Perubahan iklim dan pertanian merupakan proses yang saling terkait di mana keduanya terjadi pada skala global. Pertanian mempengaruhi perubahan iklim, dan perubahan iklim mempengaruhi pertanian. Pemanasan global diketahui dapat mempengaruhi pertanian karena peningkatan temperatur, perubahan pola iklim dan presipitasi, dan pelelehan gletser. Hal ini mempengaruhi kapasitas biosfer dalam memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan populasi manusia yang terus meningkat. Peningkatan level karbon dioksida akan memiliki efek baik maupun buruk terhadap hasil pertanian. Penilaian efek perubahan iklim pada pertanian akan membantu antisipasi dan adaptasi usaha pertanian.
Salah satu penyebab deforestasi adalah sistem tebang habis untuk mengubah hutan menjadi lahan pertanian. Berdasarkan Norman Myers, diketahui bahwa 5% lahan hutan yang mengalami deforestasi digunakan sebagai lahan peternakan, 19% diakibatkan oleh penebangan hutan berlebih, 22% karena perluasan lahan perkebunankelapa sawit, dan 54% karena parktek tebang dan bakar.[2]
Pada tahun 2000, PBB melalui FAO menemukan bahwa deforestasi mampu menyebabkan tekanan terhadap populasi dan stagnasi ekonomi, sosial, dan teknologi."[3]
Pencemaran genetik
Kontroversi dari bahan pangan termodifikasi secara genetika (genetically modified, GM) melibatkan berbagai pihak dari konsumen, perusahaan bioteknologi, pembuat kebijakan, organisasi nirlaba, dan ilmuwan. Bidang yang diperdebatkan diantaranya apakah makanan GM harus diberikan label, peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dampak makanan GM pada kesehatan dan lingkungan, efek resistansi pestisida, dampak tanaman pertanian GM terhadap petani, dan peran tanaman pertanian GM sebagai penghasil bahan pangan bagi populasi dunia.
Organisme termodifikasi secara genetik juga mengundang risiko terjadinya pencemaran genetika akibat penyerbukan antara tanaman GM dan tanaman non GM di lokasi pertanian. Selain itu, benih tanaman GM yang tersebar ke alam liar juga mengundang keresahan serupa. Fenomena ini disebut dengan kontaminasi benih. Sebagian besar proses penyerbukan terjadi oleh angin dan serangga yang tidak mampu dikendalikan secara penuh oleh manusia.
Subsiden tanah karena ruang di antara bebatuan di bawah tanah yang seharusnya diisi air tanah, menjadi kosong sehingga berpotensi runtuh
Tanah yang tidak diirigasi secara cukup dapat menyebabkan meningkatnya kadar garam tanah yang mengakibatkan salinisasi tanah. Tanah dengan kadar garam yang tinggi sulit untuk ditanami kembali.
Irigasi dengan air asin akan menyebabkan tanah rusak
Irigasi berlebihan menyebabkan polusi air karena tercucinya pupuk dan pestisida dari tanah pertanian ke ekosistem sekitar
Sejumlah besar penggunaan bahan kimia pertanian mampu menjadi polutan bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Pupuk dan pestisida mampu terbawa air hujan dan mengendap di sungai dan badan air lainnya hingga terserap menuju ke air tanah. Pestisida kimia juga mampu mengakibatkan gangguan kesehatan bagi manusia, terutama pestisida organoklorida. Kontaminasi tanah juga bisa terjadi akibat penggunaan bahan kimia pertanian yang berlebihan.
^Alain Marcoux (August 2000). "Population and deforestation". SD Dimensions. Sustainable Development Department, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-28. Diakses tanggal 2013-10-06.
^ILRI, 1989, Effectiveness and Social/Environmental Impacts of Irrigation Projects: a Review. In: Annual Report 1988, International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), Wageningen, The Netherlands, pp. 18 - 34 . On line: [1]