Dana kampanye

Dana kampanye adalah aktivitas yang mengacu pada penggalangan dana dan pengeluaran kampanye politik pada persaingan dalam pemilu. Seperti diketahui bahwa kampanye akan mempunyai pengeluaran yang besar, mulai dari biaya kendaraan untuk kandidat dan lainnya, sampai pembelian waktu tayang untuk iklan di TV, radio, dan media-media lain, oleh karena itu, kandidat sering mencurahkan banyak waktu dan upaya dalam mengumpulkan dana untuk dapat menutupi pembiayaan kampanyenya.

Meskipun dalam literatur ilmu politik dijelaskan bahwa kebanyakan kontributor memberikan dukungan dana kepada para kandidat yang telah melakukan persetujuan, tetap saja terdapat persepsi publik yang beranggapan bahwa pendanaan tersebut dianggap sebagai suatu perjanjian imbalan yang tidak sah (seperti pembuatan peraturan perundang-undangan khusus yang menguntungkan pihak tertentu),[1] sehingga publik menyamakan sumber pendanaan kampanye partai politik tersebut sama dengan korupsi politik dan penyuapan.[2]

Penerimaan

Dana dari Pemerintah setiap Tahun[3]

Tabel: Jumlah Bantuan Partai Politik Yang Lolos Parliamentary Threshold

No Partai Nama Partai Kursi Perolehan Suara Jumlah Bantuan
1 Partai Hati Nurani Rakyat 18 3.922.870 400.132.740
5 Partai Gerakan Indonesia Raya 26 4.646.406 473.933.412
8 Partai Keadilan Sejahtera 57 8.206.955 837.109.410
9 Partai Amanat Nasional 43 6.254.580 637.967.160
13 Partai Kebangkitan Bangsa 27 5.146.122 524.904.444
23 Partai Golongan Karya 107 15.037.757 1.533.851.214
24 Partai Persatuan Pembangunan 37 5.533.214 564.387.828
28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 95 14.600.091 1.489.209.282
31 Partai Demokrat 150 21.703.137 2.213.719.974
J u m l a h: 560 85.051.132 Rp. 8.675.215.464,-

Jadi, BANTUAN yang diberikan oleh NEGARA kepada Partai Politik SETIAP TAHUNnya adalah Rp.8.675.215.464,-

Dana publik

Pengalaman di seluruh dunia menunjukkan adanya kesulitan yang besar dalam membuat sistem yang efektif untuk melakukan pendanaan terhadap partai-partai sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan dana. Banyak negara telah mengalami malapraktik dalam pengadaan dana kampanye yang disediakan pihak tertentu akibat terdapatnya perjanjian imbalan bagi pemberian dana kampanye, serta sejumlah besar saluran lainnya yang melibatkan BUMN. Privatisasi umumnya disediakan berdasarkan janji dan hak-hak kontrol di semua tingkat pemerintahan. Namun, pengalaman dunia internasional menunujukkan bahwa penyumbangan dana kampanye partai politik dapat berjalan dengan efektif apabila dirancang dengan baik, didukung oleh sanksi yang efektif, dan disertai oleh difusi paralel yang sesuai etika dan norma.[4] Regulasi-regulasi dana kampanye partai politik antara lain:

  • Semua sumbangan dan sumber pendapatan diperoleh dari pihak publik. Donor dan jumlah sumbangan kepada partai politik diidentifikasikan ke dalam catatan publik serta mengungkapkan hubungan pelobi dengan kandidat termasuk sumber, jenis, dan jumlah dukungan, baik sebelum dan sesudah pemilihan umum. Pengeluaran dan tujuan mereka harus sama-sama dipublikasikan dan tersedia untuk di-audit.
  • Melarang penggunaan sumber daya negara untuk tujuan politik publik, serta melakukan pengawasan oleh pemerintah agar tidak terjadi penggunaan dana negara, layanan pos, mobil, komputer, atau aset lainnya untuk tujuan politik atau kampanye pemilihan.
  • Membuat batasan pengeluaran pada partai politik, sehingga partai tidak akan mengalami pengeluaran yang melebihi pasokan dananya, bila tidak, partai akan mengarah kepada pencarian pendanaan yang mungkin melanggar batas yang sah. Mekanisme ini telah digunakan dalam sejumlah besar negara-negara Eropa Barat, yaitu dengan menerapkan:
    • Adanya pengaturan alokasi waktu tayang/tampil di TV dan radio untuk kualifikasi partai politik, serta tidak memperbolehkan adanya wantu tambahan, dan
    • Pemberian batasan hukum yang mengatur perencanaan pengeluaran dengan pengeluaran aktual sebagai subjek audit serta terdapatnya sanksi efektif dalam kasus pelanggaran batasan pengeluaran.

Dengan mempertimbangkan bahwa pendanaan diperoleh publik, maka pada beberapa negara telah menetapkan politik sebagai bagian dari dana publik. Oleh karena itu partai-partai politik harus memainkan perannya dengan mengacu kepada kepentingan publik dengan mengurangi ruang lingkup kepentingan pribadi seperti pembelian pengaruh yang berlebihan.

Pelayanan publik dalam politik harus netral dan tidak diperbolehkan (atau tidak perlu) untuk memberikan kontribusi kepada partai politik agar mendapatkan imbalan jabatan. Hal ini dapat memberikan kontribusi bagi berlakunya meritokratis administrasi dalam pelayanan publik dan akan melawan pihak bias atau kemauan politisi yang memasukan kepentingannya pada pengambilan keputusan dalam kepentingan umum.

Regulasi

di Prancis

Pemberlakuan pembatasan jenis pemberian dana yang dilakukan di Prancis sejak 1995 dengan melarang sumbangan dari sektor publik dan perusahaan swasta atau sumbangan asing dan tahun 2007.[5] Komisi Nasional untuk Kampanye Politik (Commission nationale des comptes de campagne et des financements politiques) antara lain mengatur;

  • Pengeluaran maksimum ditetapkan sebesar 16,166 juta euro untuk putaran pertama dan 21,594 juta euro untuk putaran kedua.
  • Pengeluaran bagi iklan kampanye politik di televisi dilarang.
  • Negara memberikan hibah yang beragam terhadap calon yang menang lebih dari 5% suara di putaran pertama dengan jumlah maksimum 808.300 euro.

di Hongkong

Dalam pemilu tahun 2008 kandidat untuk Dewan Legislatif Hong Kong berhak mendapatkan hibah hingga HK$11 per suara.[6]

di Jerman dan Amerika Serikat

Pendanaan kampanye Jerman dan Amerika Serikat[7] dapat didanai gabungan antara dana swasta dan publik.

Konvensi

Konsep pendanaan politik dapat memengaruhi berbagai bagian dari sebuah lembaga masyarakat yang dapat mendukung keberhasilan pemerintah dan masyarakat. Dengan penanganan pendanaan politik yang benar akan berdampak pada kemampuan suatu negara untuk secara efektif mempertahankan adanya pemilihan yang bebas dan adil, pemerintahan yang bersih dan efektif, pemerintahan yang demokratis, dan adanya regulasi pemerintah mengenai pemberantasan korupsi.[8]

Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations convention against Corruption) mengakui pula hal ini dengan mendorong agar para anggotanya meningkatkan transparansi dalam hal pembiayaan dan dana publik. Berkat pendanaan partai politik di seluruh negara-negara dunia, dapatlah diidentifikasikan masalah-masalah penyalahgunaan pendanaan politik. Berdasarkan studi penyesuaian dan pemahaman tentang masyarakat sipil internasional, ditetapkanlah peraturan integral bagi pendanaan politik dengan beberapa pemahaman umum sebagai berikut:[9]

  1. Pendanaan yang diperlukan untuk politik yang demokratis dan partai politik harus memiliki akses ke dana agar setiap partai politik dapat memainkan peran dalam proses politik dengan adanya peraturan tidak boleh menjadikan pengekangan adanya persaingan yang sehat.
  2. Pendanaan tidak boleh menjadi permasalahan dalam bagian dari sistem politik dengan adanya peraturan yang dapat mengaturnya.
  3. Konteks dan budaya politik harus diperhitungkan ketika merencanakan strategi dalam melakukan pengendalian pendanaan dalam politik.
  4. Peraturan dan pengungkapan yang efektif akan dapat membantu untuk mengontrol efek samping dari peran pendanaan dalam politik bila dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
  5. Pengawasan yang efektif tergantung pada kegiatan-kegiatan dalam interaksi oleh pemangku kepentingan (seperti regulator, masyarakat sipil, dan media) dan didasarkan pada transparansi.

Lihat pula

Referensi

Catatan

  1. ^ (Inggris) Gill, David & Lipsmeyer, Christine (2005). Soft Money and Hard Choices: Why Political Parties Might Legislate Against Soft Money Donations. Public Choice.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  2. ^ (Inggris) National Bureau of Economic Research (2008). Press Coverage and Political Accountability. Graduate Center of the City University of New York.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  3. ^ http://seknasfitra.org/tahukah-anda-berapa-rupiah-dana-negara-yang-mengalir-ke-partai-politik/)
  4. ^ (Inggris) World Bank (2000). Anticorruption in transition: a contribution to the policy debate. World Bank Publications. hlm. 42. ISBN 0821348027, 9780821348024 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  5. ^ (Prancis)mémento à l'usage du candidat à l'élection présidentielle et de son mandataire
  6. ^ (Inggris) Denise Yam (July 18, 2008). "Hong Kong Fiscal Measures Address Inflation". Global Economic Forum. Morgan Stanley. Diakses tanggal December 9, 2009. 
  7. ^ (Inggris) Federal Election Commission (JPublished in February 2004 (updated January 2009)). "The FEC and the Federal Campaign Finance Law". Federal Election Commission. Diakses tanggal December 9, 2009. 
  8. ^ (Inggris) Council of Europe. Octopus Programme (2008). Corruption and democracy: political finances, conflicts of interest, lobbying, justice. Vol. 28: Council of Europe. ISBN 9287163553, 9789287163554 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  9. ^ (Inggris) United Nations (2005). Yearbook of the United Nations 2005. Vol. 59: United Nations Publications. hlm. 1686. ISBN 9211009677, 9789211009675 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 

Pranala luar

Pustaka