Dengarkan versi lisan dari artikel ini (3 bagian, 14 menit)
Berkas-berkas suara berikut dibuat berdasarkan revisi dari artikel ini per tanggal 1 Juli 2022 (2022-07-01), sehingga isinya tidak mengacu pada revisi terkini.
Novel ini menceritakan kisah antara Hamid dan Zainab yang sama-sama jatuh cinta, tetapi terpisah mulai dikarenakan perbedaan latar belakang sosial, hingga Zainab yang dihadapkan oleh permintaan ibunya agar menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan. Pada akhir cerita, Hamid memutuskan pergi ke Mekkah, kemudian fokus beribadah hingga akhirnya meninggal di hadapan Ka'bah setelah mengetahui Zainab meninggal.
Novel ini disambut baik dari berbagai kalangan, bahkan hingga saat ini telah diadaptasikan menjadi film sebanyak dua kali, masing-masing dengan judul yang sama, yaitu pada tahun 1981 dan 2011.
Latar belakang
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah muslim asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.[1][2] Setelah melakukan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu. Ia mulai bekerja sebagai guru agama di Deli, Sumatera Utara, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.[3] Dalam perjalanan itu, terutama saat di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[4][5] Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk kembali ke Medan. Di Medan, Hamka mulai menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah ketika menjadi editor untuk majalah Islam mingguan Pedoman Masyarakat, yang dalam majalah tersebut untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.[2][6]
Alur
Hamid merupakan muslim kelahiran Minangkabau, Sumatra yang hanya dibesarkan oleh ibunya sejak berusia empat tahun, karena pada saat itu ayahnya telah meninggal. Ketika berusia enam tahun Hamid disekolahkan oleh Haji Ja'far bersama anak perempuannya yang bernama Zainab di sekolah yang sama. Setelah menamatkan pendidikan masing-masing di sekolah Hindia Belanda, Hamid dan Zainab mulai jatuh cinta tetapi sama-sama tidak mengutarakannya hingga kemudian terpisah karena Hamid memutuskan pindah dari Padang ke Padang Panjang untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah agama. Namun, sejak ayah Zainab meninggal, yang disusul dengan meninggalnya ibu Hamid, mereka telah jarang bertemu. Dalam suatu pertemuan, Hamid dihadapkan oleh permintaan ibu Zainab, Asiah untuk membujuk anaknya menikah dengan sepupunya. Permintaan ibu Zainab itu dijalankan oleh Hamid mengingat ibunya semasa hidup juga tidak mengizinkannya menikahi Zainab karena perbedaan kelas sosial. Hamid kemudian mengalami patah hati akibat keputusan yang diambilnya, lalu memutuskan pergi ke Mekkah.
Setelah setahun berada di Mekkah, Hamid yang mulai menderita penyakit bertemu dengan Saleh. Istri Saleh, Rosna, adalah teman dekat Zainab sehingga Hamid dapat mendengar kabar tentang Zainab, termasuk kenyataan bahwa Zainab mencintai dirinya dan Zainab tidak jadi menikah dengan laki-laki pilihan ibunya. Setelah mengetahui hal tersebut, Hamid berniat untuk kembali ke Padang usai menunaikan ibadah haji. Pada saat bersamaan Saleh melalui istrinya mengirimkan surat untuk diberikan kepada Zainab yang isinya menggambarkan pertemuannya dengan Hamid. Namun Saleh mendapat balasan dari istrinya bahwa Zainab telah meninggal dunia; Saleh tidak memberikan kabar tersebut kepada Hamid sebelum akhirnya Hamid mendesaknya. Kenyataan itu disusul dengan meninggalnya Hamid di hadapan Ka'bah.
Gaya penulisan dan tema
Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya bahasa yang sederhana. Kritikus sastra Indonesia, Bakri Siregar, beranggapan bahwa ini mungkin terjadi karena Hamka mengikuti gaya penulisan yang diwajibkan Balai Pustaka.[3] Sementara ahli dokumentasi sastra Indonesia, H.B. Jassin, mencatat bahwa Hamka memiliki gaya bahasa yang "sederhana, tapi berjiwa".[5] Kritikus sastra lainnya, Maman S. Mahayana, Oyon Sofyan, dan Achmad Dian menyebutnya mirip dengan gaya bahasa dari penulis asal Mesir, Mustafa Lutfi al-Manfaluti.[7]
Di Bawah Lindungan Ka'bah memiliki gaya penceritaan yang bersifat didaktis, yang bertujuan untuk mendidik pembaca berdasarkan sudut pandang penulis. Menurut Jassin, Hamka lebih mengedepankan ajaran tentang dasar-dasar Islam dibanding menyinggung tema kemodernan, seperti kebanyakan penulis saat itu, dan mengkritik beberapa tradisi yang menentang Islam.[4]
Rilis dan penerimaan
Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938. Balai Pustaka umumnya menolak karya bertema agama karena melakukan resistensi terhadap praktik penindasan kolonial Belanda di Indonesia. Meskipun begitu, novel ini bisa lulus sensor dari Balai Pustaka karena hanya dianggap melukiskan tentang Islam semata.[5] Hamka kemudian menerbitkan empat novel lain selama berada di Medan,[2] termasuk Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang dianggap sebagai karya terbaiknya.[6] Setelah cetakan ketujuh, novel ini diterbitkan oleh Bulan Bintang.[7]
H.B. Jassin mencatat bahwa Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dengan menarik dan indah.[8]Bakri Siregar menganggap novel ini menjadi cerita yang dikarang dengan baik dan gaya penulisannya yang kuat.[3] Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw, menyebut bahwa karya Hamka terlalu mementingkan nilai moral dan plotnya bersifat sentimental, ia merasa bahwa novel ini akan mempermudah pembaca Barat mengerti tentang kebudayaan Indonesia pada tahun 1930-an.[9]
Adaptasi
Di Bawah Lindungan Ka'bah telah dua kali diadaptasi menjadi film layar lebar. Pertama, film yang dirilis pada 1977 dan disutradarai oleh Asrul Sani berjudul Para Perintis Kemerdekaan dan dibintangi oleh penyanyi dangdutCamelia Malik sebagai Zainab. Adaptasi ini menampilkan perjuangan cinta dua tokoh dengan latar belakang perjuangan menghadapi kekuatan kolonial Belanda.[10] Film ini meraih kesuksesan, memenangi dua Piala Citra dari enam nominasi pada Festival Film Indonesia 1977.[11]
Jassin, H.B. (1985). "Hamka, Pengarang Di Bawah Lindungan Kaabah". Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Gramedia. hlm. 46–53. OCLC36434233.
Mubarak, Makbul (28 Augustus 2011). "From Masterpiece to Teen Flick". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-21. Diakses tanggal 2012-06-10.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
"Penghargaan Para Perintis Kemerdekaan". filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: National Library of Indonesia and Sinamatek. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-21. Diakses tanggal 2012-06-10.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC63841626.
Teeuw, A. (1980). Sastra Baru Indonesia (dalam bahasa Indonesian). 1. Ende: Nusa Indah. OCLC222168801.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)