.[1] Udara juga diperlukan untuk menjaga jiwa mereka dan juga untuk berpikir.[1][3] Karena itu, bila tidak ada lagi udara, maka mereka akan mati dan berhenti berpikir.[1]
Yang membedakan antara makhluk hidup yang satu dengan yang lain, termasuk juga dengan benda mati adalah sifat udara yang membentuknya.[1] Misalnya saja, udara yang terdapat pada binatang lebih panas dari udara di luar, tetapi lebih dingin dari udara yang terdapat di matahari.[1] Kemudian di antara binatang-binatang terdapat perbedaan sebab sifat udara yang ada di dalamnya berbeda-beda juga.[1] Hal yang sama berlaku juga bagi manusia.[1]
Tentang Manusia
Tentang Anatomi
Diogenes dari Apollonia juga berbicara tentang anatomi manusia.[1] Menurutnya, ada dua pembuluh darah yang besar pada manusia.[1][3] Kedua pembuluh darah itu memanjang melalui perut seturut tulang belakang, satu ke sebelah kanan dan satunya lagi ke sebelah kiri.[1][3] Keduanya masuk ke arah lengan kemudian menuju ke atas melalui kerongkongan.[1][3] Dari sinilah pembuluh darah memanjang lagi ke seluruh tubuh, yakni pembuluh di bagian kanan memanjang ke bagian tubuh sebelah kanan, dan pembuluh di bagian kiri memanjang ke bagian tubuh sebelah kiri.[1][3] Dua pembuluh yang besar melewati jantung, dan seterusnya.[1][3] Ia menggambarkan secara lengkap bagaimana jalur pembuluh darah di seluruh tubuh.[1][3]
Tentang Penyakit dan Kesenangan
Diogenes dari Appolonia berpendapat bahwa penyakit dan kesenangan juga dipengaruhi oleh udara.[1] Ketika banyak udara yang tercampur dalam darah dan membuatnya menjadi ringan, maka rasa senang muncul.[1] Sebaliknya, ketika udara tidak bercampur dengan darah, maka darah akan menjadi tebal dan lebih lemah.[1] Itulah penyebab munculnya penyakit.[1]
Tentang Berpikir
Bayi tidak dapat berpikir seperti manusia dewasa.[1] Hal itu dikarenakan di dalam tubuhnya terdapat uap dalam jumlah yang besar sehingga udara tidak dapat memasuki seluruh tubuhnya.[1] Udara menjadi tersimpan di bagian dada.[1]
Demikian pula dengan orang yang sedang lupa.[1] Lupa dikarenakan udara tidak memasuki seluruh tubuh dengan seharusnya.[1] Bukti dari hal ini adalah ketika kita mencoba mengingat sesuatu, maka dada kita akan mengkerut.[1] Kemudian ketika kita telah mengingatnya lagi, ada relaksasi dan kita merasa lega.[1]
^(Inggris)Frederick Copleston. 1993. A History of Philosophy Volume I: Greece and Rome. New York: Doubleday. P. 97.
^ abcdefghijkl(Inggris)Kathleen Freeman. 1952. Ancilla to the Pre-Socratic Philosophers. Oxford: Basil Blackwell. P. 87-90.
^ abcdef(Inggris)P. Diamandopoulos. 1999. "Diogenes of Apollonia". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. Robert Audi, ed. 409. London: Cambridge University Press.
^Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal 23.