Dinas Pelayaran adalah salah satu divisi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang bergerak di bidang transportasi air. Dinas ini dibentuk pada kisaran tahun 1950-an setelah dileburnya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) dan Staatsspoorwegen en Verenigde Spoorwegbedrijf (SS/VS) menjadi Djawatan Kereta Api (DKA)—dibentuk guna melayani para penumpang yang akan menyebrangi Selat Madura, Selat Bali, Selat Sunda, Sungai Ogan, dan Sungai Musi. Layanan penyebrangan yang diselenggarakan adalah angkutan terusan bagi penumpang kereta api yang ingin melanjutkan perjalanan dengan menyebrangi sungai maupun selat yang dilayani.
Pada tahun 1989 PJKA membubarkan dinas ini seiring dengan dibentuknya PT ASDP. Sebab-sebab lainnya, yaitu dibangunnya Jembatan Ampera di Palembang serta dinonaktifkannya jalur kereta api di Pulau Madura yang semakin menambah suram nasib divisi ini.
Sejarah
Seiring dengan peleburan DKARI dan SS/VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA) di awal tahun 1950, maka diselenggarakan pula penyediaan beberapa kapal feri dan kapal tunda atau pandu kepada DKA. Feri dikhususkan untuk angkutan terusan yang melayani angkutan penumpang, barang, dan kendaraan yang akan menyebrangi Selat Sunda, Selat Bali, dan Selat Madura, serta Sungai Musi dan Sungai Ogan. Sedangkan kapal tunda/pandu digunakan untuk memandu kapal-kapal besar yang masuk dan keluar pelabuhan.[1]
Ketika itu, DKA menerima penyerahan stasiun kereta api di kompleks pelabuhan beserta dermaganya yang sejak semula dikelola oleh pegawai-pegawai kereta api seperti Stasiun Merak dengan Pelabuhan Merak, Stasiun Panjang dengan Pelabuhan Panjang, Stasiun Ujung dengan dermaga ponton, Stasiun Kamal dengan dermaga ponton, dan Stasiun Banyuwangi Lama yang terintegrasi dengan angkutan terusan bus pengumpan milik DKA dan diseberangkan dengan kapal feri milik DKA ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali.[1]
Pengoperasian feri milik Jawatan Kereta Api sebagai angkutan terusan memiliki banyak manfaat dan sukses menarik banyak peminat. Jawatan Kereta Api menyelenggarakan pelayaran dengan beberapa rute, seperti Merak-Panjang dan penyeberangan Sungai Musi untuk mendukung koneksi Jakarta-Palembang melalui moda kereta api, Dermaga ponton Stasiun Ujung–Dermaga ponton Stasiun Kamal untuk mendukung konektivitas Jalur kereta api lintas Surabaya dengan Jalur kereta api lintas Madura beserta mobilitas penduduknya, dan Pelabuhan Gilimanuk-Banyuwangi (eks Pelabuhan Boom). Di rute pelayaran Pelabuhan Gilimanuk-Banyuwangi, Jawatan Kereta Api juga menyelenggarakan layanan bus pengumpan. Konektivitas Banyuwangi dengan Pulau Bali sangat mendukung terciptanya konektivitas dan mobilitas sosial di wilayah tersebut, terutama dalam bidang pariwisata.[1][2][3]
Selain feri, Jawatan Kereta Api juga memiliki sejumlah kapal tunda yang didinaskan di pelabuhan/dermaga dekat Stasiun Kertapati untuk memandu kapal tongkang dari Pelabuhan Palembang hingga pelabuhan/dermaga Stasiun Kertapati. Kapal tunda ini berada di bawah inspeksi Pimpinan Eksploitasi Sumatera Selatan.[1]
Kegiatan penyeberangan antar
pulau di Indonesia telah dirintis oleh Pemerintah dalam hal ini Jawatan Kereta Api (DKA, PNKA, PJKA). Fakta sejarah mencatat bahwa kapal Taliwang merupakan salah satu penghubung pertama
dari rute Merak -Panjang pada tahun 1952.[4]
Pada tahun 1960, Pemerintah Belanda memberikan hibah kepada Pemerintah Indonesia dalam hal ini Djawatan Kereta Api (DKA) berupa tiga unit kapal 2.314 GT yang didatangkan langsung dari Belanda yaitu KM Halimun C/S PKMH, dan KM Krakatau tahun 1961, dan KM Bukit Barisan tahun 1962. Sayangnya, KM Bukit Barisan terbakar dan tenggelam saat bongkar muat di Pelabuhan Merak pada tahun 1977. Ketiga kapal tersebut dibuat di galangan kapal Zaandam Shipyard dengan penggerak produksi Werkspoor 750 DK × 2, digunakan untuk melayani penyeberangan dari Pelabuhan Panjang (Lampung) ke Pelabuhan Merak (Jawa Barat) yang saat ini termasuk wilayah Banten.[4][5]
Layanan utama pada lintasan ini hanya penumpang dan barang yang jika ada kendaraan yang akan menyeberang maka akan diangkut ke atas geladak kapal menggunakan crane yang jumlahnya juga sangat terbatas mengingat ketiga kapal tersebut tanpa dilengkapi ramp door. Perluasan dan pengembangan Pelabuhan III, IV, dan V Merak yang dioperasikan ASDP saat ini merupakan saksi bisu (dulunya) adalah pelabuhan yang pernah digunakan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) untuk kegiatan bongkar muat armada kapalnya.[4]
Layanan
Berikut layanan yang pernah dioperasikan.[1][2][6][7]
Lokasi
|
Lintas
|
Armada
|
Keterangan
|
Selat Sunda
|
Merak-Panjang
|
- KT Terate
- KT Seroja
- KT Anantasena
- KM Halimun
- KM Bukit Barisan
- KM Krakatau
- KM Karimun
|
Aset-aset yang masih ada sampai sekarang dikelola oleh PT ASDP Indonesia Ferry dan PT Dharma Lautan Utama
|
Selat Madura
|
Ujung-Kamal
|
- KM Joko Tole
- KM Potre Koneng
- KM Maduratna
- KM Pamekasan
- KM Bangkalan
- KM Judanagara (Yudha Negara)
- KM Paramarta
- KT Trunojoyo
- KT Rajabasa
|
Selat Bali
|
Boom (Banyuwangi)-Gilimanuk
|
- KM Kintamani
- KM Blambangan
|
Sungai Musi dan Sungai Ogan
|
Palembang-Kertapati
|
- KT. Bhakti
- KM Reni
- KM Cendrawasih
- KM Srigunting
|
Penutupan
Seiring berjalannya waktu dan berubahnya regulasi, PJKA menghentikan pengoperasian seluruh armada kapal yang dimiliki dan menyerahkan sepenuhnya untuk dioperasikan dan dikelola oleh PT ASDP pada tahun 1989. Selanjutnya PJKA hanya fokus pada bisnis utamanya yaitu mengelola kereta api.[4]
Referensi